Cerita Masa Kecil Pejabat KPK Kerap Lihat Praktik Suap Calon Kepala Desa

Saat ini, seorang calon kepala desa bahkan berani membeli satu suara seharga Rp 1 juta.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 23 Okt 2020, 14:54 WIB
Diterbitkan 23 Okt 2020, 14:49 WIB
KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono menceritakan masa kecilnya di desa. Saat kecil, dirinya kerap melihat adanya praktik suap menyuap dalam pemilihan kepala desa (Pilkades).

"Menjelang pemilihan suara ada pembelian suara yang lumayan besar, jaman saya kecil nilainya itu Rp 25 ribu per orang," ujar Giri dalam pembukaan Sekolah Pemuda Desa 2020 'Menyemai Kemandirian Desa', Jumat (23/10/2020).

Giri menutrukan, tempat tinggal masa kecilnya berlokasi sekitar 30 km dari kota. Bahkan, menurut Giri, jika ingin memenangkan ajang pemilihan kepala desa, sang calon bisa memberikan uang lebih banyak.

"Walaupun kepala desa enggak punya gaji. Dia hanya punya (tanah) bengkok, bengkoknya kalau enggak salah 8 hektare, kalau saya hitung pendapatannya hanya beberapa," kata dia.

Itu saat dirinya masih kecil. Kini untuk menjadi seorang kepala desa, kata Giri, kandidat bisa mengeluarkan uang jauh lebih banyak. Berdasarkan informasi yang dia terima, seorang calon kepala desa berani mengeluarkan uang Rp 1 juta untuk satu suara.

"Sekarang, kepala desa sudah berani menawar suara itu bisa sampai Rp 1 juta. Di Luwu itu orang sudah berani bayar Rp 1 juta jadi kepala desa. Di Grobogan Rp 1 juta juga, di Sumenep harganya Rp 1 juta. Gede ya. Ini ongkos politik di desa," katanya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

KPK Tak Bisa Tangani Praktik Suap Pilkades

Meski terjadi suap di desa, Giri mengatakan, KPK tak bisa menangkapnya. Sebab, KPK dibentuk untuk menangani perkara dengan kerugian yang besar dan dengan nama besar pula.

"Jangan semuanya berharap ini ke KPK, karena KPK menangani kasus yang besar-besar. Kalau di kabupaten yang bisa ditangkap KPK itu Bupati, Wakil Bupati, DPRD, pimpinan proyek, kepala proyek, polisi, jaksa, hakim, pengacara, sipir penjara, atau pemeriksa atau penyidik pajak," kata dia.

"Kalau kepala desa korupsi tidak bisa ditangkap KPK langsung, bisanya polisi dan Jaksa. Kecuali, kepala desa ditangkap, kasus ditangani polisi atau jaksa, kemudian kepala desa tersebut terlepas dari kasus terus dia bayar Rp 10 juta ke polisi atau jaksa. KPK tangkap polisi dan jaksanya, bisa. Baru kepala desanya ditangkap," Giri menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya