Liputan6.com, Jakarta - Keragaman budaya tradisional Indonesia kembali mendapat pengakuan dunia. Awal Desember 2024, kebaya, reog Ponorogo, dan kolintang diakui sebagai Warisan Budaya TakBenda UNESCOÂ setelah melalui proses pengajuan yang berliku.
Dengan pengakuan yang didapat, bukan berarti tugas Indonesia selesai. Tugas sebenarnya justru baru dimulai. Ada konsekuensi berat yang harus dijalankan Indonesia dari sekarang hingga nanti, terutama soal pelestarian.Â
Advertisement
Baca Juga
Bukan rahasia bahwa budaya tradisional Indonesia mayoritas tergeser oleh budaya-budaya luar. Semakin jarang yang mendengarkan musik berbasis kolintang, misalnya, daripada musik yang dihasilkan secara digital atau instrumen-instrumen modern. Tak mengherankan bila generasi muda Indonesia merasa asing dengan tradisinya sendiri.
Advertisement
Hal itu juga disadari oleh Ketua Umum DPP PINKAN Indonesia, Penny Marsetio. Ditemui Lifestyle Liputan6.com seusai pertunjukan di Sunset di Kebun TMII, Jakarta, Minggu, 15 Desember 2024, ia menekankan bahwa pelestarian dan pengenalan kembali kolintang kepada generasi muda menjadi salah satu prioritas organisasinya usai kolintang mendapat pengakuan UNESCO.
"Kolintang ini kan alat musik etnik asli Minahasa. Jadi secara umum, dia seperti band, hanya saja ini etnik. Jadi, ada bass, ada sebutan cello, ada sebutan melodi, sama seperti band... Semua dipukul," ujarnya.
Organisasi yang dipimpinnya sejauh ini memiliki 13 cabang di seluruh Indonesia. Itu belum termasuk cabang yang dibuka diaspora Indonesia di luar negeri, seperti California, Amerika Serikat, dan Australia. Tapi, mayoritas pemainnya sudah senior, meski ada sebagian Gen Z dan milenial di rentang usia 18--35 tahun.
Â
Berharap Jadi Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah
Usaha memperkenalkan kembali tradisi instrumen kolintang sudah dilakukan sejak lama. Salah satunya dengan menggelar kompetisi meski baru tersedia tingkat dewasa, belum melibatkan anak-anak. Karena itu, ia merasa perlu ditambah dengan memasukkan kolintang sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler.
"Kami berharap kepada Bapak Menteri (Dikdasmen) untuk menurunkan kolintang menjadi ektrakurikuler dari sekolah dasar, karena itu caranya melestarikan dari tingkat dasar dan menengah," ucapnya.
Penny juga menyoroti soal perajin alat musik kolintang yang jumlahnya tidak terlalu banyak. "Di Jawa Barat ini ada tiga atau empat, lalu di Jawa Tengah ada sekitar tiga, lalu di Jawa Timur juga ada tiga. Tapi kalau di Sulut, di tempatnya lumayan agak banyak karena memang orisinalnya dari sana ya," ia menjabarkan.
Keberadaan perajin sangat penting dalam upaya pelestarian kolintang. Tanpa mereka, pemain akan kesulitan memainkan alat musik yang perlu keterampilan itu. Di sisi lain, produksi kolintang juga menghadapi tantangan menispisnya jumlah kayu di alam.
"Kalau aslinya adalah kayu banderan dan itu sudah mulai langka. Namun kalau di Jawa, memakai kayu waru... Tidak semua kayu bisa, kan ada kayu yang kadar airnya banyak," jelas Penny. Dengan kata lain, melestarikan kolintang memerlukan eksosistem yang menyeluruh dan berkelanjutan.
Advertisement
Dari Sekolah hingga Kantor
Tugas yang sama juga dihadapi para pegiat kebaya, salah satunya yang bernaung di bawah Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI). Pendirinya, Rahmi Hidayati menekankan bahwa pengakuan kebaya sebagai warisan budaya takbenda UNESCO bagi Indonesia bermakna lebih dalam dibandingkan empat negara pengusul lainnya, yakni Singapura, Malaysia, Thailand, dan Bruneri Darussalam.
"Kalau di Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei itu mungkin hanya soal pelestarian, tetapi kalau di Indonesia soal asal-usul budaya. Kebaya itu berasal dari Indonesia, bahwa kemudian menyebar ke negara-negara lain, itulah yang terjadi," katanya dihubungi secara terpisah oleh Lifestyle Liputan6.com.
Dengan pengakuan tersebut, Indonesia harus menanggung konsekuensi untuk terus melestarikan keberadaan kebaya. Generasi yang lebih tua saat ini bertanggung jawab memperkenalkan kebaya kepada generasi lebih muda agar mereka mau mengenakannya.
"Kita harus berjuang terus agar kebaya terus dikenal, dicintai, serta mau dipakai oleh generasi muda," ujarnya.
Pihaknya sudah merencanakan beberapa program pengenalan ke generasi muda, meliputi Kebaya Goes to School, Kebaya Goes to Campus, dan Kebaya Goes to Office. Lewat program tersebut, audiens yang jadi target akan dijelaskan mulai dari definisi kebaya hingga cara mengenakannya sehari-hari.
"Di psikologinya, kebaya itu pakaian yang ribet. Makenya enggak gampang, apalagi pakai kain dan lain-lain. Nanti, kita perkenalkan cara memakai kain yang praktis, yang tidak ribet, sehingga mau ke mana pun pakai kebaya, bisa," ucapnya.
Bisa Berdampak Ekonomi
Pelestarian kebaya juga berdampak pada aspek bisnisnya di Indonesia. Menurut Rahmi, dari penyediaan bahan baku kain, produksi, hingga distribusi dilibatkan dalam proses pelestarian. Namun, tantangan utama yang dihadapi perajin atau pengusaha adalah soal mengajak sebanyak mungkin orang mau berkebaya.
"Kalau banyak yang mau berkebaya, tentu mereka dengan senang hati mau memproduksi kebayanya, kainnya, aksesorinya, karena berkebaya ada aksesorinya, misal selendangnya, antingnya, gelang, bros. Itulah tantangannya, memperkenalkan dan membuat generasi muda mau ikutan berkebaya sehingga secara usaha bisa diuntungkan dari sisi itu," ujar Rahmi.
Upaya pelestarian juga digalakkan oleh pegiat Reog Ponorogo. Melansir Antara, Sabtu (4/1/2025), mereka melakukannya salah satunya dengan menggelar reog serentak tidak hanya di Ponorogo, tapi juga di berbagai belahan benua lain, termasuk Amerika Serikat, Australia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia.
Puluhan grup reog berkumpul dengan pusatnya di Paseban Alun-alun Kota Ponorogo pada Minggu, 22 Desember 2024, termasuk satu-satunya grup reog wanita Sardulo Nareswari dari Desa Sawoo, Kecamatan Sawoo. "Reog lahir di Ponorogo, dan kami akan terus menjaganya agar reog tidak lagi diklaim oleh negara lain," ujar pembarong wanita, Intan Ayu Paramitasari.
Â
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko ​​​​menegaskan bahwa pengakuan reog sebagai WBTB bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal tanggung jawab untuk melestarikannya. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melakukan konservasi dan kaderisasi budaya guna memastikan keberlanjutan seni reog serta mendukung perekonomian lokal.
"Konservasi itu penting, tetapi kaderisasi juga harus dilakukan agar terjadi transmisi budaya. Dengan cara ini, kami berharap reog dapat membentuk karakter bangsa sekaligus meningkatkan perekonomian Ponorogo," katanya.
Advertisement