ICJR: Polisi Gunakan Momentum Covid-19 untuk Bungkam Kritik

Menurut Erasmus, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan sejumlah pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus penghinaan presiden.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 07 Apr 2020, 15:07 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2020, 15:07 WIB
Ilustrasi tahanan.
Ilustrasi tahanan. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam tindakan Polri yang mengeluarkan Surat Telegram bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tanggal 4 April 2020, dengan salah satu isinya menyangkut pidana terkait penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara.

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, meminta pihak kepolisian agar segera menghentikan segala proses hukum terhadap setiap orang yang menggunakan haknya untuk berekspresi secara sah.

"Pandemi Covid-19 malah dijadikan momen oleh aparat penegak hukum untuk membungkam kebebasan berpendapat warga negara secara eksesif melalui penjeratan pasal-pasal UU ITE dan KUHP," tutur Erasmus dalam keterangannya, Selasa (7/4/2020).

Menurut Erasmus, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan sejumlah pasal dalam KUHP yang menyasar kepada kasus penghinaan Presiden. Seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 ayat (1) KUHP.

"MK menegaskan bahwa perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis, negara yang berkedaulatan rakyat dan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia," jelas dia.

Lebih lanjut, MK juga menekankan bahwa tidak boleh ada lagi pengaturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputus bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya, aturan tersebut pada akhirnya tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

 

Pasal Tidak Tepat

"Dengan demikian, ketentuan pidana apapun mengenai penghinaan terhadap penguasa yang dilihat secara kelembagaan tidak dapat digunakan untuk melindungi kedudukan presiden sebagai pejabat dan pemerintah," ujarnya.

Erasmus mengatakan, polisi juga kerap menggunakan pasal-pasal yang tidak tepat saat menjerat seseorang yang mengeluarkan pendapat secara sah namun dianggap menghina penguasa. Seperti Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, Pasal 156 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian, dan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum.

"Pasal 27 ayat (3) UU ITE misalnya, lagi-lagi perlu diingatkan bahwa berdasarkan UU 19 Tahun 2016 revisi UU ITE dinyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan yang mensyaratkan harus terdapat pengaduan terlebih dahulu dari korban penghinaan yang dituduhkan," Erasmus menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya