5 Rekomendasi Muhammadiyah Terkait Revisi UU Terorisme

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melayangkan surat rekomendasi resmi terkait revisi Rancangan UU Terorisme ke DPR pada Senin 21 Mei 2018.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 24 Mei 2018, 01:06 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2018, 01:06 WIB
Densus 88 gerebek sebuah rumah di Malang, Jawa Timur terkait kasus bom gereja Surabaya (Liputan6.com/Zainul Arifin)
Densus 88 gerebek sebuah rumah di Malang, Jawa Timur terkait kasus bom gereja Surabaya (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Jakarta - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melayangkan surat rekomendasi resmi terkait revisi Rancangan Undang-Undang Terorisme ke DPR pada Senin 21 Mei 2018. Ada sejumlah poin yang disampaikan secara langsung ke Ketua DPR Bambang Soesatyo.

Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Efendi menyampaikan, sudah menjadi kewajiban pihaknya untuk memberikan masukan sebagai bukti dukungan dalam perbaikan, peningkatan, dan penanganan terhadap terorisme.

"Mudah-mudahan dengan sumbangan dari Muhammadiyah itu, dalam lima tahun tidak ada teror lagi," tutur Bahtiar di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Rabu (23/5/2018).

Secara umum, ada lima hal yang direkomendasikan oleh Muhammadiyah untuk revisi RUU terorisme.

Penjabaran pertama dipaparkan oleh mantan Komisioner Komnas HAM Menejer Nasution.

Poinnya adalah perlu ada restrukturisasi kelembagaan dalam penanganan pencegahan tindak pidana terorisme.

Dia menyinggung terkait penanganan tindak pidana terorisme oleh penegak hukum dianggap kurang memperhatikan due process of law. Hal itu berujung pada dikesampingkannya hak terduga atau pun tersangka teroris.

"Saya setidaknya membentuk tim dua kali evaluasi terorisme pertama 2012 sampai 2015 akhir. Komnas HAM melakukan penelitian pemantauan. Ada tim yang kajian terorisme. Setidaknya ada 9 pelanggaran HAM yang ditemukan selama penanganan terorisme," kata Menejer.

Menurutnya, kewenangan penanganan terorisme perlu diserahkan kepada beberapa lembaga yang berintegrasi di bawah kementerian tertentu. Hal itu agar penanganan terorisme tidak bersifat parsial dan tanpa pengawasan.

"Tidak boleh ada lembaga yang memiliki kewenangan absolut karena cenderung menggunakan kekuasaan secara eksesif dan berpotensi melanggar hak warga negara," jelas dia.

Kedua adalah soal lembaga kepengawasan. Perlu dibentuk lembaga pengawas independen pencegahan tindak pidana terorisme dengan melibatkan tokoh masyarakat, perguruan tinggi, ormas, hingga mantan polisi dan TNI.

"Terus terang penanganan terorisme kita itu relatif tidak terawasi dengan benar. Apa yang bisa kita lakukan untuk membuktikan ini benar terorisme atau tidak, orangnya sudah mati. Satu yang bisa kita lakukan autopsi. Komnas HAM tidak punya kewenangan itu. Polri bisa. Karena itu perlu ada lembaga pengawas independen yang mengawasi," beber Menejer.

Pencegahan Terpadu

Terduga Teroris Cirebon Tinggal Bersama Dua Perempuan
Istri terduga teroris diduga kabur saat tim Densus 88 bersama Polda Jabar menggeledah rumah kontrakan di Desa Jemaras Kidul Kecamatan Klangenan Kabupaten Cirebon. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Ketum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menambahkan, poin ketiga bahwa pencegahan terorisme mesti dilakukan secara terpadu dengan melibatkan kementerian terkait.

Sedikit contoh, Kemenkopolhukam atau Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme bisa mengkoordinasi kementerian sesuai aspeknya.

Misalnya saja aspek pencegahan menjadi kewenangan Kemenag, Kemendemikbud, Kemendagri, atau Kemenkumham. Kemudian aspek penindakan menjadi tanggung jawab kepolisian dan aspek recovery korban ditangani oleh Kemensos.

"Di sini pentingnya kami menyampaikan masukan soal Revisi UU Terorisme. Terakhir dua hari lalu kami sampaikan 10 masukan. Masukan pertama terkait penindakan, kedua tentang pencegahan. Dari nama, kami usulkan namanya UU Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme," kata Dahnil.

Kemudian keempat, perlu adanya jaminan independensi keuangan dalam program tindak pidana terorisme. Pembiayaan Densus 88 Antiteror dan BNPT dalam penanganan terorisme mestinya hanya dari APBN. Jangan sampai ada koorporasi lain atau bahkan pihak luar negeri alias asing yang ikut mendanai.

Yang kelima adalah perlunya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme melalui ormas atau lembaga swadaya masyarakat dalam menanggulangi masalah terorisme.

"Kami melihat definisi radikal dan deradikalisasi itu dilematis. Radikal itu bisa dari pikiran atau tak selalu diikuti tindakan kekerasan. Yang jadi masalah, ketika pemikiran radikal disalahgunakan, kemudian diikuti tindak kekerasan," Dahnil menandaskan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya