Derita Imigran Gelap di Kawasan Puncak Bogor

Bagi para imigran gelap, kehidupan di ‎Bogor teramat keras. Tak jarang mereka harus menerima kekerasan fisik dari warga sekitar.

oleh Bima Firmansyah diperbarui 09 Des 2014, 19:02 WIB
Diterbitkan 09 Des 2014, 19:02 WIB
Derita Imigran Gelap di Kawasan Puncak Bogor
Bagi para imigran gelap, kehidupan di ‎Bogor teramat keras. Tak jarang mereka harus menerima kekerasan fisik dari warga sekitar.

Liputan6.com, Bogor - Berharap tiba di negeri impian, para imigran gelap malah terdampar di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Di tempat baru ini, mereka tak bisa berbuat banyak, kecuali berharap segera diberangkatkan ke Australia.

Daerah Puncak memang dikenal sebagai tempat berdiamnya banyak imigran gelap, khususnya yang berasal dari di Timur Tengah. Keberadaan mereka bak jamur di musim hujan. Para imigran itu hampir bisa ditemui di setiap sudut wilayah berhawa sejuk tersebut.

Dari data Imigrasi Bogor pada Agustus 2014, tercatat ada 300 imigran gelap yang terdaftar. Mereka tersebar di kawasan puncak ‎seperti di Kecamatan Cisarua, Megamendung, Cipayung, dan Ciawi.

Keberadaan mereka di Puncak ternyata bukan tanpa alasan. Para imigran gelap ini berada di daerah tersebut untuk mencari suaka. Tapi bukan di Indonesia, melainkan di negara tetangga, Australia.

Para imigran gelap itu sebagian besar dari Afganistan. Kebanyakan dari mereka mengaku tidak ingin kembali ke negara asalnya, karena tak mau diwajibkan berperang.

Salah satu imigran gelap, Ali, 20 tahun, mengaku terpaksa hengkang dari tanah kelahirannya di Afghanistan karena negaranya terus dilanda konflik. Karena itu, lebih dari satu tahun lalu, tepatnya September, Ali bersama belasan pemuda Afghanistan lainnya, memilih berlayar mencari suaka ke Australia.  

Bukannya tiba di negeri impian, para pemuda imigran gelap itu malah terdampar di Puncak, Bogor. Ali mengaku berangkat menggunakan kapal laut dari Afghanistan menuju India, kemudian lanjut ke Malaysia dan akhirnya tiba di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatera.

"Dari situ saya dibawa menggunakan jalan darat ke Jakarta dan akhirnya dibawa ke Bogor sampai sekarang," ungkap Ali saat ditemui di rumah kontrakannya di Kampung Citeko, RT 02/03 Kecamatan Cisarua, Bogor.‎

Ali mengaku mengeluarkan uang hingga 7000 dolar AS untuk bisa sampai ke Bogor. Dengan berbekal surat keterangan dari UNHCR dia menetap sementara di Bogor. ‎"Saya ingin ke Australia. Ingin kerja di sana," papar Ali.

Bagi para imigran gelap, kehidupan di ‎Bogor teramat keras. Tak jarang mereka harus menerima kekerasan fisik dari warga sekitar. "Kemarin beberapa teman saya dipukuli dan dimintai uang. Kita tidak bisa apa-apa," ujar Ali yang sudah bisa berbahasa Indonesia.

Hingga saat ini, Ali terus berharap bisa sampai di Negeri Kanguru. Dia berharap di tanah baru, bisa mendapat kehidupan yang lebih layak. (Sun/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya