Menembus Papua, Membebaskan Sandera

Indonesia tidak mengenal barter dalam penyanderaan, walaupun mereka meminta pemerintah menukar sandera dengan rekan mereka yang ditahan.

oleh Luqman RimadiKatharina JanurOscar FerriPutu Merta Surya Putra diperbarui 17 Sep 2015, 00:11 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2015, 00:11 WIB
Perbatasan RI - PNG
Perbatasan RI - PNG menjadi salah satu objek wisata unik di Papua.

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah banyak masalah yang membelit negeri ini, mulai dari kabut asap hingga nilai tukar rupiah yang terus terperosok, kabar lain datang dari perbatasan Papua dan Papua Nugini (PNG). 2 Warga negara Indonesia disandera kelompok penculik di negara tetangga PNG.

Kabar itu datang dari Konsulat RI di Vanimo, PNG yang mengatakan 2 WNI itu ditahan orang tak dikenal (OTK) di Kampung Skouwtiau, (PNG). Konsul RI di ibukota Provinsi Sandaun itu, Elmar Iwan Lubis sudah mendapat kepastian dari tentara PNG tentang kedua WNI yang ditawan oleh OTK pada Sabtu 12 September 2015.

"Kabar yang kami terima, mereka disandera. Belum diketahui motif dan siapa pelaku penyanderaan. Namun, kedua WNI itu dalam keadaan sehat," ucap Elmar.

Keduanya disebutkan dalam kondisi baik dan upaya pembebasan masih terus dilakukan terhadap kedua WNI bernama Sudirman (28) dan Badar (30) yang berprofesi sebagai tukang potong kayu itu. "Tentara PNG mengklaim akan memprioritaskan keselamatan kedua WNI," pungkas Elmar.

Penyanderaan keduanya terjadi Rabu 9 September lalu, bersamaan dengan penembakan terhadap Kuba, yang juga berprofesi sebagai tukang potong kayu di Skopro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua.

Sementara Kepolisian Daerah Papua meyakini pelaku penyanderaan Media Sudirman dan Badar adalah kelompok kriminal pimpinan Jefry Pagawak.

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan, Jefri Pagawak adalah kelompok kriminal baru yang pernah melakukan tindak kriminal di Jayapura dan Keerom. Jefri sampai saat ini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak tahun 2006.

Libatkan Tokoh Adat

Untuk menjalin komunikasi dengan kelompok tersebut, polisi mengirim 3 tokoh adat dan masyarakat setempat. Polisi mengaku, wilayah adat masyarakat di batas antara Skow di Papua Nugini hingga di Keerom, merupakan perlintasan 2 negara yang masih kental kekerabatan dan kekeluargaannya.

(Katharina Janur/Liputan6.com)

"3 tokoh adat dan masyarakat ini dilibatkan dalam komunikasi tersebut yang dibantu masyarakat lainnya, untuk mengecek apakah benar dugaan 2 WNI di PNG," kata Paulus di Jayapura, Senin 14 September 2015.

Tak hanya itu, polisi juga telah melakukan komunikasi dengan konsulat RI di Vanimo untuk memantau informasi keberadaan 2 WNI ini. Salah satu yang dilakukan adalah meminta bantuan tentara PNG untuk melakukan pencarian.

"Kami sudah menyusun tim satuan tugas sejak kejadian penembakan 9 September lalu yang menyebabkan seorang karyawan perusahaan kayu tertembak dan kena panah. Tak hanya itu, tentara PNG juga memberikan batas waktu 3 x 24 jam kepada kelompok Jefry Pagawak untuk menyerahkan 2 WNI," ujar Paulus.

Paulus menduga, penyanderaan ini ada kaitan dengan penembakan 9 September lalu dengan hilangnya 2 WNI di PNG.

"Ini merupakan rangkaian. Ada korban penembakan dan saat ini korbannya telah diselamatkan. Lalu ada 2 rekannya hilang pasca-kejadian itu dan belum bisa ditemukan," pungkas Paulus.

Diduga Bermotif Persaingan Usaha

Sedangkan Dewan Adat Keerom, Papua mengaku kelompok penyandera bermarkas di daerah Black Wara, berdekatan dengan Kali Moso bagian bawah. Jumlah kelompok penyandera tak lebih dari 10 orang dan memiliki senjata api.

"Mereka tak terlalu banyak. Namun kelompok ini adalah kelompok anak muda dan relatif lebih agresif dibandingkan dengan kelompok lain di wilayah perbatasan Keerom-Papua Nugini," ucap Ketua Dewan Adat Keerom, Heman Yoku kepada Liputan6.com di Jayapura, Papua, Senin 14 September 2015.

Pada dasarnya, imbuh dia, penyanderaan 2 WNI masih berkaitan dengan persaingan usaha perkayuan. Namun tak jarang pula para pengusaha itu menjanjikan hal yang satu dan lainnya kepada masyarakat.

