Yusril Ihza: Pasal Darurat Sipil Tak Relevan Melawan Pandemi Covid-19

Darurat sipil hanya efektif untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 01 Apr 2020, 08:05 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2020, 08:05 WIB
Keakraban Jokowi dan Yusril Ihza Mahendra di Istana Bogor
Presiden Joko Widodo berbincang dengan pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (30/11). (Liputan6.com/HO/Biropers)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah skenario pandemi virus Corona atau Covid-19 mulai dari ringan hingga terburuk, di mana salah satunya menyiapkan kebijakan darurat sipil apabila keadaan abnormal.

Ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, dasar yang digunakan yakni Perpu Nomor 23 Tahun 1959, dipandang tidak relevan dengan upaya untuk melawan merebaknya wabah virus Corona. Menurut dia, pengaturannya hanya efektif untuk mengatasi pemberontakan dan kerusuhan, bukan mengatasi wabah yang mengancam jiwa setiap orang.

"Satu-satunya pasal yang relevan hanya adalah pasal yang berkaitan dengan kewenangan Penguasa Darurat Sipil untuk membatasi orang ke luar rumah. Ketentuan lain seperti melakukan razia dan penggeledahan hanya relevan dengan pemberontakan dan kerusuhan. Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi yang biasa digunakan sebagai alat untuk propaganda kerusuhan dan pemberontakan, juga tidak relevan," kata Yusril, Selasa (31/3/2020).

Menurut dia, dalam Perpu ini keramaian-keramaian masih diperbolehkan sepanjang ada izin dari Penguasa Darurat. Bahkan ada pasal yang kontraproduktif karena Penguasa Darurat tidak bisa melarang orang berkumpul untuk melakukan kegiatan keagamaan termasuk pengajian-pengajian. Aturan-aturan seperti ini tidak relevan untuk menghadapi wabah Corona.

"Lebih daripada itu Darurat Sipil terkesan represif. Militer memainkan peran sangat penting kendalikan keadaan. Yang kita butuhkan adalah ketegasan dan persiapan matang melawan wabah ini untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Pemerintah harus berpikir ulang mewacanakan darurat sipil ini," ungkap Yusril.

Dia menuturkan, pemerintah pernah menggunakan pasal-pasal Darurat Sipil itu untuk atasi kerusuhan di Ambon tahun 2000. Presiden Gus Dur akhirnya setuju nyatakan Darurat Sipil dan memintanya mengumumkan di Istana Merdeka.

"Darurat Sipil mampu meredam kerusuhan bernuansa etnik dan agama itu. Tentu banyak kritik kepada saya sebagai Menteri Kehakiman waktu itu. Tapi saya bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. Kerusuhan Ambon jelas beda dengan wabah Corona. Mudah-mudahan kita mampu mengambil langkah yang tepat di tengah situasi yang amat sulit sekarang ini," jelas Yusril.

Menurut dia, keadaan memang sulit, bagi para pemimpin jangan sampai kehilangan kejernihan berpikir menghadapi situasi.

"Tetaplah tegar dan jernih dalam merumuskan kebijakan dan mengambil langkah serta tindakan," pungkasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Belum Ada Rencana

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud Md menegaskan, pemerintah saat ini tidak akan memberlakukan darurat sipil.

"Pemerintah sama sekali tidak merencanakan untuk memberlakukan darurat sipil dalam konteks Covid-19," kata Mahfud dalam video conference, Selasa (31/3/2020).

Dia menegaskan bahwa itu sebenarnya sudah diatur dalam Perpu Nomor 23 Tahun 1959.

"Undang-undang itu sudah stand by, tapi hanya diberlakukan nanti kalau diperlukan. Kalau keadaan ini menghendaki darurat sipil baru itu diberlakukan, sekarang tidak untuk menghadapi Covid-19," ungkap Mahfud.

Dia menegaskan, itu akan dihidupkan seiring melihat perkembangan wabah pandemi sekarang.

"Kecuali perkembangan keadaan menjadi lebih sangat buruk dan menghendaki itu. Baru itu nanti dihidupkan digunakan. Karena memang undang-undang itu sudah hidup sejak tahun 59 sampai sekarang," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya