Liputan6.com, Jakarta - Sumadi resah melihat warga kampungnya di Dusun Tambak, Desa Begendeng, Kecamatan Jatikalen, Nganjuk, Jawa Timur, masih buang hajat sembarangan. Kadang ke sungai, kadang menggali tanah.
Namun siapa sangka, berawal dari keresahan itu, Sumadi bisa meraih banyak penghargaan. Juga mondar-mandir ke luar negeri. Hampir seluruh provinsi di Indonesia telah ia jejaki.
Pekan ini, Sumadi menerima penghargaan dari Kementerian Pekerjaan Umum sebagai 'Penggiat Permukiman Berkelanjutan'.
Baca Juga
Ini bukan penghargaan pertama. Pada 2011, lalu dia dinobatkan sebagai pemenang Liputan 6 Awards untuk ketegori pemberdayaan masyarakat.
Advertisement
Semua dilakukan sejak tahun 2001. Tergerak melihat kebiasaan warganya buang hajat sembarangan, lalu ia membuat arisan jamban. Namun jangan membayangkan jika arisan ini selayaknya yang biasa digelar kaum ibu apalagi para sosialita.
"Rezekiku dari duburmu. Itu kelihatan naif, tapi bener itu," kelakar Sumadi saat bertandang ke Liputan6.com, Jakarta, Kamis 3 Oktober 2014.
Warga yang mendaftar arisan ini akan dibangunkan satu set jamban dan septictank untuk menampung kotoran mereka sehari-hari. Mereka akan mencicil biaya pembangunan tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun rata-rata biaya untuk 1 set kloset dan septictank mencapai Rp 1.800.000.
Rata-rata warga mengeluarkan Rp 100- Rp 120 ribu per bulan. Namun ada juga yang mencicil secara harian sebesar Rp 5 ribu. Tak perlu waktu lama, sekitar 1,5 bulan pun jamban sudah bisa dipakai. Jamban-jamban ini bahkan juga bergaransi 8-10 tahun.
Selanjutnya: Arisan Jamban...
Arisan Jamban
Warga desa Sumadi kebanyakan berprofesi sebagai buruh tani. Meski kelas sosial mereka sebagian besar menengah ke bawah, perkara buang air sembarangan ini, pertama-tama, bukan masalah ekonomi. Warga bukannya tak mampu membangun jamban.
Sumadi mengaku, orang kaya pun ikut buang air di sungai. Ini masalah budaya dan tradisi. Apalagi kondisi Dusun Tambak memang dikelilingi berbagai sungai. Yakni Kali Apur Satu, Widas, dan Brantas.
"Jamban belum dianggap kebutuhan yang sangat prioritas. Lebih prioritas menyicil motor daripada membangun jamban. Padahal belum tentu motor itu dinaiki setiap hari. Pasti kalau jamban itu dinikmati setiap hari," tutur Sumadi.
Untuk mengubah pola pikir warga, dia mulai melakukan pendekatan. "Kita sentuh hatinya, ternyata jamban lebih penting daripada mencicil motor. Kita dekati untuk mengubah pola pikir," tutur dia.
"Kalau anaknya sudah cantik-cantik tapi buang air sembarangan. Memang di rumah nggak malu, tapi di sekolah hancur harga dirinya. Haruskah kalau tengah malam kalau anak mau buang air bangun mengantarkan anak-anak ke sungai? Bagaimana kalau ada ular, terperosok lubang," ujar dia.
Dia bercerita, arisan jamban ini dimulai dengan jumlah peserta sebanyak 15 warga. Agar pembangunan jamban bisa berjalan sembari menunggu uang arisan warga, Sumadi harus memutar otak. Karena butuh waktu lama untuk membangun jamban jika harus menunggu terkumpulnya uang warga.
Untuk itu, Sumadi meminjam uang di bank dengan surat gaji dan tanah sebagai agunan. Uang yang cair dari bank itu kemudian digunakan untuk membangun jamban.
Perlahan tapi pasti, satu per satu warga pun ikut dalam arisan jamban ini. Bahkan tak cuma di desa Sumadi, arisan WC ini juga sudah berekspansi ke luar Nganjuk. (Yus)
Advertisement