Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah resmi melarang Pemerintah Daerah (Pemda) dan sekolah negeri untuk membuat aturan tentang seragam agama tertentu. Hal itu dituangkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 02/KB/2O2l, Nomor 025-199 Tahun 2021 dan Nomor 219 Tahun 2021 antara Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid meragukan aturan tersebut bisa berjalan dengan efektif. Pasalnya aturan seperti ini sebelumnya sudah ditelurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui sejumlah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud).
Baca Juga
"Ya keputusan ini tidak hanya menjadi sebuah retorika atau pidato-pidato, tapi bagaimana ini dikawal dan harus diimplementasikan di lapangan. Karena kejadian ini (intoleran) itu hampir tiap tahun terjadi, dan itu terjadi di banyak daerah tidak di satu daerah," ucap Ubaid kepada Liputan6.com, Kamis (4/2/2021).
Advertisement
Ubaid beranggapan bahwa mestinya Kemendikbud tak perlu mengeluarkan SKB tersebut. Mengingat aturan serupa sudah tertuang pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, serta Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan.
Menurutnya, Kemendikbud mestinya menyibukkan diri untuk melakukan evaluasi mengapa intoleransi di sekolah masih kerap terjadi.
"Kalau evaluasi dilakukan, investigasi dilakukan, maka solusinya itu bukan keputusan bersama tapi nanti dilihat problem-nya apa? Apakah memang ada persoalan di paradigma guru-guru memahami tentang keragaman, bagaimana cara pandang antar-siswa atau orang tua terhadap keragaman di sekolah dan seterusnya," katanya.
Ubaid sendiri secara personal menganggap aturan soal seragam wajar saja jika disusun oleh sekolah asalkan mengakomodir suara semua pihak. Pasalnya, ia melihat selama ini aturan soal seragam kerap mengesampingkan suara-suara minoritas dan tak dibicarakan secara bersama.
"Ini aturan bukan hanya soal seragam kan? Semua anak yang sekolah itu dia berhak mendapatkan hak untuk belajar bersama, beribadah di sekolah kemudian ada pelajaran agama sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya gitu kan?," katanya.
Ubaid mengaku dirinya memang mendukung SKB tiga menteri itu. Namun ia juga meminta Kemendikbud untuk mengawasi implementasi kebijakannya di lapangan.
"Saya melihat kebijakan inikan mendorong untuk menghargai keragaman, jadi sekolah di mana pun berada harus menghargai keberagaman. Jadi prinsipnya saya setuju karena itu menghargai keberagaman dan semangatnya adalah pendidikan damai dan kebinekaan dan seterusnya," kata Ubaid.
Namun untuk implementasi di lapangan, Ubaid meminta semuanya harus dibicarakan secara bersama-sama dan mesti mengedepankan kearifan lokal.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pesimistis
Ubaid mengaku pesimistis terhadap implementasi SKB Tiga Menteri tersebut. Berkaca pada kebijakan-kebijakan sebelumnya, ia memandang masih banyak yang jalan di tempat.
"Karena kebijakan ini bukan kebijakan pertama. Kalau kita lihat Permendikbud itu sudah ada soal antisipasi kekerasan di sekolah, Permendikbud soal mendorong keberagaman. Pertanyaan saya bagaimana regulasi-regulasi yang sudah dikeluarkan itu pemerintah bisa menerapkannya di lapangan? Bagaimana capacity building untuk dinas-dinas, bagaimana capacity building penerapan di level kepala sekolah, bagaimana pengawasannya? Nah itu yang enggak terjadi," sebut Ubaid.
Kendati Mendikbud Nadiem Makarim telah mengancam bakal memutus dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi sekolah yang membangkang aturan tersebut, Ubaid tetap meragukan efektivitas jalannya aturan tersebut.
"Menurut saya bisa jadi efektif tetapi sanksi itu tidak hanya dijalankan secara sendiri tetapi sebelum sanksi itu dilakukan apa upaya pemerintah untuk mendorong supaya kebijakan itu bisa dilakukan di lapangan," kata dia.
Misalnya dengan memberikan pemahaman kepada pihak terkait soal kebinekaan dalam Pancasila agar menyamakan konsepsi soal pluralitas.
"Bagaimana pendidikan yang menghormati kepercayaan dan agama semua kalangan itu bagaimana. Itu kan harus dibangun dulu. Kalau paradigma itu enggak dibangun mau ada regulasi ya tetap nanti ada pelanggaran," tegasnya.
Ubaid menilai jika hanya sanksi tanpa adanya pemahaman atau edukasi bagi pengelola pendidikan terlebih dulu maka kebijakan tersebut akan berjalan tersendat, kalau tidak mau disebut tak efektif.
"Nanti ada sanksi besok diulang lagi, karena di level pemangku kepentingannya, di level sekolah mereka tak punya perspektif tentang itu," tandasnya.
Advertisement
SKB Tiga Menteri
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menterian Dalam Negeri (Mendagri), dan Menterian Agama (Menag) menerbitkan Keputusan Bersama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, Rabu (3/2/2021).
Keputusan ini disebut merupakan wujud konkret komitmen pemerintah dalam menegakkan “Bineka Tunggal Ika”, membangun karakter toleransi di masyarakat dan menindak tegas praktik-praktik pada sektor pendidikan yang melanggar semangat kebangsaan tersebut.
Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim menguraikan tiga hal penting yang menjadi pertimbangan dalam menyusun SKB tiga Menteri ini. Pertama, bahwa sekolah memiliki peran penting dan tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bineka Tunggal Ika; serta membangun dan memperkuat moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama yang dianut peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
“Kedua, sekolah berfungsi untuk membangun wawasan, sikap, dan karakter peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Serta membina dan memperkuat kerukunan antar umat beragama,” terang Mendikbud Nadiem.
Yang ketiga, pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama, tambah Mendikbud.
Enam keputusan utama dari aturan ini di antaranya adalah 1) keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda); 2) peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: a) seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau b) seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
“Hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. Individu itu adalah guru, murid, dan tentunya orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut,” imbuhnya.
Selanjutnya, 3) Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama; 4) Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan.
“Implikasinya, kalau ada peraturan yang dilaksanakan baik sekolah maupun oleh Pemda yang bertentangan dengan aturan ini, dalam waktu 30 hari maka aturan tersebut harus dicabut,” tegas Mendikbud.
Kemudian, 5) jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang melanggar yaitu: a) Pemda memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan, b) gubernur memberikan sanksi kepada bupati/walikota, c) Kemendagri memberikan sanksi kepada gubernur, d) Kemendikbud memberikan sanksi kepada sekolah terkait BOS dan bantuan pemerintah lainnya.
“Tindak lanjut atas pelanggaran akan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme dan perundang-undangan yang berlaku. Ada sanksi yang jelas bagi pihak yang melanggar,” lanjut Nadiem.
Terakhir, 6) peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.
Keputusan Bersama Tiga Menteri ini dirancang untuk dapat menegakkan keputusan-keputusan terkait yang telah ditetapkan sebelumnya serta melindungi hak dan kewajiban warga masyarakat Indonesia terutama peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di sekolah negeri.