"Kadang timbul kecemburuan sosial di sini. Ada juga masyarakat yang setuju dan tidak setuju, jika hasil hutannya diambil oleh pengusaha itu. Sehingga kedua warga bersitegang, tetapi tidak terang-terangan. Pada kasus ini ada kelompok warga yang menggunakan pihak lain, yakni kelompok penyandera itu," ujar Herman.

Ia pun meminta penyandera membebaskan 2 WNI dan menyerahkan kepada Konsulat RI di Vanimo. "Mulai dari kepala kampung hingga kepala distrik antara dua negara, kami terus komunikasikan supaya penyandera bisa kooperatif menyerahkan 2 WNI," pungkas Herman.

Tarian kolosal di Skow, Merauke, Papua yang masuk dalam perbatasan Indonesia-Papua Nugini. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Negosiasi Tanpa Barter

Tak mau menunggu lama, pemerintah pun menanggapi penyanderaan ini dengan serius. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan mengadakan rapat dengan para petinggi negara.

Rapat dihadiri oleh Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo‎, dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

"Kami sudah menyiapkan langkah-langkah apa yang akan kami lakukan," kata Luhut usai rapat koordinasi di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu 16 September 2015.

Tak cuma melaporkan langkah-langkah yang akan diambil, Luhut juga telah menyampaikan ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengenai kemungkinan terburuk yang akan dialami WNI yang disandera itu.

"Tadi malam saya sudah laporkan kepada Presiden langkah-langkah yang bisa kami lakukan sampai yang paling buruk. Dan yang paling buruk pun sudah kami persiapkan," ucap Luhut.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia tidak mengenal barter dalam penyanderaan. Walaupun, para penyandera meminta pemerintah menukar sandera dengan rekan mereka yang ditahan di Polsek Karom, Papua Barat.

"‎Pemerintah Indonesia tidak pernah mengenal barter dalam hal ini. Dengan demikian kedaulatan bangsa tetap kita pertahankan," ucap Luhut.

Namun, dia enggan menjawab soal langkah-langkah yang dilakukan TNI terkait pembebasan 2 WNI tersebut. "Saya tidak bisa bicara dari TNI sudah melakukan apa," kata Luhut.

Pengiriman Tim Khusus

Opsi barter tersebut juga ditolak mentah-mentah oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi. Menurutnya pemerintah akan berupaya menawarkan opsi lain untuk membebaskan 2 WNI dari tangan kelompok separatis itu.

"Tidak ada barter. Kita akan coba melakukan upaya lain karena saudara kita yang diculik ini adalah sipil yang tidak tahu apa-apa, jadi tidak ada barter. Sampai saat ini kita tidak bisa mengatakan arahnya ke mana, yang penting adalah pemerintah akan berupaya seoptimal mungkin untuk membebaskan 2 warga negara ini," ujar Retno di Istana Kepresidenan, Rabu, 16 September 2015.

Anggota TNI menyisir lokasi kelompok bersenjata di Papua.

Dia mengatakan, saat ini, pemerintah sudah memberangkatkan tim khusus yang bertugas untuk melakukan negosiasi dengan para penyandera. Nantinya, tim tersebut akan melakukan upaya negosiasi bersama dengan tim dari PNG. ‎‎

"Tim kita sudah siap semua, ada tim di Vanemo (kota di PNG) juga. Jadi dari waktu ke waktu tim di Vanemo juga terus melakukan koordinasi dengan saya dan saya juga berkoordinasi dengan pemerintah PNG," ucap Retno.

Dia tidak mau menyebutkan skenario apa yang akan dilakukan untuk pembebasan 2 WNI itu. Dia memastikan segala upaya yang dilakukan tidak lepas dari koordinasi dengan pemerintah PNG. ‎

"Saya belum bisa, karena secara detail hal seperti ini belum bisa kita sampaikan. Upaya pembebasan sedang dilakukan. Jadi kita tidak bisa menyampaikan pada media. Dan karena ini wilayah PNG. Jadi apa pun yang kita lakukan, kita harus melakukan komunikasi dengan pemerintah PNG," kata Retno.

Hingga kini nasib Sudirman dan Badar belum jelas. Adalah penting pemerintah menanggapi serius kasus ini, karena apa yang menimpa mereka tak hanya menyangkut nasib 2 orang, melainkan terkait dengan harga diri bangsa.

Setiap kali WNI diculik dan disandera, apalagi di negara lain, itu berarti pertaruhan bagi bangsa ini. Pemerintah diuji akan komitmennya untuk menjaga dan merawat warganya di manapun berada.

Karena itu, tindakan tegas memang harus dilakukan. Tak boleh ada yang mempertaruhkan nasib dan nyawa warga negara kita dengan penawaran apa pun.

Di atas semuanya, prioritas harus tetap mengedepankan cara bagaimana Sudirman dan Badar bisa kembali dengan selamat dan kembali berkumpul bersama keluarga. (Ado/Ans)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya