‎Ahli Patologi: Penyidik Bisa Perintahkan Autopsi dengan Catatan

Jika pada akhirnya keluarga tetap menolak jenazah dilakukan autopsi, menurut Djaja, semua dikembalikan lagi ke penyidik.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 07 Sep 2016, 19:03 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2016, 19:03 WIB
20160907-Saksi Ahli Patologi di Sidang Jessica Wongso-Afandi
Ahli patologi forensik Djaja Surya Atmadja yang dihadirkan tim kuasa hukum Jessica Wongso pada sidang perkara pembunuhan Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Ahli patologi forensik dr Djaja Surya Atmadja yang dihadirkan pihak terdakwa Jessica Kumala Wongso dalam persidangan menyatakan, sulit menyimpulkan penyebab ke‎matian tak wajar seseorang tanpa melakukan autopsi.

Pernyataan itu sontak memancing reaksi dari jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani kasus pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin. ‎Apalagi dalam kasus ini, penyidik terbatas pada sikap keluarga korban yang keberatan jasad Mirna diautopsi.

"Apakah ketika penyidik hanya bisa melakukan pemeriksaan dengan pengambilan sampel, itu bisa dibenarkan dalam rangka mencari tahu penyebab kematian, sementara pihak keluarga tidak mengizinkan dilakukan autopsi?" tanya jaksa Ardito Muwardi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016).

Ahli menjawab, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik memiliki waktu 2x24 jam untuk melakukan autopsi. Dalam hal ini, pelaksanaan autopsi untuk mengungkap penyebab kematian yang sebenarnya merupakan tanggung jawab penyidik.

"Saya bicara seperti saat saya kasih kuliah, ya. Prosedur standar, ketika ada orang yang mati tidak wajar, berdasarkan KUHAP, penyidik diberi waktu 2x24 jam untuk menjelaskan kepada keluarga tentang pentingnya autopsi. Jika keluarga masih menolak, penyidik harus coba minta sekali lagi," jawab Djaja.

Jika pada akhirnya keluarga tetap menolak jenazah dilakukan autopsi, menurut Djaja, semua dikembalikan lagi ke penyidik. Apakah tetap dipaksakan untuk melakukan autopsi, meski pihak keluarga tidak setuju, atau hanya dilakukan pemeriksaan luar tanpa autopsi.

"Kewenangan ada di penyidik. Mereka bisa memerintahkan dokter forensik untuk tetap autopsi, dengan catatan, bahwa pihak keluarga tidak setuju," kata Djaja.

Djaja menjelaskan, proses autopsi adalah membedah dan memeriksa tiga bagian pada tubuh manusia, yakni otak, tenggorokan, dan perut. Djaja juga menekankan bahwa dalam kasus keracunan, autopsi sangat diperlukan untuk mengetahui penyebab pasti kematian.

‎Sementara pada kasus kematian Mirna, penyidik tidak memerintahkan dokter forensik untuk melakukan autopsi, melainkan hanya pemeriksaan luar dan pengambilan sampel lambung saja. Sehingga, penyebab kematian Mirna tidak dapat dipastikan berasal dari racun sianida.

"Kalau bicara pemeriksaan dengan pengambilan sampel organ tubuh, itu sama saja dengan pemeriksaan luar, tidak diautopsi," kata dia.

‎Apalagi, dari hasil toksikologi Laboratorium Forensik sebelumnya, hanya ditemukan 0,2 miligram per liter sianida di dalam sampel lambung Mirna. Sedangkan di organ tubuh lain, seperti empedu, hati, dan urine, sianida dinyatakan negatif.

"Padahal, kalau keracunan sianida, di semua organ tubuh seharusnya ada sianida dalam jumlah besar. Makanya kenapa saya bilang, korban ini tidak mati karena keracunan sianida," tandas Djaja.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya