Masih Relevankah Penyelenggaraan Kompetisi Bikini di Ajang Kontes Kecantikan untuk Pemberdayaan Perempuan?

Awal digelar, kompetisi bikini hanyalah dijadikan strategi marketing resor di Amerika Serikat untuk mempertahankan turis musim panas. Lalu, apakah kompetisi semacam itu masih diperlukan di ajang kontes kecantikan yang semakin banyak menggembor-gemborkan isu inklusivitas dan body positivity?

oleh Dinny Mutiah diperbarui 22 Des 2024, 08:31 WIB
Diterbitkan 22 Des 2024, 08:30 WIB
Masih Relevankah Penyelenggaraan Kompetisi Bikini di Ajang Kontes Kecantikan untuk Pemberdayaan Perempuan?
Sesi kompetisi bikini di Miss Charm 2024. (dok. Screenshoot Youtube Miss Charm Official)

Liputan6.com, Jakarta - Pamor kontes kecantikan masih belum redup. Formatnya malah semakin beragam dengan misi utama rata-rata memberdayakan perempuan. Dari sekian banyak varian, ada benang merah dari mayoritas ajang tersebut, yakni kompetisi bikini.

Di tengah menguatkan isu inklusivitas dan body positivity, apakah kompetisi bikini masih relevan digelar sebagai bagian kontes kecantikan? Head of Communication PT Mustika Ratu dan Yayasan Puteri Indonesia, Mega Angkasa secara terbuka meminta agar tak lagi mengungkit kontroversi kompetisi bikini.

"Sebenarnya enggak perlu kita bahas lagi (soal kompetisi bikini). Itu isu udah beberapa tahun lalu. Bu Moer (Moeryati Soedibyo) memperjuangkan itu selama 34 tahun. Kalau dibahas lagi, itu kemunduran," ujarnya saat dihubungi Lifestyle Liputan6.com, Sabtu, 21 Desember 2024.

Menurut Mega, kompetisi baju renang yang memperlihatkan mayoritas kulit peserta kontes bukanlah untuk mengeksploitasi tubuh perempuan. "Itu hanya untuk mengetahui proporsional tubuh. Bener enggak sih panjang kakinya sekian, atau jarinya lengkap, atau ada yang pendek sebelah," ucapnya.

Lagi pula, ia mengklaim lebih banyak manfaat yang diperoleh dari kepesertaan Indonesia dalam berbagai ajang kontes kecantikan. Secara tak langsung, wakil Indonesia menjadi duta bangsa yang mempromosikan berbagai hal dari Indonesia, termasuk pariwisata, kuliner, hingga produk kecantikan lokal.

"Bayangkan Melati Tedja (wakil Indonesia di Miss Charm 2024) bicara tentang Indonesia ke puluhan negara. Coba hitung berapa biayanya dibandingkan pasang iklan di billboard? Mustika Ratu, Ikatan Alum YPI ikut dengan biaya sendiri," kata Mega.

Tetap Tonjolkan Misi Sosial

Masih Relevankah Penyelenggaraan Kompetisi Bikini di Ajang Kontes Kecantikan untuk Pemberdayaan Perempuan?
Sesi kompetisi bikini di Miss Charm 2024. (dok. Screenshoot Youtube Miss Charm Official)

Meski begitu, ia mengakui bahwa misi utama dari kontes kecantikan digelar adalah mengedepankan kampanye sosial. Dengan begitu, komponen tentang misi, visi, dan advokasi semestinya dijadikan penilaian utama.

"Termasuk Puteri Indonesia, kita tidak anggap itu (kompetisi bikini) sebagai hal utama karena kontribusi kepada komunitas lah yang sangat berarti dan membawa nama Indonesia," ujarnya.

Maka, ia menilai menghapuskan kompetisi bikini dari ajang kontes kecantikan bukanlah masalah. "Beberapa beauty pageant sudah menghapuskan itu, kan," imbuhnya.

"Itu hanya the part of judges ya. Setelah itu kan lebih ke kegiatan setelah menang, seperti social activity, advokasi, jadi pembicara. Setelah menang, enggak disuruh berbikini lagi kok," ujarnya.

