Liputan6.com, Jakarta Demi meningkatkan mutu pendidikan, dibutuhkan ujian dengan standar yang tinggi. Hal ini diakui bisa menambah tingkat stres para siswa. Namun konsekuensi demikian lebih baik ketimbang generasi ke depan berisi manusia bodoh.
"Anak-anak itu dipaksa belajar, ada yang mengatakan nanti stres, tapi lebih baik daripada menganggur. Pilih mana, ada 100 orang stres atau 10 juta anak bodoh?" cetus Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Nasional 2015 di Balai Diklat Dikbud Depok, Jawa Barat, Senin (30/3/2015).
Ucapan pria yang akrab disapa JK ini pun disambut riuh tepuk tangan hadirin. JK meminta agar mutu pendidikan di Indonesia terus ditingkatkan. Salah satu caranya adalah menjaga eksistensi Ujian Nasional (UN).
"Sistem yang direncanakan bersama harus sama dengan daerah. Bukan intervensi ke daerah, tapi untuk kesamaan. Harus displin menjalankan kebijakan. Di situlah baru kemudian tercermin mutu nasional. Kita berbicara mengenai hari Ujian Nasional," kata JK.
Untuk meningkatkan mutu bangsa, lanjut JK, yang ditingkatkan ialah pendidikan. Karena itu, semua sistem pendidikan ialah displin yang keras.
"Tidak ada orang yang berhasil dan pintar tanpa bekerja keras," tegas JK.
Menurut JK, bagi anak-anak yang belajar keras, tidak akan terlalu takut menghadapi UN. Penolakan UN yang keras disuarakan belakangan ini membuktikan kemalasan seorang pelajar. Ia juga prihatin bila ada guru yang ikut mendukung penghapusan UN.
"Coba anak yang belajar keras, UN biasa saja. Yang menganggap UN sulit itu yang belajar tidak keras. Bagaimana bisa negara maju kalau anak santai di sekolah. Kalau guru ikut marah-marah UN, berarti membiarkan anaknya santai. Yang mana yang harus diikuti, yang kerja keras atau yang seenaknya," ujar Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu.
Mantan Ketua Umum Golkar ini juga menambahkan, pelajar di Indonesia sudah terlalu lama menggunakan sistem ujian yang lebih rendah dibandingkan negara tetangga. Ia pernah membandingkan soal UN Indonesia dengan negara-negara seperti Singapura dan Malaysia.
"Apa yang terjadi, ujian matematika dan ujian Bahasa Inggris, ujian SMA kita sama dengan SMP mereka. Ujian SMP kita sama dengan ujian SD mereka. Yang sama dengan kita tingkat ujiannya hanya Filipina," tutur JK.
Dia menggarisbawahi bila pelajar disibukkan untuk belajar, maka tingkat kenakalan remaja juga bisa ditekan.
"Pada saat ujian susah, anak-anak rajin belajar, karena orang tua takut anak tidak lulus, mereka malu. Itu tidak ada kenakalan remaja, angka tawuran turun. Begitu ujian mudah, anak-anak nggak belajar, kenakalan naik lagi, bisa ada geng motor," pungkas JK.
Belajar Senang Hati...
Belajar Senang Hati
Belajar Senang Hati
Acara ini juga dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Dia mengimbau agar insan pendidikan tidak sekadar melihat pendidikan sebagai sebuah pelaksanaan program, tapi melihatnya sebagai sebuah gerakan.
"Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Pendidikan menumbuhkembangkan generasi yang mandiri dan berkepribadian, karena pendidikan merupakan alat mencerdaskan kehidupan bangsa," jelas Anies.
Ia juga mengutip Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang mengajak semua insan pendidikan untuk menjadikan sekolah sebagai tempat menyenangkan. Peran guru juga diakui sebagai komponen strategis untuk menentukan suasana di dalam kelas.
"Ki Hajar menyebut pendidikan sebagai taman, tempat yang menyenangkan, tempat anak-anak datang dengan senang hati, belajar senang hati, dan pulang senang hati. Sudahkah kita mewujudkan sekolah sebagai tempat menyenangkan?" tantang Anies.
Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2015 melibatkan sekitar 915 peserta berasal dari seluruh pengelola pendidikan dan kebudayaan baik pusat maupun daerah.
Advertisement