KPK: APBN-P Dikurangi, Pejabat Bakamla Malah Korupsi

Terlebih, proyek yang diduga dikorupsi ini untuk lebih meningkatkan keamanan dan ketahanan negara dalam sektor kelautan.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 15 Des 2016, 18:15 WIB
Diterbitkan 15 Des 2016, 18:15 WIB
20161215-Barang Bukti OTT Deputi Bakamla yang Terima Suap Rp 2 Miliar-Jakarta
Wakil Ketua KPK Laode Syarief (kiri) dan Ketua KPK Agus Rahardjo bersiap memberi keterangan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) Deputi Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (15/12). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, 14 Desember 2016.

Penangkapan tersebut terkait pengadaan alat kelautan yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P). Ketua KPK Agus Rahardjo sangat menyayangkan penangkapan tersebut.

"Lagi-lagi kita prihatin dengan kejadian seperti ini. Kita semua tahu, anggaran APBN-P 2016 sedang dikurangi. APBN-P seharusnya menjadi prioritas, tetapi ini malah kejadian, ada korupsi di dalamnya," ucap Agus saat memberikan keterangan di kantornya, Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (15/12/2016).

Terlebih, proyek yang diduga dikorupsi ini untuk lebih meningkatkan keamanan dan ketahanan negara dalam sektor kelautan.

"Pengadaan ini strategis sifatnya, untuk keamanan dan kepentingan NKRI yang dikelola oleh Bakamla. Oleh karena itu, kami anggap ini sesuatu yang sangat penting, karena kalau anggaran untuk pertahanan negara saja dikorupsi, ini akan berdampak sangat tidak baik untuk ketahanan RI," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif.

KPK menetapkan empat tersangka kasus dugaan suap proyek pengadaan monitoring satelit di Bakamla yang dibiayai APBN-P tahun 2016.

Keempatnya, yakni Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi, pegawai PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, serta Direktur PT MTI Fahmi Darmawansyah.

Oleh KPK, sebagai penerima Eko diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Sementara Adami, Hardy, dan Fahmi dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.

Adapun, penetapan tersangka ini merupakan hasil OTT yang dilakukan Tim Satgas KPK di dua lokasi berbeda di Jakarta. Dalam OTT itu diamankan empat orang, yakni Eko, Adami, Hardy, dan Danang Sri Raditiyo.

Dari pemeriksaan 1x24 jam, tiga di antaranya jadi tersangka, sementara Danang yang merupakan pegawai PT MTI masih berstatus saksi. Sedangkan, Fahmi jadi tersangka usai KPK memeriksa terhadap mereka yang diamankan Tim Satgas dalam OTT tersebut.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya