Liputan6.com, Jakarta - Wilayah di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah sejak sepekan terakhir terendam banjir. Kondisi itu kian parah setelah airnya meluas dan merendam belasan desa di wilayah tersebut pada Senin (14/9/2020).
Banjir terjadi dari dampak tingginya curah hujan yang membuat sungai meluap dan merendam permukiman di bantaran sungai dan dataran rendah. Sebanyak 13 desa yang sebagian wilayahnya dilanda banjir tersebut tersebar di tiga kecamatan, yaitu Antang Kalang, Mentaya Hulu, dan Telaga Antang.
Baca Juga
Bencana ini tentu dapat menimbulkan permasalahan baru, terutama di saat wabah Covid-19 yang tengah mengganas. Ancaman klaster baru di pengungsian dikhawatirkan akan muncul mengingat tingginya pergerakan masyarakat yang terdampak dari musibah tersebut.
Advertisement
Menurut Pakar Mitigasi Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, perlu ada langkah khusus untuk menekan Covid-19 di tengah bencana agar tidak memunculkan klaster banjir. Para pemangku kepentingann mulai sekarang diharapkan sudah memulai memetakan kawasan rawan dan mengkampanyekan kebutuhan dalam menghadapi bencana tersebut.
"Semua pihak menyusun rencana kontingensi, yang berbeda antara penanganan banjir pada saat normal dengan saat pandemi," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (14/9/2020).
Menurutnya, penanganan bencana banjir saat pandemi akan lebih sulit dilakukan ketimbang saat kondisi normal. Masyarakat diminta ekstra turut andil dalam penekanan Covid-19 agar tak muncul kluster baru pengungsian.
"Jelas lebih sulit. Tinggal masyarakat merasa penting atau tidak melakukan protokol dengan baik. Perlu diketahui, mengurus bencana, terutama melaksanakan protokol kesehatan bukan hanya urusan pemerintah tapi urusan semua orang. Pada akhirnya masyarakat yang jadi korban bila mereka tidak melakukan protokol kesehatan dengan baik," ucap dia.
"Kalau saat sekarang masih kesulitan, besok lebih kesulitan lagi. Namun demikian, pasti bisa dimulai untuk mengurangi risiko," imbuh pria kelahiran 58 tahun lalu ini.
Â
Dia juga menjelaskan mitigasi bencana saat pandemi berbeda dengan kondisi normal. Prasyarat dan kebutuhannya akan tak sama. Kebutuhan sumber daya saat evakuasi maupun pengelolaan pengungsian dinilainya bakal lebih sulit.
Kesulitan itu, kata Eko, terutama pada tuntutan untuk melakukan protokol kesehatan. Selain itu, juga ruang jangkaunya yang lebih jauh, perangkat evakuasi lebih luas serta obat-obatan dan makanan yang lebih banyak. Sebab menurutnya, kebutuhan saat di pengungsian bukan hanya diperuntukan untuk pengungsi, tetapi juga untuk relawan dan petugas.
"Banjir di saat pandemi akan mempersulit penanganan darurat," tegas dia.
Sementara itu, Ahli Mikrobiologi dari LIPI, Sugiyono Saputra mengungkapkan, sulit memprediksi virus SARS-CoV-2 dapat terbawa air banjir dan menginfekasi warga lainnya. Namun begitu, menurutnya keberadaan virus dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti kelembaban suhu udara.
"Genangan air, tidak tahu. Pertama (penyebaran virus melalui) droplet, airborne mungkin, tapi kecil. Yang utama droplet. Sebisa mungkin hindari benda-benda yang banyak disentuh orang, kan terkontaminasi. Kalau air, apakah virus ini bisa bertahan atau tidak, saya tidak tahu," ujar dia.
Menurut Sugiyono, jenis virus ini terbukti tahan terhadap segala cuaca. Sikap kewaspadaan dan kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan menjadi kunci utama untuk memutus penyebaran virus tersebut.
"Dari dulu kan SARS muncul saat winter, musim dingin. Dulu diprediksi saat musim panas, akan hilang, tapi kan juga enggak. Artinya cukup tahan terhadap lingkungan. Karena itu, nanti pas musim hujan ya tetap waspada," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Protokol Kesehatan di Pengungsian
Praktisi kesehatan Ari Fahrial Syam mengingatkan kemunculan klaster pengungsi akibat banjir di tengah pandemi COVID-19 menjadi sesuatu yang perlu diwaspadai. Ini karena risiko potensi penularan COVID-19 dapat terjadi.
"Prinsipnya begini, dengan kasus COVID-19 semakin banyak, pada kasus pasien yang sakit dilakukan isolasi mandiri dan terpisah. Jadi, ketika ada kerumunan, misalnya, di pengungsian banjir itu, ya terus terang saja ada potensi terjadinya klaster," kata Ari saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin (14/9/2020).
"Bagaimana mengantisipasinya? Jelas harus ada pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga mereka yang mengungsi akibat banjir juga melaksanakan protokol kesehatan," imbuh dia.
Ari menambahkan, protokol kesehatan harus dipersiapkan di pengungsian banjir. Terlebih saat makan bersama.
"Tetap antisipasi jaga jarak, pakai masker. Kalau makan juga diatur bagaimana tempatnya nanti. Karena pas makan kan buka masker," lanjut Ari.
Ia menegaskan, proses 3T (testing, tracing, treatment) dalam penanganan COVID-19 harus tetap dilakukan tatkala menghadapi banjir. Hal ini pun perlu diperhatikan pemerintah daerah.
"Oh, iya jelas 3T tetap harus dilakukan. Jangan sampai mereka sudah menjadi korban banjir, lalu di pengungsian banjir malah terjadi penularan Covid-19 di antara mereka," tambah Ari yang berlatar belakang dokter spesialis penyakit dalam konsultan tersebut.
"Memang di satu sisi ketika banjir, daya tahan tubuh juga menurun. Pengungsi bisa saja stres, tidurnya terganggu. Terlebih lagi cuaca yang mungkin belum bersahabat, ini jelas memengaruhi daya tahan tubuh."
Dalam sepekan terakhir, sejumlah daerah di Indonesia didera banjir. Banjir yang diakibatkan curah hujan tinggi sejak beberapa hari lalu ini menyebabkan 980 unit rumah terdampak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada Minggu (13/9/2020).
Menurut laporan yang diterima Pusdalops Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pukul 20.00 WIB, banjir melanda empat desa dengan tinggi mata air 40-100 cm, yaitu kelurahan Hilir Kantor di Kecamatan Putussibau dan Desa Teluk Barak, Desa Sungai, dan Desa Tanjung Jati di Kecamatan Putussibau Selatan.
Sebagaimana keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kapuas Hulu sudah berada di lokasi kejadian melakukan pendataan, evakuasi, kaji cepat, dan droping logistik dibantu BPBD Provinsi Kalimantan Barat, TNI / Polri, aparat desa, dan relawan.
Prakiraan cuaca Dasarian II dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), potensi hujan dengan intensitas tinggi masih akan terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu.
BNPB mengimbau masyarakat agar waspada potensi hujan yang disertai petir/kilat dan siap siaga mengantisipasi dampak fenomena alam lainnya, seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor dan angin kencang.
Banjir juga kembali terjadi dan merendam 1.469 rumah di Kecamatan Sokan, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, kemarin. Bencana ini mengakibatkan seorang warga meninggal dunia, 1.469 KK/5.369 jiwa terdampak dan sedikitnya 70 KK/300 jiwa terpaksa mengungsi.
Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Melawi telah berkoordinasi dengan SAR untuk evakuasi warga. Ini banyak anak-anak yang terjebak di rumah. Tinggi muka air dilaporkan bervariasi dari 60 sampai 250 cm.
Pemerintah Kecamatan Melawi dan perangkat desa telah memberikan bantuan logistik maupun peralatan. Kondisi hingga pukul 17.23 WIB kemarin, cuaca di sebagian besar wilayah Kabupaten Melawi mendung dan banjir dilaporkan meluas hingga seluruh kecamatan.
Prakiraan cuaca dari BMKG menyebut, hujan lebat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang masih berpotensi terjadi di sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Barat hingga Selasa (15/9/2020) mendatang.
Selain Kalimantan Barat, wilayah lain yang memiliki prakiraan cuaca yang sama meliputi Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Â
Advertisement
Prediksi Awal Musim Hujan 2020
Sementara itu Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan awal musim hujan di Indonesia tidak terjadi secara serentak di semua wilayah. Pada Oktober, hanya sepertiga wilayah yang sudah memasuki musim penghujan.
"Ada yang 34,8 persen akan mengawali musim hujan di Oktober di sebagian Sumatera, sebagian Jawa, sebagian Kalimatan dan sebagian Sulawesi. Kemudian sebagian lainnya atau 38,3 persen memasuki musim hujan di bulan November itu termasuk bagian lain dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua," kata Dwikorita ketika dihubungi Liputan6.com, Senin (14/9/2020).
"Nah sisanya 16,4 persen, memasuki musim hujan di bulan Desember. Itu termasuk NTB, NTT, Papua, Maluku dan sebagian Jawa, Kalimatan, dan Sulawesi," imbuh dia.
Dia menjelaskan, BMKG memprediksi musim hujan kali ini bersamaan dengan terjadinya La Nina lemah dan dipol negatif. Artinya kondisi di Samudera Pasifik di Zona Ekuator yang mengakibatkan peningkatan uap air dari arah Samudera Pasifik ke wilayah Indonesia.
"Jadi ada tambahan pasokan uap air dari Samudera Pasifik ke Indonesia, demikian juga dari wilayah Samudera Hindia. Jadi relatif meskipun 71 persen zona musim di Indonesia itu hujannya normal, tetapi ada sekitar sepertiganya lebih basah," jelas dia.
Jadi, dia menegaskan, yang perlu diwaspadai di zona tersebut yang kawasan musimnya lebih basah. Terutama untuk wilayah yang zona merah Covid-19.
"Dan bahkan jangan menunggu Oktober, sekarang pun. Kan tadi dikatakan awal musim hujan kan akhir Oktober. Tapi ada yang mulai November, ada yang mulai Desember. Namun saat ini, mulai September sampai pertengahan Oktober, kita berada di musim pancaroba transisi antara musim kemarau dan musim hujan," kata dia.
Pada saat musim pancaroba ini, dia meminta masyarakat untuk tetap mewaspadainya. Mengingat pada musim ini, akan terjadi perubahan cuaca yang berubah secara mendadak. Misalnya pagi hari cerah namun tiba tiba siang berubah menjadi hujan lebat.
"Dan itu bisa mengakibatkan banjir, banjir bandang dan longsor di wilayah wilayah tersebut. Termasuk di Jawa, Sumatera. Artinya di berbagai wilayah di Indonesia hampir merata. Pancaroba hampir merata. Pancaroba tidak hanya masalah hujan yang tiba tiba hujan ekstrem, nah kami akan selalu berikan peringatan dini wilayah mana saja yang terdeteksi mendadak tiba-tiba cuaca esktrem, tidak hanya hujan ekstrem, bisa saja angin kencang, puting beliung. Nah itu yang harus diwaspadai sebelum masuk musim hujan," terang dia.
Selain mewaspadai perubahan cuaca secara mendadak, daya tahan tubuh juga harus menjadi perhatian masyarakat. Masa pancaroba, sebut dia, dapat menggerus stamina seseorang hingga mengakibatkan jatuh sakit. Â
"Jangan sampai mengalami ini. Bencana masih bisa terjadi, banjir bandang meskipun belum masuk musim hujan. Di beberapa wilayah masih bisa mengalami hujan lebat, banjir bandang, longsor itu masih bisa, terutama di wilayah-wilayah Indonesia di sekitar khatulistiwa dan Timur Indonesia," jelas Dwikorita.
Kemudian juga harus siap menghadapi musim hujan yang akan terjadi pada Oktober akhir. Karena sekitar sepertiga zona musim, 30 persennya itu akan lebih basah ketimbang normal. Selanjutnya 71 persen musim hujannya normal tetapi hampir sepertiga itu lebih basah.
"Artinya (ada) potensi banjir, longsor, dan banjir bandang. Karena itu, saat ini harus memperbaiki sistem tata air, jangan sampai ada sumbatan-sumbatan pada saluran. Jadi kalau nanti ada hujan lebat, tidak terjadi banjir. Resapan-resapan harus dijaga jangan tersumbat, jangan sampai banyak endapan-endapan di situ," ujar dia.Â
Untuk itu, BMKG akan menginformasikan prakiraan cuaca ekstrem sejak tiga hari hingga setengah jam sebelum kejadian. Terutama pada lokasi yang menjadi zona merah Covid-19.
"Misalnya tempat merawat orang menderita Covid-19 harus dipastikan zonanya aman dari banjir, longsor, dari banjir bandang. Jangan sampai tempat perawatan penderita Covid-19 terkena bencana, akan jadi multiple impact. Bukan hanya korban bencana, tetapi penyebarluasan dampak dari wabah itu. Jadi harus diwaspadai di zona merah itu jangan sampai berada atau terpapar di zona yang rawan banjir atau longsor, rawan banjir bandang, atau puting beliung," jelas dia.
Dalam menghadapi musim hujan 2020/2021, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dodo Gunawan mengimbau para pemangku kepentingan dan masyarakat agar tetap mewaspadai wilayah-wilayah yang akan mengalami musim hujan lebih awal.
"Perlunya peningkatan kewaspadaan dan antisipasi dini untuk wilayah-wilayah yang diprediksi akan mengalami musim hujan lebih basah dari normalnya yaitu di Sumatra, Jawa dan sebagian kecil Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Papua," kata Dodo.
Selain itu, perlu juga diwaspadai wilayah-wilayah yang akan mengalami awal musim hujan sama atau sedikit terlambat (10-20 hari), terutama di wilayah-wilayah sentra pangan seperti Jawa, Bali, NTB dan Sulawesi.
"Masyarakat diharapkan dapat lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim hujan terutama di wilayah yang rentan terjadi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor," kata Dodo.