Liputan6.com, Jakarta - "Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Janji tersebut tepat diucapkan dua tahun lalu oleh Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla di Gedung MPR Jakarta. Ya, 20 Oktober 2014, keduanya resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.
Advertisement
Mereka pun berjanji melaksanakan 9 program unggulan yang bernama Nawacita. Salah satunya, terkait dengan penegakan hukum di Tanah Air.
Advertisement
Pada poin keempat Nawacita, Jokowi-JK berjanji melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, serta terpercaya.
Keduanya pun membuat sejumlah gebrakan dalam bidang hukum selama memegang kendali atas bangsa ini. Sebut saja pemberantasan pungutan liar (pungli) di instansi dan lembaga negara. Jokowi, pungutan liar sekecil apapun merupakan budaya kerja yang tidak sehat dan berpotensi menimbulkan praktik korupsi yang jauh lebih besar.
"Yang lebih kecil pun akan saya urus. Bukan hanya Rp 500 ribu atau Rp 1 juta, urusan Rp 10 ribu pun akan saya urus. Kecil-kecil tapi meresahkan, kecil-kecil tapi menjengkelkan," kata Jokowi, dalam keterangan tertulis dari Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden Bey Machmudin, Minggu, 16 Oktober 2016.
Selain soal pungli, masih ada sejumlah gebrakan lain Jokowi-JK dalam bidang hukum. Liputan6.com akan membahas pemberantasan pungli dan 4 gebrakan lainnya, seperti berikut ini:
1. Operasi Pemberantasan Pungli
Jokowi mengawali perangnya atas pungli melalui gerakan Operasi Pemberantasan Pungli (OPP). Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun membentuk tim khusus untuk memerangi pungli bernama Tim Sapu Bersih (Saber) Pungli.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto ditunjuk sebagai penanggung jawab tim tersebut. Penggerak utama satgas ini akan diprioritaskan pada Polri yang melibatkan kementerian terkait.
Pungli sekecil apa pun merupakan budaya kerja yang tak sehat. Bahkan, berpotensi menimbulkan praktik korupsi yang jauh lebih besar.
"Kecil-kecil tapi meresahkan, kecil-kecil tapi menjengkelkan. Kita harus membangun sebuah budaya yang baik, budaya kerja yang cepat," kata Jokowi, saat penyerahan sertifikat tanah kepada masyarakat Surakarta, Minggu, 16 Oktober 2016.
Presiden yang akrab disapa Jokowi itu sadar betul kerugian yang ditimbulkan pungutan liar alias pungli tidak lebih besar, dibanding kasus-kasus lainnya. Namun dia bertekad akan tetap memberantasnya.
"Yang lebih kecil pun akan saya urus. Bukan hanya Rp 500 ribu atau Rp 1 juta, urusan Rp 10 ribu pun akan saya urus," kata Jokowi.
Dia pun menegaskan akan terus mengawasi pungli dalam pelayanan kepada masyarakat, khususnya pengurusan perizinan.
"Yang namanya urusan untuk izin-izin semuanya akan saya awasi. Saya akan awasi," Jokowi menegaskan.
Hal itu dibuktikan dengan penangkapan petugas 'nakal' di Kementerian Perhubungan. Penangkapan tersebut terjadi beberapa menit setelah pembentukan Saber Pungli.
Setelah pengungkapan tersebut, bertubi-tubi pungli di sejumlah instansi terkuak.
Advertisement
2. Perppu Hukuman Kebiri
Pada tahun kedua pemerintahannya, Jokowi meneken sebuah Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang kontroversial. Perppu itu adalah Perppu Perlindungan Anak yang memuat hukuman kebiri kimia. Kebiri dipilih Jokowi menjadi sanksi terberat bagi pelaku kejahatan seksual ke anak.
"Saya telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan ke 2 atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang makin meningkat secara signifikan," kata Jokowi, di Istana Negara, Jakarta, Rabu 25 Mei 2016.
Menurut dia, aturan ini akan‎ memberi ruang bagi hakim untuk memutuskan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
"Kita berharap dengan hadirnya perppu ini, bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku serta dapat tekan kejahatan seksual terhadap anak yang merupakan kejahatan luar biasa," ujar Jokowi.
Kini, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau populer disebut Perppu Kebiri akhirnya disetujui DPR dalam rapat paripurna. Pengesahan itu dilakukan pada Rabu, 12 Oktober 2016.
3. Eksekusi Mati
Tak ada kata ampun bagi pelaku kejahatan terkait narkotika. Konsistensi ini ditunjukkan Jokowi lewat eksekusi mati jilid III yang dilaksanakan pada Jumat, 29 Juli 2016.
Malam itu, hujan deras tiba-tiba turun menjelang eksekusi mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Angin kencang yang mengiringi menambah ketegangan. Petir menyambar disertai suara menggelar. Tak lama berselang, kabar datang. Eksekusi mati telah dilakukan.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung Noor Rachmat memastikan pihaknya hanya mengeksekusi empat terpidana mati pada eksekusi mati jilid III kali ini. Mereka adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus, dan Humprey Ejike.
"Sementara empat yang dieksekusi mati tepat pukul 00.45 WIB," kata Noor Rachmat di dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat dini hari, 29 Juli 2016.
Walau mendapat protes dari sejumlah negara, keluarga dan masyarakat, Jokowi tetap bersikukuh melaksanakan eksekusi mati bagi terpidana yang terbukti mengedarkan atau membawa masuk narkoba ke Indonesia.
Saat ini, masih banyak terpidana mati yang menanti pelaksanaan hukuman tersebut. Namun, belum ada sinyal dari pemerintahan Jokowi-JK soal pelaksanaan eksekusi mati jilid 4.
Advertisement
4. Kasus HAM Masa Lalu
Presiden Joko Widodo menegaskan komitmennya soal penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu.
Dia pun memerintahkan Menko Polhukam, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BIN untuk menyelesaikannya pada tahun ini.
Namun, Jokowi meminta agar masyarakat bersabar soal penyelesaian kasus yang sudah mengerak tersebut.
"Nanti saya dipikir tidak memberikan perhatian, tapi satu-satu," kata Jokowi saat makan siang bersama wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 8 Januari 2016.
Sementara itu, Jaksa Agung M Prasetyo berjanji Kejaksaan tidak akan berhenti mengusut kasus pelanggaran HAM bila bukti-bukti pelanggaran tersebut tidak dapat ditemukan. Dia mengatakan Kejaksaan akan menempuh jalur rekonsiliasi. Salah satunya dengan mempertimbangkan permintaan maaf.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, pemerintah telah membentuk tim gabungan untuk menyelesaikan dugaan pelangaran HAM berat masa lalu. Tim gabungan itu terdiri dari sejumlah unsur.
"Ada unsur Kejaksaan Agung, Komnas HAM, TNI, Polri, para pakar hukum, dan masyarakat," ujar Wiranto usai upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu, 1 Oktober 2016.
Masyarakat, terlebih keluarga korban, masih menunggu akhir dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu ini.
5. Paket Kebijakan Hukum
Pemerintah tengah menyiapkan paket kebijakan hukum. Paket ini memang masih terus dibahas untuk menemukan formulasi yang tepat sehingga pelaksanaannya bisa berjalan efektif.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, selama ini, banyak komplain soal penerapan hukum di Indonesia yang justru tidak memberi kepastian hukum, berbelit, dan terlalu panjang prosesnya.
"Maka perlu apa kepastian yang lebih baik dan tentu juga harmonisasi hukum," kata JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 7 Oktober 2016.
Saat ini, Indonesia memiliki banyak undang-undang dan aturan yang cenderung saling bertabrakan dan berbeda arah. Hal ini yang diduga menjadi penyebab timbulnya ketidakpastian hukum.
"Jangan hukumnya, undang-undang terlalu banyak, peraturannya terlalu banyak, tapi saling tidak harmonis, saling bertentangan, saling berbeda arahnya. Sehingga harus diharmonisasi lebih baik, itu lah intinya," JK menjelaskan.
Beberapa waktu lalu, Jokowi-JK juga sudah menghapus ribuan perda bermasalah.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, pembahasan tersebut akan dibicarakan lebih dalam melalui rapat terbatas dalam waktu dekat. Presiden sudah menugaskan Menko Polhukam Wiranto untuk menyusun ini semua.
"Berbagai hal. Berkaitan dengan hukum, politik, polhukam lah," kata Pramono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 5 Oktober 2016.
Reformasi melalui paket kebijakan hukum ini juga berlaku untuk perundang-undangan beserta turunannya. Tentu kaitannya dengan masalah utama di bidang hukum yang selama ini dihadapi Indonesia.
"Satu mengenai stabilitas politik. Kedua berkaitan dengan bagaimana sistem demokrasi itu bisa berjalan dengan lebih baik. Ketiga berkaitan dengan persoalan yang dengan kita hadapi sekarang, yaitu narkoba, dan seterusnya," tutur politikus PDIP itu.
Advertisement