Pakar Hukum: Warisan Kolonial, Pasal Penghinaan Presiden di RUU KUHP Harus Dihapuskan

Menurut dia, penafsiran terhadap pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden dikhawatirkan multi-interpretasi.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Sep 2019, 16:31 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2019, 16:31 WIB
Tolak RKUHP dan UU KPK, Mahasiswa Geruduk DPR
Mahasiswa dari berbagai kampus menggelar demonstrasi di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Massa yang menolak RKUHP dan UU KPK yang baru disahkan tersebut terdiri dari elemen mahasiswa dari sejumlah kampus. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Jakarta, Suparji Ahmad meminta Pasal 217-220 dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dihapuskan. Pasal tersebut yaitu membahas soal hukuman terhadap setiap orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Dia menilai hal tersebut adalah warisan kolonial dan bertentangan pada putusan MK.

"Saya berharap pasal tentang penyerangan harkat martabat itu salah satu harus dihapuskan, pasal 217-220 sehingga demikian betul-betul responsif. Karena pasal-pasal tersebut dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan bertentangan dengan putusan MK," kata Suparji dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/9/2019).

Menurut dia, penafsiran terhadap pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden dikhawatirkan multi-interpretasi. Dan dapat menjerat kebebasan pers. Pasal-pasal itu menurutnya dikhawatirkan mempidanakan orang, padahal Presiden adalah pejabat publik dan seharusnya sebagai pejabat sangat wajar kalau dikritik.

"Itu salah satu nuansa yang muncul dalam berbagai diskusi, apalagi kalau sekarang ditunda pengesahannya maka pasal-pasal itu dihapuskan saja," ungkap Suparji.

Tetapi menurut dia, pada pasal tersebut juga tidak akan mengekang kebebasan pers karena Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa semena-mena melaporkan media massa. Jika unsur-unsurnya tidak terpenuhi.

Kemudian dia mencontohkan, jika pers mengkritik kebijakan, suatu persoalan maka Presiden atau Wapres tidak bisa menilainya sebagai penghinaan atau penyerangan harkat dan martabat sehingga pers tidak bisa dipidanakan.

Diketahui, dalam Pasal 217 RKUHP menyebutkan bahwa Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Pasal 218 ayat (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

 

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Pasal 218

Tolak RKUHP dan UU KPK, Mahasiswa Geruduk DPR
Mahasiswa dari berbagai kampus menggelar demonstrasi di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Dalam aksinya, para mahasiswa membawa spanduk dan poster yang menunjukkan dukungan kepada KPK. (Liputan6.com/JohanTallo)

Pasal 218 ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219 menyebutkan Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Dan Pasal 220 ayat (1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Reporter: Intan Umbari Prihatin

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya