Abu Sayyaf Bunuh Sandera Asal Kanada, JK Minta Indonesia Waspada

Kewaspadaan khususnya harus dimiliki oleh aparat terutama TNI yang telah bersiaga di wilayah perbatasan.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 26 Apr 2016, 14:31 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2016, 14:31 WIB
VIDEO: Keberadaan 4 WNI Disandera Abu Sayyaf Belum Diketahui
Pembajakan kapal dan penculikan membuat Otoritas Pelabuhan Tarakan, melarang pelayaran menuju ke Filipina.

Liputan6.com, Jakarta - Kelompok radikal Abu Sayyaf membunuh seorang warga asal Kanada, John Ridsel yang selama ini menjadi sanderanya. Eksekusi dilakukan karena pemerintah Kanada tak kunjung memberikan uang tebusan hingga batas waktu yang ditentukan.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta jajarannya untuk lebih waspada setelah peristiwa itu. Jangan sampai tindakan serupa dilakukan kepada sandera asal Indonesia yang hingga kini belum diketahui nasibnya.

"Tentu harus kita waspada juga. Ya waspada jangan terjadi di Indonesia begitu," ujar JK di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (26/4/2016).

Kewaspadaan khususnya harus dimiliki oleh aparat terutama TNI yang telah bersiaga di wilayah perbatasan. Sehingga kapanpun perintah bergerak, pasukan bisa langsung bekerja. "Ya namanya waspada harus," imbuh dia.

Di sisi lain, JK juga prihatin dengan kondisi warga Kanada yang dieksekusi oleh Abu Sayyaf. Terlebih, warga Indonesia juga masih dalam belenggu kelompok radikal itu. "Ya tentu kita turut bersedih itu karena akan ada yang di Filipina itu kan," pungkas dia.

John Ridsel, diculik dari tempat wisata di Filipina Selatan pada September tahun 2015 lalu, bersama 3 turis asing lainnya. Mereka dijadikan sandera oleh kelompok Abu Sayyaf dan dijadikan jaminan untuk uang tebusan yang belum dibayarkan hingga tenggat waktu yang ditentukan.

Ridsel diculik dari dermaga dekat kota Davao. Bersama turis 68 tahun itu, Abu Sayyaf menculik Robert Hall dari Kanada, lalu warga negara Norwegia Kjartan Sekkingstand dan warga Filipina pacar Hall bernama Marites Flor. Mereka dibawa ke Jolo, 300 km dari Davao.

Kelompok itu kemudian meminta uang tebusan US$80 juta atau sekitar Rp 1,056 triliun untuk kebebasan mereka. Dalam video yang tersebar, Ridsel memperingatkan ia adalah sandera pertama yang bakal dihabisi nyawaya jika uang tak dibayar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya