ICW Sebut Terpilihnya 5 Pimpinan Baru KPK Bagian Rencana Besar

Dengan kondisi seperti ini, lanjut dia, pemberantasan korupsi di Indonesia kian menjauh dari harapan.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Sep 2019, 09:02 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2019, 09:02 WIB
Firli Bahuri Terpilh Sebagai Ketua KPK 2019-2023
Petugas menulis perolehan suara pada pleno pemilihan dan penetapan Capim KPK di ruang rapat Komisi III DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (13/9/2019) dini hari. Calon Pimpinan KPK Irjen Pol Firli Bahuri terpilh sebagai Ketua KPK 2019-2023 dengan perolehan 56 suara. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai terpilihnya lima pimpinan KPK periode 2019-2023 sesuai hasil prediksi sejak awal bahwa Komisi III DPR RI akan memilih capim KPK yang sesuai 'selera politik'nya. Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo menyampaikan, sinyal komposisi pimpinan KPK yang baru terpilih telah menguat sejak di Panitia Seleksi Capim KPK.

"Ini artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi kemarin, dengan apa yang terjadi di DPR RI adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar," kata dia saat dihubungi Merdeka.com, Jumat 13 September 2019.

Dengan kondisi seperti ini, lanjut dia, pemberantasan korupsi di Indonesia kian menjauh dari harapan. Yakni menciptakan pemerintahan yang sepenuhnya bersih dan bebas dari KKN.

Adnan mengatakan ada tiga isu besar jika melihat pada komposisi lima pimpinan KPK terpilih. Pertama terkait rekam jejak buruk di masa lalu.

"Salah seorang figur yang dipilih DPR merupakan pelanggar kode etik, hal ini diambil berdasarkan konferensi pers KPK beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, bahkan KPK telah membeberkan terkait pertemuan yang bersangkutan dengan salah seorang tokoh politik," jelasnya.

Selain itu, ada juga pimpinan terpilih yang tidak patuh dalam pelaporan LHKPN di KPK. Padahal ini merupakan mandat UU Nomor 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2016.

"Akan tetapi persoalan ini terlewat begitu saja pada setiap tahapan seleksi," ujarnya.

Hal ketiga yang disorot ICW adalah tidak mengakomodir masukan masyarakat. Padahal sejak awal berbagai elemen masyarakat, organisasi, serta tokoh masyarakat mengungkapkan ada persoalan serius pada seleksi Pimpinan KPK.

"Mulai dari Ibu Shinta Wahid, Buya Syafii Maarif, Romo Magnis, Romo Benny, Pimpinan Muhammadiyah, Prof Mahfud MD, dan puluhan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia. Akan tetapi masukan tersebut juga tidak diakomodir, baik oleh Pansel, Presiden, maupun DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa seleksi Pimpinan KPK kali ini hanya dijadikan urusan segelintir elite politik saja, tanpa melibatkan masyarakat luas," jelasnya.

Lebih parahnya lagi, DPR dan pemerintah sama-sama sepakat dengan revisi UU KPK. Dalam hal ini masukan masyarakat juga diabaikan. Seluruh calon Pimpinan KPK, lanjut Adnan, sangat terikat dengan komitmen menyetujui revisi, sebagai syarat untuk terpilih sebagai Pimpinan KPK. Para calon Pimpinan KPK diminta menandatangani kontrak politik saat uji kepatutan dan kelayakan berkaitan dengan persetujuan revisi UU KPK.

"Keadaan yang sangat tidak ideal ini tentu membawa dampak langsung bagi agenda pemberantasan korupsi. Namun demikian, kita sebagai elemen bangsa yang masih dan terus peduli dengan upaya perbaikan, pembenahan dan upaya melawan korupsi tidak boleh putus asa, karena apa yang kita lakukan selama ini telah membawa manfaat besar bagi bangsa ini," jelasnya.

Adnan menegaskan, KPK adalah anak kandung reformasi yang dilahirkan salah satunya oleh TAP MPR XI/ 1998. Pelemahan terhadap KPK dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap mandat reformasi dan mimpi bangsa soal demokrasi yang sehat.

 

Saksikan Tayangan Video Pilihan Berikut Ini

Pernyataan Sikap ICW

20161018-Catatan-Korupsi-ICW-Jakarta-HA
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra, Pakar Hukum Pidana UGM Zaenal Arifin Mochtar menunjukkan buku karya Saldi Isra di Jakarta, Selasa (18/10/2016). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

ICW juga mengeluarkan empat pernyataan sikap yaitu:

1. Mendorong seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk makin memperkuat kerjasama dan sinergi untuk terus mendesak pemerintah agar agenda pemberantasan korupsi tidak dikooptasi oleh kepentingan politik kelompok dan golongan.

2. Mendorong agar seluruh komponen masyarakat, akademisi, mahasiswa, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil untuk kian memperkuat pengawasan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar KPK tetap berjalan sesuai dengan harapan publik.

3. Mendorong agar para pegawai KPK dan seluruh jajarannya membangun soliditas untuk memperkuat sistem pengawasan internal dan kapasitas organisasi agar Pimpinan KPK terpilih tidak mudah melakukan kesewang-wenangan.

4. Mendesak Presiden Jokowi untuk bertanggungjawab dan menepati janji politiknya untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi. Janji politik itu perlu diwujudkan dalam sikap presiden terhadap revisi UU KPK yang telah disetujui untuk dibahas. Presiden harus mengambil sikap tegas dengan menolak segala usulan yang akan memperlemah KPK dan tidak menyerahkan proses serta pengambilan keputusan pada perwakilannya, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, saja.

Reporter: Hari Ariyanti

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya