Dilema Dewan Etik MK Menurut Mantan Hakim

Harjono menambahkan, jika hasil pengawasan diumumkan akan bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap MK sebagai badan peradilan.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 01 Feb 2017, 20:10 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2017, 20:10 WIB
harjono-mk-131008d.jpg

Liputan6.com, Jakarta - Setelah Patrialis Akbar ditangkap karena diduga menerima suap, permintaan membentuk dewan pengawas Mahkamah Konstitusi (MK) terus bermunculan. Hanya saja, ada berbagai pertimbangan sehingga kehadiran dewan pengawas ini belum diperlukan.

Mantan Hakim MK Harjono mengatakan, saat ini sudah ada dewan etik di MK. Dewan Etik ini dibentuk setelah kasus korupsi mantan Ketua MK Akil Mochtar mencuat. Namun, ia mengaku, akan menimbulkan masalah baru jika Dewan Etik diperkuat perannya.

"Apakah setiap hari Dewan Etik mengatakan, 'eh itu begini-begini kepada publik. Kalau itu dilakukan, sudah turun ini martabat MK. Kalau itu hakim diperingatkan, di-publish, sudah turun (martabatnya)," kata Harjono di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/2/2017).

Ia mengaku tidak mengetahui penguatan dari sisi mana terkait pengawasan. Apakah akan ada di eksternal Komisi Yudisial, sistem pengawasannya, perlu dipublikasi, atau ada sistem lain.

Harjono menambahkan, jika hasil pengawasan diumumkan akan bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap MK sebagai badan peradilan. Inilah yang menjadi dilema.

"Oleh karena itu, dewan etik masih close saja. Setelah dewan etik kemudian nanti melihat ada pelanggaran berat, nanti dibuat Mahkamah Kehormatan yng sekarang sudah dibentuk. Kalau sudah luar biasa," jelas dia.

Harjono menilai, kehadiran dewan etik MK cukup untuk mengawasi dan memperingatkan hakim MK bila melakukan sesuatu di luar ketentuan. Karena memang hasil kerja dewan etik tidak boleh dipublikasikan setiap saat.

"Kenapa tidak boleh, setiap hari hakimnya diperingatkan, jadi MK tidak ada wibawa lagi," Harjono memungkas.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya