KPU Dinilai Buka Pintu Politik Dinasti di Pilkada 2015

Terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum (SEKPU) Nomor 302/KPU/VI/2015 tentang calon petahana menimbulkan polemik.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 22 Jun 2015, 18:21 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2015, 18:21 WIB
Golkar Dorong Pilkada Serentak Pada 2020
Ilustrasi.

Liputan6.com, Jakarta - Terbitnya Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum (SEKPU) Nomor 302/KPU/VI/2015 yang mengatur tentang calon petahana dalam Pilkada serentak 2015 menimbulkan polemik. Surat itu dipandang menjadi pintu gerbang praktik dinasti politik.

Bahkan dengan adanya ketentuan tersebut, ada empat kepala daerah yang sudah mengajukan pengunduran diri, di antaranya Walikota Pekalongan, Bupati Ogan Ilir, Bupati Kutai Timur, dan Wakil Walikota Sibolga.

Menurut Surat Edaran KPU tersebut, seorang kepala daerah yang mundur dari jabatannya tak lagi disebut petahana atau incumbent. Karena itu, keluarga kepala daerah yang baru mundur beberapa hari menjelang digelarnya pendaftaran pilkada itu bisa mencalonkan diri.

Terkait hal itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang juga tergabung dalam Koalisi Kawal Pilkada Langsung, Donal Fariz, mengatakan KPU sebaiknya menarik kembali SE tersebut.

"KPU sebaiknya menarik kembali surat edaran yang dikeluarkan tersebut. Surat edaran itu akan membuka keran politik dinasti pada Pilkada 2015 ini," ujar Donal di kantornya, Jakarta, Senin (22/6/2015).

Dia menyatakan dengan tafsir KPU yang menyatakan penyebutan petahana tidak berlaku saat masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran atau mengundurkan diri sebelum masa jabatan, jelas menyalahi kewenangan KPU.

"Ada 22 petahana (incumbent) yang nyata jika menggunakan surat edaran KPU itu. Jelas pada saat ini KPU menafsirkan hal yang baru dari undang-undang yang membatasi polemik politik dinasti. Ini di luar kewenangan KPU," tutur Donal.

Harusnya Tunggu MK

Donal menambahkan, KPU pun seharusnya diminta menunggu Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menguji Pasal 7 huruf r, UU Nomor 8 Tahun 2015 yang mengatur bahwa salah satu persyaratan bagi bakal calon kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan terhadap incumbent atau petahana.

Sebab, menurut dia, hal itu menjadi penting karena dibutuhkan kepastian hukum.

"Mengingat tahapan pilkada terus berjalan dan semakin dekat akan tahapan pendaftaran pasangan calon kepala daerah tanggal 22-28 Juli 2015, selain MK harus mempercepat proses itu, juga KPU harusnya menunggu MK, jika ingin memberikan penjelasan lebih lanjut terkait dengan ketentuan persyaratan bakal calon kepala daerah yang tidak boleh punya konflik kepentingan," ujar Donal.

Donal pun meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri serta seluruh pejabat dan instansi yang berwenang memberikan keputusan terkait dengan pengunduran diri kepala daerah.

Belajar dari Banten

Sementara itu, Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, menilai KPU tidak belajar dari pengalaman tentang politik dinasti dari Banten, Bangkalan, serta Tanahlaut.

"Dari pengalaman yang ada fenomena politik dinasti di Banten, Bangkalan, serta Tanahlaut, jelas politik dinasti itu menimbulkan korupsi. Dalam surat edaran itu, KPU tidak memberikan jaminan bahwa itu bisa terjadi lagi," tegas Fadli.

Menurut Fadli, politik di daerah tidak bisa disamakan dengan keadaan nasional. Dia mencontohkan bagaimana Fauzi Bowo sebagai incumbent dikalahkan pendatang seperti Joko Widodo pada Pilkada Jakarta 2012.

"Meski incumbent memang punya kuasa terhadap kekuatan birokrasi, politik daerah tidak bisa disamakan dengan politik nasional. Misalnya, politik di Jakarta itu beda. Kita tidak hanya bisa mengandalkan calon serta para pemilih kalau di daerah," tegas Fadli. ‎(Mut/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya