Liputan6.com, Jakarta - Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta merupakan tradisi panahan yang tengah dikembangkan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Berbeda dengan olahraga memanah biasa, Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta dilakukan pemanah dalam posisi duduk.
Tradisi panahan kuno yang menjadi ciri khas dari DIY ini akan menjadi pemanis atraksi wisata di Yogyakarta.
Advertisement
Jemparingan sendiri mempunyai aturan, yaitu pemanah harus mengenai bandul putih dengan warna merah di atasnya yang digantung dengan tali sebagai sasaran tembaknya.
Nantinya, ada bunyi lonceng yang menandai jika anak panah itu tertancap pada bandul tersebut.
Pemanah juga harus duduk dengan posisi bersila dengan jarak 30 meter dari sasaran, kemudian pemain harus menembakan anak panah ke bandul putih yang menggantung dengan panjang kira-kira 30 sentimeter.
Biasanya, pemanah Jemparingan diberi kesempatan menembak dalam 20 rambahan (ronde), setiap rondenya ada empat anak panah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Asal Usul Jemparingan
Dilansir dari berbagai sumber, asal usul jemparingan yang masih eksis sampai saat ini sebetulnya sudah ada sejak terbentuknya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada 1755-1792.
Pada awalnya Jemparingan gagrag Mataraman (gaya Mataram) ini hanya dapat dimainkan oleh anggota keluarga kerajaan.
Namun, selanjutnya Raja Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan pengikut serta rakyatnya untuk belajar memanah guna membentuk watak ksatria.
Versi lain dari sejarah terbentuknya jemparingan yaitu bermula dari kebiasaan leluhur Mataram pada masa silam.
Keahlian memanah ini digunakan untuk berburu hewan, berperang, dan juga sebagai sarana mempertahankan diri.
Perlu diingat bahwa masyarakat Yogyakarta sangat setia dalam menjaga adat istiadat. Sehingga, tradisi Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta tetap lestari hingga masa kini.
Seperti pengertian jemparingan yang berarti memanah menggunakan rasa, gaya jemparingan yang berasal dari Kraton Ngayogyakarta ini juga mengedepankan konsep membidik tanpa menggunakan mata, tetapi dengan mata hati atau rasa.
Dalam perkembangannya, jemparingan ini meluas dengan pesat hingga Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.
Pada masa kini, jemparingan semakin meluas di kalangan masyarakat bahkan menyebar hingga ke Bali. Makin banyak pula dibentuk paguyuban-paguyuban hingga lomba-lomba jemparingan (gladhen).
Advertisement
Acara Indonesiana Jemparingan
Pada 2018 lalu, acara bertajuk Indonesiana Jemparingan sempat diadakan di Yogyakarta dengan dikuratori langsung kementerian kebudayaan kala itu.
Kepala Dinas kebudayaan DIY Umar Priyono kepada Liputan6.com saat itu mengatakan, tradisi jemparingan akan diangkat pada skala nasional. Acaranya sendiri dilaksanakan pada Mei 2018.
"Kita kerja sama dengan kementerian jadi ada yang intens tentang jemparingan baik nasional dan international," ujar Umar.
Selama acara ini akan ada workshop seputar jemparingan mulai dari panahan hingga tarian jemparingan. Bahkan tariannya ini masih dilakukan di Keraton Yogyakarta.
"Jemparingan ada olahraganya ada tariannya juga ada, itu di keraton jadi ini agenda nasional ini hal sangat baru," kata Umar.
Nantinya acara digelar di beberapa tempat, mulai dari Kepatihan, Keraton, hingga di Museum Sonobudoyo. Namun, ia belum mengetahui jadwal pasti karena masih berkordinasi dengan Dirjen Kebudayaan.
"Agenda jemparingan akan ada hanya di sini nanti. Kita sepakat dengan dirjen untuk acaranya. Ada workshop mungkin di kepatihan, tarian di sini di keraton," jelas Umar.
(Syauyiid Alamsyah)