Liputan6.com, Jakarta - Isu heboh muncul di tengah rencana eksekusi terpidana mati, termasuk duo Bali Nine asal Australia: Presiden Joko Widodo disadap.
Kabar itu bermula dari pengungkapan sejumlah dokumen yang diperoleh dari mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), Edward Snowden.
Disebutkan pada tahun 2009 badan intelijen Selandia Baru atau Government Communications Security Bureau (GCSB) menyadap email, sosial media, panggilan telepon, juga alat komunikasi lain di negara-negara Pasifik, juga Indonesia. Hasil penyadapan tersebut lantas dibagikan pada pihak NSA, Australia, Inggris, dan Kanada. Kelima negara tergabung dalam "Five Eyes" atau "FVEY".
Advertisement
"Mereka mengambil (data) setiap panggilan telepon, tiap email, langsung ke database, yaitu database Badan Keamanan Nasional AS," kata penulis laporan investigatif Nicky Hager kepada Radio New Zealand, sepert dimuat Huffington Post, 5 Maret 2015.
Dokumen juga menyebut, GCSB bekerja sama dengan Australian Signals Directorate (ASD) untuk 'menguping' pengguna salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, Telkomsel.
Kabar lantas menjadi liar. Sejumlah pejabat Indonesia dikabarkan jadi target sejak tahun 2009, termasuk Jokowi di masa kampanye dan masa menjadi presiden.
Namun, saat dikonfirmasi, Jokowi menanggapinya dengan canda. "Sadap saya, apanya sih? Sadap karet, sadap pinus, banyak. Kalau pas ke kebun karet atau ke pinus, nah di situ sadap-menyadap banyak,” kata Presiden beberapa waktu lalu.
Jokowi pun meluruskan soal dugaan yang berkembang bahwa selama ini banyak pejabat di Indonesia yang disadap, termasuk dirinya. Ia tidak merasa disadap oleh pihak mana pun, termasuk adanya dugaan Penyadapan yang dilakukan oleh negara asing. "Nggak ada. Saya nggak pernah dengar. Dan saya nggak merasa disadap," tegas dia.
Indonesia tak kali ini saja dilanda isu penyadapan. Pada tahun 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menarik duta besar Indonesia di Australia terkait penyadapan yang dilakukan Negeri Kanguru terhadap sejumlah pejabat di Tanah Air.
Masih dari dokumen Edward Snowden, diungkapkan bahwa NSA dan GCHQ ternyata memiliki kunci untuk membongkar pengamanan pada kartu SIM buatan Gemalto.
"Penyadapan yang sekarang ini isunya berbeda dengan yang sebelumnya sempat beredar. Kalau dulu yang dicurigai disadap itu adalah jaringannya operator, kalau sekarang kan diduga di SIM-card," ungkap Nonot Harsono, Komisioner Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Menurut Nonot, jika penyadapan dilakukan secara jarak jauh dengan memanfaatkan celah dalam kartu SIM, kemungkinan besar korban dari tindakan penyadapan itu ialah pengguna perangkat canggih, seperti smartphone atau tablet.
Dalam dokumennya, Edward Snowden mengungkap bahwa pemerintah Amerika Serikat berhasil membobol sistem enskripsi yang disediakan produsen kartu SIM Gemalto N.V. melalui lembaga tempatnya pernah bekerja.
Gemalto N.V. adalah perusahaan asal Belanda yang menjadi pemasok untuk sejumlah operator seluler kenamaan termasuk Verizon, AT & T, T-Mobile, Sprint, serta 450 operator seluler lainnya di berbagai penjuru dunia.
Sementara di Indonesia, operator seluler yang menggunakan kartu SIM dari Gemalto N.V. adalah adalah PT. Hutchison 3 Indonesia (Tri), PT. XL Axiata (XL), PT. Indosat (Indosat), PT. Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI), dan PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel).
Nama Gemalto N.V. menyeruak menyusul laporan bahwa produsen kartu SIM terbesar di dunia itu dilaporkan menjadi korban penyusupan NSA dan badan intelegen Inggris, Government Communications Headquarters (GCHQ).
Operator Seluler Terlibat?
Operator Seluler Terlibat?
Secara terang-terangan, Edward Snowden bahkan membeberkan bahwa NSA telah menyadap para pengguna ponsel di Indonesia, khususnya, para pelanggan telepon seluler dari dua operator ternama di Indonesia, diduga Telkomsel dan Indosat.
Untuk membuat semuanya menjadi terang-benderang, pemerintah melalui BRTI melayangkan surat edaran kepada setiap operator seluler untuk melaporkan jenis dan spesifikasi kartu SIM yang mereka gunakan.
Belum lama ini sejumlah operator termasuk Tri, XL, Indosat, SLI, dan Telkomsel telah melaporkan hasil investigasi internal dan menyatakan tidak menemukan adanya kebocoran pada kartu SIM miliknya. Mereka juga menjamin bahwa penyedia kartu SIM yang digunakan telah memenuhi GSM Security Standard.
Mengingat ini bukan kali pertama Indonesia tersangkut kasus serupa, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah untuk kasus terbaru ini regulator harus melakukan audit langsung, terlepas dari hasil investigasi internal para operator seluler?
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, menjelaskan bahwa audit dari regulator tergantung dari apakah operator terbukti secara sengaja melakukan penyadapan secara ilegal. Kalau ternyata tidak ada penyadapan yang menyalahi aturan, maka tidak perlu ada audit.
"Kalau memang ada kesengajaan dari dalam operator, baru kita tindak lanjuti. Tapi kan siapa yang berani melakukannya, sanksinya pidana itu. Operator seluler dan BRTI kan sudah bilang kalau untuk isu ini tidak ada masalah," tutur Rudiantara saat ditemui di kantor Kementerian Kominfo.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ismail Cawidu juga membenarkan hal tersebut.
"XL, H3i (Tri), Telkomsel, dan Indosat pakai produk Gemalto, tapi sesuai laporan investigasi di internal semua operator selular ini tidak ditemukan adanya kebocoran kartu SIM sebagaimana diduga," jelas Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ismail Cawidu di Jakarta.
Mengingat isu penyadapan bukan lagi berita baru, Kementerian Kominfo mengimbau para operator seluler untuk menggunakan produk dalam negeri. Kementerian Kominfo, kata Cawidu, sedikit demi sedikit akan meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk perangkat elektronik.
"Guna mengantisipasi terulangnya isu-isu seperti ini, maka ke depan kami berharap operator seluler akan menggunakan produk dalam negeri. Sejauh ini kita sudah mulai mengatur TKDN perangkat sejak era 3G, sedikit demi sedikit akan ditingkatkan," tuturnya.
Namun untuk kasus penyadapan saat ini, Ismail memastikan pemerintah tidak akan berpangku tangan meski para operator sudah memberikan hasil investigasi internal mereka.
"Evaluasi akan terus dilakukan. Tidak menutup kemungkinan juga akan dibentuk tim atau satgas (satuan tugas) pengawasan," ungkap Ismail.
Advertisement
Tanggapan Operator
Tanggapan Operator
Menanggapi isu penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap jaringan Indosat, operator seluler ini menyatakan telah memiliki audit atas sistem keamanan jaringannya. Sistem tersebut juga sudah berstandar internasional ISO 27001 dan ISO 31000.
“Kami mempunyai manajemen tata laksana kebijakan dan pengendalian operasional dalam bentuk penerapan sistem manajemen standard ISO 27001 (Information Security Management) dan ISO 31000 (Risk Management), yang juga menyangkut audit keamanan sistem jaringan," kata Alexander Rusli, President Director & CEO Indosat di Jakarta.
Indosat, lanjut Alex, juga mematuhi ketentuan lawful interception sesuai ketentuan dan Indosat menyatakan dengan tegas tidak memiliki kerjasama dengan pihak asing yang bertujuan untuk melakukan penyadapan.
Alex menjelaskan, sistem tersebut adalah jaringan publik yang menggunakan standar seperti yang ditentukan oleh pemerintah. Dan satu-satunya tindakan penyadapan yang diizinkan adalah yang dilakukan oleh lembaga resmi negara berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Sesuai dengan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Indosat hanya menyediakan fasilitas penyadapan kepada Aparat Penegak Hukum.
Dalam hal ini, Indosat secara tegas menyatakan bahwa tidak ada kerjasama penyadapan dengan pihak luar terutama dengan pihak asing karena jelas hal tersebut melanggar Undang-undang yang berlaku serta merugikan kepentingan negara dan bangsa Indonesia.