Rekonsiliasi Agama dan Budaya ala Din Syamsuddin

Din menuturkan betapa beruntungnya Indonesia memiliki Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 13 Okt 2016, 09:25 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2016, 09:25 WIB
Din Syamsuddin
Din Syamsuddin (Liputan6.com/ Devira Prastiwi)

Liputan6.com, Nusa Dua - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menjadi salah satu pembicara pada rangkaian acara World Culture Forum (WCF) 2016 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC).

Dia mengatakan, masih ada ketegangan antara budaya dan agama. Hal itu disebabkan, budaya yang berkembang bisa jadi justru bertolak belakang dengan agama yang ada.

"Budaya sebagai produk hasil rasa karya cita manusia yang boleh jadi tidak berdasarkan agama. Sekarang tugas agamawan dan umat beragama bagaimana budaya itu tidak keluar dari nilai-nilai agama dan sekaligus keagamaan itu tidak keluar dari nuansa kebudayaan. Rekonsiliasi ini yang harus kita lakukan," kata Din Syamsuddin di Nusa Dua Bali, Rabu 12 Oktober 2016.

Din menuturkan betapa beruntungnya Indonesia memiliki Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika untuk menghadapi kemajemukan yang ada. Namun, pemahaman terhadap dua simbol negara itu masih minim di mata masyarakat.

"Sehingga era reformasi ini ada gejala dan gelagat individualisme, egoisme kelompok, dan akhirnya sempat menimbulkan konflik berdarah-darah di Ambon, Poso, Kalimantan, atau yang bersifat vertikal seperti di Aceh. Dan ini tugas kita merajut kemajemukan ini, dan ini memang tidak ada jalan lain yang strategis selain lewat pendidikan, pendidikan, dan pendidikan," kata Din.

Din juga menegaskan, seluruh agama dapat menerima beragam kemajemukan. Meski begitu, persoalan yang dihadapi saat ini adalah ancaman multikulturalisme atau kemajemukan itu sendiri.

"Karena di dunia sekarang ini muncul individualisme, sektarianisme, egosentrisme, baik atas nama agama, rasionalitas, maupun kesukuan, etnis, dan lain-lain. Termasuk juga kepentingan politik, ini akan menjadi ancaman bagi peradaban manusia kalau tidak segera diatasi," ungkap Din.

Din mengusulkan multikulturalisme kalau bisa ditingkatkan, tidak sekadar pada tataran pasif dan normatif belaka, tapi menjadi sebuah kemajemukan yang progresif, aktif, dan berkemajuan.

"Sebuah wawasan tentang kemajemukan yang kita tampilkan dalam kebersamaan dan kerja sama. Jadi kata kuncinya adalah kerja sama, tentu dalam hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Agama-agama sebagai contoh ada perbedaan-perbedaan soal konsep ketuhanan," papar Din Syamsuddin.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya