Kontras Desak Jokowi Terbitkan Keppres Tuntaskan Kasus HAM

Kontras meyakini Keppres akan membantu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pasca kerusuhan Mei 1998.

oleh Liputan6 diperbarui 23 Agu 2016, 15:20 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2016, 15:20 WIB
20160302-Bersama Keluarga Korban, KontraS Desak Pencopotan Jaksa Agung
Koordinator KontraS, Haris Azhar (kedua kanan) menunjukkan surat saat memberikan penyataan di Jakarta, Rabu (2/3/2016). KontraS beserta keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu mendesak pencopotan Jaksa Agung. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi telah memutuskan menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Uji materi itu diajukan oleh orangtua korban kerusuhan Mei 1998, Paian Siahaan dan Yati Ruyati.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, mengatakan  permohonan ditolak karena tidak beralasan hukum. Dalam putusannya, majelis hakim juga memastikan adanya ketidakpastian hukum selama proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Dengan adanya keputusan ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (Kontras) meminta Presiden Jokowi dan segenap otoritas negara berjabat tangan menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat.

"Seharusnya Presiden dengan putusan ini mengambil inisiatif cepat, mendudukkan semua otoritas yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat agar ketidakpastian hukum bisa diakhiri segera, sebagaimana pendapat majelis hakim pada putusan ini," ujar Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras, Yati Andriyani, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (23/8/2016).

Menurut Yati, otoritas negara yang paling berhubungan dalam kasus ini adalah DPR, Komnas HAM, dan Kejaksaan Agung yang semuanya bertanggung jawab kepada Presiden.

"Kita tidak minta tapi kita desak karena (pelanggaran HAM berat) ini memang kewajiban. Itu diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000. Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Presiden, Komnas HAM juga bertanggung jawab ke Presiden," lanjut Yati.

Dia juga mengingatkan, dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 disebutkan bahwa Presiden memiliki kewajiban untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres), terlebih terhadap kasus-kasus pelanggaran besar seperti kasus HAM.

Yati meyakini Keppres akan membantu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pasca kerusuhan Mei 1998.

"Presiden harus segera mengakhiri ketidakpastian hukum dan pertimbangan-pertimbangan ini sangat jelas, sangat positif untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak," papar Yati.

Dalam putusan hari ini, Majelis Hakim MK menyampaikan, dengan tidak dikabulkannya gugatan ini, pemohon tidak dapat menikmati hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian, hukum yang adil.

Hakim juga menegaskan, hak pemohon atau korban untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tidak diberikan.

"Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum," ujar ketua Majelis Hakim Arief Hidayat di Mahkamah Konstitusi.

Adapun pemohon dalam uji materi meminta kejelasan atas maksud frasa "kurang lengkap" di Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Karena sejak 2002, Komnas HAM sudah menyerahkan 7 berkas perkara penyelidikan kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan.

Tapi, Jaksa Agung belum kunjung menindaklanjuti perkara pelanggaran HAM berat tersebut dengan alasan bahwa berkas penyelidikan Komnas HAM belum cukup lengkap. (Winda Prisilia)

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya