Liputan6.com, Jakarta - Instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang efisiensi atau pemotongan anggaran kementerian/lembaga berdampak luas. Salah satunya di sektor pariwisata, terutama industri hotel dan restoran. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah memasukan anggaran jasa hotel dan restoran dalam e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
"LKPP itu yang di e-katalog, itu pasti sudah disesuaikan dengan pagunya pemerintah. Lebih memudahkan. Kita mendorong ke arah sana, karena kalau hanya memotong anggaran saja, sebetulnya nanti program pemerintahnya juga pasti terganggu," kata Hariyadi Sukamdani pada tim Lifestyle Liputan6.com, Kamis, 13 Februari 2025.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Hariyadi sejak kebijakan efisiensi berlaku, belum ada kegiatan pemerintah dilakukan di jasa perhotelan. Ia memprediksi, potensi kerugian industri perhotelan akibat kebijakan tersebut mencapai Rp24 triliun. Angka tersebut setara dengan 40 persen okupansi hotel secara nasional.
Advertisement
"Hitungan kami untuk akomodasi kamar saja potensinya Rp16,5 triliun. Untuk meeting kira-kira Rp8,2 triliun. Jadi totalnya Rp24,8 triliun, Untuk sebagian hotel itu sekitar 40 persen okupansi hotel dan itu akan bakal berkurang di tahun ini, kalau di daerah-daerah lain d Indonesia timur misalnya, bisa berdampak penurunan sampai 70 persen," terangnya.
Hariyadi menambahkan efek domino dari efisiensi anggaran terhadap industri hotel terjadi pada sejumlah sektor, seperti UMKM dan penerimaan pajak daerah dari sektor pariwisata.
"Dampaknya pasti akan sangat terasa, karena mata rantainya juga cukup panjang ya. Mulai dari pertanian, peternakan, sampai UMKM itu kan terlibat semua. Kalau itu ngga ada ordernya kan otomatis turun semuanya. Pendapatan asli daerah juga pasti akan terpengaruh karena dari pajak hotel dan restoran itu kita selalu menduduki peringkat lima besar," ucapnya.
Â
Pariwisata Bukan Prioritas Utama
Jika situasi tersebut berkepanjangan maka hotel akan mengurangi operasional yang berdampak pada pengurangan pegawai. Jadi bukan tidak mungkin pemberhentian hubungan kerja (PHK) di industri hotel bisa terjadi.
"Kalau ini nanti berkelanjutan, ya otomatis hotel akan menyesuaikan dengan kapasitas yang ada. Misalnya dia 200 kamar, kan nggak mungkin dia buka semuanya 200. Dengan situasi pasarnya turun kan gitu kan. Ya pasti dia akan menyesuaikan," jelasnya.
"Jadi itu kalau berkelanjutan udah pasti dilakukan (PHK) karena posisinya posisi untuk bertahan. Untuk bertahan kelangsungan operasinya, seperti itu. Lalu tarif kamar atau untuk bikin acara juga bakal berkurang karena demand nya paasti akan berkurang," tambahnya.
Hariyadi juga menyinggung soal sektor pariwisata belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan ekonomi nasional, meskipun pernah menjadi penyumbang devisa negara terbanyak kedua setelah kelapa sawit.
"Kita menyadari bahwa negara selalu pada kondisi yang tidak ideal untuk menempatkan pariwisata sebagai prioritas, kesannya hanya ditaruh sebagai aksesori. Tapi itu bukan alasan untuk berkecil hati," katanya.. Meskipun tantangan terus ada, Hariyadi tetap optimistis sektor pariwisata Indonesia bisa berkembang dan sejajar dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang sudah lebih dulu unggul dalam industri pariwisata.
Advertisement
Pernah Melewati Masa Sulit
Ia menekankan pentingnya kerja sama antar pelaku industri dan pemerintah, agar sektor ini terus berkembang. "Kita yakin teman-teman PHRI dan stakeholder lainnya punya resiliensi tinggi, tangguh, ulet, dan tabah menghadapi semua rintangan yang ada. Kita pernah melalui situasi sulit seperti waktu pandemi, tapi kita masih bertahan sampai hari ini," tuturnya.
Di sisi lain, ia menegaskan PHRI tak bisa behrarap banyak dari pemerintah. Tapi setidaknya bisa membuat kebijakan yang bisa semakin memggairahkan sektor pariwisata yang tentunya bakal berdampak positif bagi usaha hotel dan restoran.
Salah satunya, menerapkan kebijakan visa atau Visa on Arrival (VoA) bagi lebih banyak negara, tidak terbatas hanya negara-negara ASEAN saja agar lebih berpotensi mendatangkan banyak wisatawan.
Begitu juga dengan masalah tiket pesawat domestik yang masih termasuk tinggi sehingga bakal mengurangi potensi pergerakan wisatawan terutama wisatawan nusantara (wisnus).
"Ya, paling cuma itu aja yang bisa kita harapkan dari pemerintah. Kita juga sering diskusi dengan Kementerian Pariwisata, dari dulu kita selalu sering diskusi, tapi kan kewenangan mereka terbatas, apalagi kena pemangkasan anggaran juga, ya tidak bisa berbiuat banyak juga," ungkapnya.
Anggaran untuk Pariwisata dan Kemenpar
"Yang jelas dengan kebijakan kita bakal mengambil langkah yang tegas juga, kita main tegas juga, langkahnya seperti apa nanti tunggu saja. Yang jelas kita harus berpindah market, harus shifting ke pasar yang lain, tapi tentunya butuh waktu, tidak sebentar, jadi ya nantikan saja gebrakan kita," sambungnya.
Ia jiuga mengingat kembali ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Sandiaga Uno masih menjabat pernah rapat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) soal anggaran untuk kementerian.
"Yang saya masih ingat sampai sekarang, Ibu Ani (Menteri Keuangan) bilang sama mas Sandiaga kalau anggaran buat Kemenparekraf dipangkas tapi penghasilan atau pebdapatannya sangat tinggi. Jadi pemangkasan anggaran dianggap langkah yang tepat. Tapi sekarang kalau anggarannya dipotong lagi bagaimana kitab isa mempromosikan pariwisata kita," ujar Hariyadi.
Hariyadi juga mengajak seluruh pelaku industri pariwisata untuk tetap semangat dan berjuang bersama memajukan sektor ini, meskipun ada efisiensi anggaran dari pemerintah.
Â
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)