Liputan6.com, Jakarta - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai polemik. Meski akhirnya batal disahkan, revisi KUHP cukup menyita perhatian.
Hal itu lantaran sejumlah pasal dalam revisi UU KUHP dianggap kontroversial. Masyarakat menilai, dalam revisi KUHP masih banyak mengandung pasal yang multitafsir.
Penolakan pun makin gencar disuarakan publik setelah DPR berencana mengesahkannya pada sidang paripurna, Selasa 24 September 2019.
Advertisement
Ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia sejak Senin 23 September 2019 turun ke jalan. Di Ibu Kota, mahasiswa membanjiri depan gedung DPR.
Baca Juga
Tuntutan mereka adalah batalkan pengesahan revisi KUHP, revisi UU KPK, revisi UU Pemasyarakatan, dan revisi UU Pertanahan. DPR akhirnya menunda pengesahan empat revisi tersebut.
DPR berdalih revisi KUHP harus disahkan untuk menggantikan KUHP produk peninggalan Belanda. Bagaimana sesungguhnya sejarah KUHP? Berikut ulasannya:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
KUHP Bersumber dari Hukum Belanda
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini digunakan oleh Indonesia berasal dari i Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie, buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie tersebut diundangkan melalui Staatsblad (lembar negara).
Advertisement
KUHP Hanya Berlaku di Jawa dan Madura
Pada 26 Februari 1946, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Undang-Undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
KUHP hanya berlaku di wilayah Jawa dan Madura. Hal ini sesuai dengan Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa:
"Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden."
Berlaku di Seluruh Indonesia Sejak 1958
Pemberlakuan KUHP di seluruh wilayah Indonesia baru dilakukan pada 20 September 1958, setelah diterbitkan UU Nomor 73 Tahun 1958.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1958 yang berbunyi:
"Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia."
Advertisement
Revisi KUHP
Setelah 100 tahun lamanya menggunakan KUHP buatan Belanda, Pemerintah dan DPR akhirnya memutuskan untuk merevisi KUHP.
Namun beberapa pasal yang direvisi menuai kontroversi. Antara lain, pasal soal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.
Revisi KUHP pun mendapat penolakan. Gelombang demonstrasi pun terjadi. Sejak Senin, 23 September 2019 sampai Selasa kemarin, ribuan mahasiswa turun ke jalan. Demo di Ibu Kota terpusat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Ketua DPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk menunda pengesahan revisi KUHP dan revisi Pemasyarakatan (PAS). Penundaan itu dilakukan sampai waktu yang tidak ditentukan.
"Sampai waktu yang tidak ditentukan kemudian," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Bamsoet menjelaskan, penundaan itu dilakukan untuk membahas lagi pasal-pasal yang kontroversial. Hal itu guna menyamakan persepsi antara DPR, pemerintah, dan publik.
"Ya jadi penundaan diperlukan yang pertama adalah sesuai dengan keinginan kita bersama," ucapnya.
Reporter : Syifa Hanifah
Sumber : Merdeka.com