Liputan6.com, Jakarta - Afghanistan bukan negara yang ada di benak kebanyakan wisatawan. Faktanya, tetap saja ada yang berminat datang berkunjung. Pada 2021 jumlah wisatawan mancanegara (wisman) tercatat 691 orang. Pada 2022, angkanya meningkat menjadi 2.300 dan pada 2023 mencapai 7.000 orang.
Mohammad Saeed, Kepala Direktorat Pariwisata di Kabul, mengatakan pasar pengunjung asing terbesar adalah China karena kedekatannya dan populasinya yang besar. Afghanistan juga memiliki keunggulan dibandingkan beberapa negara tetangganya.
Baca Juga
"Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak ingin pergi ke Pakistan karena berbahaya dan mereka diserang. Pihak Jepang juga telah mengatakan hal ini kepada saya," kata Saeed, mengutip laporan AP, Minggu, 5 Mei 2024. "Ini baik bagi kami."
Advertisement
Melihat peluang, pemerintahan yang kini dikendalikan Taliban memutuskan membuka kelas pariwisata di lembaga pelatihan profesional pariwisata dan perhotelan. Sekelas ada sekitar 30 siswa. Seluruhnya pria karena perempuan Afghanistan dilarang belajar setelah kelas 6.
Siswanya beragam. Salah seorang siswa adalah seorang model. Yang lainnya berusia 17 tahun dan belum pernah bekerja. Mereka tidak tahu apa-apa tentang pariwisata atau perhotelan. Namun, mereka semua bersemangat untuk mempromosikan sisi lain Afghanistan dan Taliban dengan senang hati membantu. Kelas-kelasnya mencakup kerajinan tangan Afghanistan dan dasar-dasar antropologi.
Â
Namun, mengembangkan pariwisata Afghanistan banyak tantangannya. Yang paling utama adalah visa sulit dan mahal untuk diakses. Banyak negara memutuskan hubungan dengan Afghanistan setelah Taliban kembali berkuasa dan tidak ada negara yang mengakui mereka sebagai penguasa sah negara tersebut.Â
Â
Deretan Masalah Seputar Pengembangan Pariwisata di Afghanistan
Situasi makin rumit setelah kedutaan besar Afghanistan menutup atau menghentikan operasi mereka. Terjadi perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung antara kedutaan dan konsulat Afghanistan yang dikelola oleh orang-orang dari bekas pemerintahan yang didukung Barat, dan mereka yang berada di bawah kendali penuh pemerintahan Taliban.
Saeed mengakui ada hambatan bagi pengembangan pariwisata Afghanistan. Namun, ia mengatakan ia bekerja sama dengan kementerian untuk mengatasinya. Tujuan utamanya adalah menyediakan visa saat kedatangan bagi wisatawan, namun hal itu mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun lagi.
Selain masalah visa, ada pula faktor infrastruktur yang belum memadai. Jaringan jalan raya yang ada hanya setengah beraspal atau bahkan tidak ada sama sekali di beberapa negara bagian tersebut.
Sementara, sebagian besar maskapai penerbangan menghindari wilayah udara Afghanistan. Meski Kabul memiliki penerbangan internasional terbanyak, tidak ada bandara Afghanistan yang memiliki rute langsung dengan pasar wisata utama, seperti China, Eropa, atau India.
Segala tantangan yang ada tidak membuat Saeed patah semangat. Ia berambisi menjadikan Afghanistan sebagai pusat pariwisata yang tampaknya didukung pemimpin Taliban.Â
"Saya dikirim ke departemen ini atas instruksi para sesepuh (menteri). Mereka harus mempercayai saya karena mereka telah mengirim saya ke tempat penting ini."
Advertisement
Belajar Cara Berinteraksi dengan Perempuan Asing
Â
Para siswa juga punya cita-cita. Ahmed Massoud Talash, misalnya, ingin mempelajari tempat-tempat indah di Afghanistan untuk diunggah ke Instagram dan sejarahnya untuk tampil di media.
Samir Ahmadzai, siswa kelas itu yang berlatar lulusan sekolah bisnis, ingin membuka hotel namun merasa harus mengetahui lebih banyak tentang pariwisata dan perhotelan terlebih dahulu. "Mereka mendengar bahwa Afghanistan terbelakang, miskin, dan semuanya tentang perang," kata Ahmadzai. "Kami memiliki sejarah 5.000 tahun. Harus ada halaman baru di Afghanistan."
Di kelas itu pula, para siswa belajar cara berinteraksi dengan perempuan asing dan mempelajari perilaku atau kebiasaan perempuan asing yang mungkin bisa bertentangan dengan adat istiadat dan peraturan setempat. Contohnya, perempuan yang merokok atau makan di tempat umum, hingga bergaul secara bebas dengan laki-laki yang tidak berhubungan darah atau perkawinan.
Taliban telah memberlakukan aturan berpakaian bagi perempuan dan mengharuskan mereka memiliki wali laki-laki, atau mahram, saat mereka bepergian. Makan sendirian, bepergian sendirian, dan bersosialisasi dengan perempuan lain di depan umum menjadi lebih sulit. Dengan ditutupnya pusat kebugaran bagi perempuan dan dilarangnya salon kecantikan, semakin sedikit tempat bagi perempuan untuk bertemu di luar rumah.
Perempuan Afghanistan Tetap Dipinggirkan
Meski begitu, satu-satunya hotel bintang lima di negara itu, Serena, telah membuka kembali spa dan salon wanita untuk perempuan asing setelah ditutup selama berbulan-bulan. Turis asing wajib menunjukkan paspornya untuk mengakses layanan. Perempuan yang 'lahir di Afghanistan' dilarang mengakses layanan itu.
Pembatasan terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan membebani biro perjalanan luar negeri, yang mengatakan mereka mencoba untuk fokus pada aspek positif dari interaksi budaya dengan memberikan sumbangan, mendukung proyek lokal atau hanya mengunjungi bisnis yang dikelola keluarga.
Shane Horan, pendiri Rocky Road Travel, mengatakan mengunjungi Afghanistan tidak boleh dilihat sebagai dukungan terhadap pemerintah atau rezim politik tertentu. "Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk mendukung praktik pariwisata yang bertanggung jawab yang memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian lokal dan menumbuhkan rasa saling menghormati dan memahami, sekaligus tetap menyadari konteks politik yang lebih luas di Afghanistan."
Dia mengatakan tidak ada masukan dari pihak berwenang mengenai apa yang dilihat atau dilakukan kelompok wisata tersebut, dan bahwa perusahaan tersebut bekerja sama dengan organisasi hak-hak perempuan di Afghanistan. Sebagian dari biaya tur digunakan untuk mendukung program organisasi ini, tambah Horan.
Advertisement