Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar membaca terlebih dahulu terkait penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha dalam Undang-Undang Omnibus Law.
Dia menjelaskan hal tersebut tidak ada urusannya dengan pidana tetapi hanya soal adminitrasi saja dan bukan bagian dari pidana korporasi
Baca Juga
"Itu mereka belum baca aja kok. Belum baca saya kira. Kita Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly aja belum, ini kok..," kata Yasonna usai melakukan rapat bersama BPIP di Kantor Wakil Presiden, Jalan Merdeka Utara, Kamis (19/12/2019).
Advertisement
Dia mengatakan dalam omnibus law berisi terkait sanksi perdata dan bukan kejahatan korporasi. Dan tidak ada kaitannya terkait hal tersebut.
"Bukan kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi kan bukan di situ. Itu tindak pidana. Ga ada urusannya tindak pidana dengan ini (pelanggaran administrasi)," ungkap Yasonna.
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif meminta pemerintah dapat menjelaskan secara detail rencana penghapus sanksi pidana bagi pengusaha dalam Undang-Undang Omnibus Law.
"Jadi saya pikir itu perlu diperjelas agar Omnibus Law ini tidak menjadi alat untuk berlindung korporasi yang punya niat tidak baik. Ini penting," katanya di Gedung KPK, Kamis (19/12/2019).
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bentuk Kemunduran
Dia menyebut, pada dasarnya korporasi dan pengusaha mesti bertanggung jawab bahkan dalam ranah pidana jika terbukti melakukan pelanggaran.
Contohnya seperti kasus Volkswagen di Amerika Serikat dan Rolls-Royce di Inggris yang dikenakan pidana denda.
"Di mana-mana sekarang (pakai pidana korporasi). Dulu Belanda saja tidak mengakui, sekarang di KUHP Belanda jelas sekali. Jadi jangan kita buat hukum yang kembali ke masa kolonial. Kita sudah milenial tapi kembali ke masa kolonial," jelas dia.
Reporter: Intan Umbari Prihatin
Sumber: Merdeka.com
Advertisement