DPR: Proses Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis Berbeda di Setiap Negara

Taufik juga menyampaikan telah ada usulan untuk melakukan revisi UU Narkotika terkait kebijakan penggunaan ganja untuk pelayanan Kesehatan ini.

oleh Rinaldo diperbarui 11 Agu 2021, 12:23 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2021, 12:23 WIB
Jelang Sidang Pembacaan Putusan, Penjagaan Gedung MK Diperketat
Personel Brimob berjaga di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (25/6/2019). Jelang sidang pembacaan putusan akan digelar pada Kamis (27/6), sekitar 47.000 personel keamanan gabungan akan disiagakan di Ibu Kota DKI Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri dalam memutuskan suatu pelegalisasian terhadap ganja atau minyak ganja (cannabis oil) untuk pelayanan kesehatan yang termasuk dalam golongan narkotika. Sehingga tidak dapat disamakan satu negara dengan negara lainnya.

Keterangan ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR Taufik Basari dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Sidang beragendakan mendengar keterangan DPR dan Pemerintah ini digelar Selasa (10/8/2021) di Ruang Sidang Pleno MK secara daring.

"Proses legalisasi ganja pun membutuhkan penelitian secara ilmiah yang jelas, ilmu pengetahuan yang pasti dan membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian tersebut. Sehingga, tidak dapat langsung serta merta dipersamakan karakteristik beberapa negara dengan negara Indonesia dalam melakukan pelegalisasian terhadap minyak ganja untuk pelayanan Kesehatan," ucap Taufik dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.

Sebelumnya, Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI).

Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.

Selain itu, dalam keterangannya, Taufik juga menyampaikan telah ada usulan untuk melakukan revisi UU Narkotika terkait kebijakan penggunaan ganja untuk pelayanan Kesehatan ini. Menurutnya, hal tersebut dibuktikan dengan masuknya usulan tersebut ke dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 dengan status usulan Pemerintah.

Taufik melanjutkan bahwa persoalan narkotika adalah masalah transnasional sehingga dalam pengkajiannya, tak hanya mengutamakan aspek hukum, tetapi juga melihat aspek kesehatan. Selain itu, ia menyebutkan jika dalam penentuan kebijakannya pun harus didasarkan pada metode ilmiah dengan berbagai tahapan.

"Sehingga dari hasil penelitian tersebut nantinya akan ditemukan kebenaran dan pemanfaatan dari narkotika tersebut secara lebih lanjut serta perlu pula dilakukan pengujian untuk kepentingan praktis. Maka, penelitian dilakukan untuk mendapatkan informasi kesehatan guna pembangunan kemajuan bidang kesehatan," papar Taufik seperti dikutip dari laman https://www.mkri.id/.

Tidak Ada Manfaat Klinis

Sementara itu, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia.

Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.

"Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya," urai Arianti.

Tak hanya itu, Arianti menambahkan penggolongan narkotika telah didasarkan pada kesepakatan internasional. Oleh karenanya, hanya narkotika Golongan 3 yang punya potensi ringan menyebabkan ketergantungan. Sedangkan untuk narkotika Golongan 1 masih menduduki tempat tertinggi yang menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya.

"Maka sangat logis jika narkotika Golongan 1 hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang untuk pelayanan kesehatan," ucap Arianti.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya