Liputan6.com, Bangkok - Polusi udara di Bangkok mencapai tingkat berbahaya, memaksa 194 sekolah di bawah otoritas Pemerintah Metropolitan Bangkok (BMA) untuk menutup pintu mereka pada Kamis (23/1/2025).
Dikutip laman Malay Mail, Jumat (24/1), keputusan ini diambil untuk melindungi ribuan siswa dari dampak buruk polusi udara.
Advertisement
Baca Juga
Menurut IQAir, pada Kamis (23/1) pagi, Bangkok tercatat sebagai kota besar dengan tingkat polusi udara terburuk keenam di dunia. Level PM2.5 -- partikel mikroskopis yang dapat memasuki aliran darah melalui paru-paru dan menyebabkan kanker -- tercatat mencapai 122 mikrogram per meter kubik.
Advertisement
Angka ini jauh melampaui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyarankan batas paparan harian tidak lebih dari 15 mikrogram per meter kubik.
Sejak awal pekan, otoritas Bangkok memberikan kebijakan kepada sekolah di wilayah dengan tingkat PM2.5 tinggi untuk menutup kegiatan belajar mengajar. Hingga Kamis pagi, hampir separuh dari 437 sekolah yang berada di bawah naungan BMA memutuskan untuk tutup.
Ini adalah penutupan sekolah terbesar di Thailand, sejak tahun 2020, ketika seluruh sekolah di bawah BMA juga ditutup akibat polusi udara. Puluhan sekolah lain yang tidak berada di bawah otoritas BMA belum merilis angka resmi terkait kebijakan serupa.
Anak-anak Paling Terdampak
Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak buruk polusi udara. Namun, Unicef Thailand memperingatkan bahwa penutupan sekolah dapat memengaruhi anak-anak secara tidak proporsional, terutama siswa dari keluarga kurang mampu.
"Penutupan sekolah harus menjadi pilihan terakhir," kata Severine Leonardi, Wakil Perwakilan Unicef Thailand. Ia menekankan pentingnya investasi dalam sistem pendidikan dan perlindungan anak dari dampak polusi.
Sebelumnya, pemerintah Bangkok mendorong masyarakat untuk bekerja dari rumah. Namun, program tersebut bersifat sukarela dan hanya mencatat 100.000 peserta dari total 10 juta penduduk kota.
Sebagai upaya tambahan, otoritas membatasi akses truk besar di beberapa wilayah hingga Jumat malam, serta memberikan insentif untuk menghentikan pembakaran limbah pertanian. Pemerintah juga mencoba metode eksperimental, seperti menyemprotkan air dingin atau es kering ke udara untuk mengurangi polusi. Namun, langkah-langkah ini belum menunjukkan hasil signifikan.
Advertisement
Picu Kritik Terhadap Pemerintah
Krisis ini juga memicu kritik terhadap Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, yang saat ini berada di Davos untuk menghadiri World Economic Forum. Oposisi menuduh pemerintah gagal menangani masalah polusi dengan serius.
“Ketika perdana menteri menghirup udara segar di Swiss untuk menarik investasi ke Thailand, jutaan rakyat Thailand menghirup udara tercemar,” kata Natthaphong Ruengpanyawut, pemimpin Partai Rakyat, melalui unggahan di Facebook.
Di tengah krisis ini, aktivis lingkungan terus mendorong pengesahan Undang-Undang Udara Bersih yang diharapkan dapat mengatasi berbagai aspek permasalahan polusi udara di Thailand.
"Dibutuhkan undang-undang komprehensif untuk menghadapi semua dimensi krisis ini," ujar Guillaume Rachou, Direktur Eksekutif Save the Children Thailand.