Salah satu yang memutuskan menghapuskannya adalah kompetisi Miss Amerika. Sejak 2018, panitia mengumumkan kontes itu dihapuskan yang disambut baik oleh penggemar maupun sejumlah mantan kontestan karena dianggap sebagai tanda kemajuan dan pembebasan dari mode menilai perempuan hanya dari penampilannya.

Evolusi Kompetisi Bikini di Ajang Kontes Kecantikan

Miss Bahrain di Miss Universe Tidak Kenakan Bikini
Miss Bahrain di Miss Universe Tidak Kenakan Bikini, credit: @missuniversebahrain

Mengutip Time, Minggu (22/12/2024), kompetisi bikini di Amerika pertama kali diadakan pada 1921 di Atlantic City, New Jersey, dengan tujuan mempertahankan turis musim panas setelah Hari Buruh. Hal itu dipandang berhasil sehingga kontes serupa mulai diadakan di resor lain di seluruh Amerika.

Itu juga bagian dari momen sejarah perkembangan pesat industri pakaian olahraga dan pariwisata kelas menengah yang sebagian merupakan hasil dari penerapan jam kerja 40 jam seminggu. Penyelenggaraan kontes pakaian renang akhirnya dipandang membebaskan perempuan untuk memamerkan anggota tubuhnya secara terbuka yang selama ini diharuskan berpakaian sopan saat ke pantai.

"Dalam beberapa hal, bisa dibilang perempuan berpartisipasi dalam kontes ini karena mereka melihatnya sebagai sarana untuk mencapai kebebasan seksual," kata sejarawan Blain Roberts, penulis Pageants, Parlors, and Pretty Women: Race and Beauty in the Twentieth- Abad Selatan.

"Ini adalah masa ketika perempuan memotong rambut mereka. Kosmetik tidak dapat diterima sebelum jangka waktu ini; hanya aktris dan pelacur yang memakai riasan. Mereka adalah perempuan kelas menengah yang mengatakan, 'Saya seharusnya bisa memakai riasan dan pergi ke tempat umum dengan [pakaian pendek] yang tidak sampai ke mata kaki.' Mereka memberontak terhadap adat istiadat Victoria yang mengatakan bahwa Anda harus menutupi tubuh Anda."

Perubahan Sudut Pandang

Miss Bahrain di Miss Universe Tidak Kenakan Bikini
Miss Bahrain di Miss Universe Tidak Kenakan Bikini, credit: @missuniversebahrain

Seiring waktu, cara pandang perempuan atas kompetisi pakaian renang belakangan berubah. Dari 'membebaskan' perempuan, kontes bikini kini kembali dianggap sebagai kontes yang mengukur kecantikan seseorang secara subjektif, dan mengubah norma sosial terhadap perempuan secara global.

"Semua hal yang pada mulanya mungkin merupakan sumber kebebasan menjadi menyempit," seperti yang dikatakan Roberts, ketika perempuan merasa seolah-olah mereka diharuskan untuk memakai riasan, rambut, dan pakaian renang dengan cara tertentu.

Pada tingkat makro, seiring dengan semakin banyaknya platform bagi perempuan untuk membuat pernyataan selain penampilan mereka, tujuan dari kontes tersebut semakin dipertanyakan. Hal itu direspons sejumlah organisasi penyelenggara dengan memberi porsi penilaian lebih besar untuk bakat dan keterampilan.

Di sisi lain, jumlah penonton kontes kecantikan yang menurun menunjukkan bahwa ajang tersebut tidak lagi ditonton luas seperti dulu. Seorang ahli kontes kecantikan yang juga menjadi dosen tamu di Brown University, Hilary Levey Friedman menilai hal itu sebagai cerminan bagaimana generasi muda semakin kritis tentang kontes tersebut.

"Kaum muda saat ini lebih cerdas dalam mempertanyakan representasi media, dan mereka tahu tentang retouching," katanya. "Para remaja putri jauh lebih sadar bahwa Anda tidak bangun dari tempat tidur dan berpenampilan seperti itu. Sebelumnya tidak banyak pemahaman tentang hal itu."

Infografis Kontes Kecantikan Dunia
Infografis Kontes Kecantikan Dunia. (Dok: Tim Grafis/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya