Anies Baswedan Siapkan Skenario Antisipasi Ancaman Banjir di Jakarta

Anies Baswedan mengatakan, pihaknya menyiapkan skenario antisipasi menghadapi ancaman banjir menyusul musim hujan yang sudah datang.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 31 Okt 2021, 15:25 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2021, 15:25 WIB
Bersih-Bersih Lumpur Sisa Banjir di Bukit Duri
Warga melintasi banjir di Bukit Duri, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Hujan dengan intensitas tinggi beberapa hari lalu membuat aliran sungai ciliwung meluap yang merendam sebagian rumah warga yang tinggal di bantaransungai tersebut. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya menyiapkan skenario antisipasi menghadapi ancaman banjir menyusul musim hujan yang sudah datang.

Menurut dia, ancaman banjir sudah diantisipasi Pemprov DKI Jakarta dengan tiga langkah.

"Pertama menyusun skenario siapa mengerjakan apa, sehingga ketika ada kejadian. Kita bisa mendistribusikan pekerjaan dengan baik. Kedua, memastikan tugas dijalankan. Kemudian, menyiapkan pompa mobile," kata Anies dalam keterangan diterima, Minggu (31/10/2021).

Dia menambahkan, pada tahun lalu Pemprov DKI Jakarta sudah menggunakan simulasi terhadap ancaman banjir. Simulasi itu diklaim Anies berhasil menyiasati genangan dan banjir pada Februari kemarin.

"Ketika terjadi hujan melampau kapasitas daya tampung, otomatis (ada) genangan dan banjir, maka target untuk bisa mengeringkan itu bisa tercapai. Kenapa? Karena semua sumber daya dikerahkan," kata dia.

Soal pompa mobile, Anies menjelaskan Tim Damkar sudah bersiap untuk bertugas dengan tangki penyiraman air dikerahkan untuk menarik air genangan.

"Jadi surutnya bukan semata-mata gravitasi, tapi karena ditarik oleh pompa. Itu semua memerlukan manajemen, semuanya memerlukan skenario, itu semua memerlukan simulasi, dan itu yang kita kerjakan," kata dia.

 

Waspada Bencana Akibat La Nina

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperingatkan akan fenomena La Nina diprediksi akan melanda Indonesia terhitung mulai Oktober 2021 hingga Februari 2022.

Menurut BMKG berdasarkan data terbaru suhu permukaan laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, saat ini nilai anomali tengah melewati ambang batas La Nina, yaitu sebesar -0,61 pada dasarian 1 Oktober 2021. Kondisi tersebut kemungkinan akan terus berkembang yang diprediksi akan terus berlangsung dengan intensitas lemah hingga sedang sampai Februari 2022.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, dengan adanya potensi curah hujan yang meningkat pada periode tersebut, diperlukan kewaspadaan dan kesiapsiagaan penuh terhadap potensi lanjutan dari curah hujan yang tinggi hingga dapat memicu bencana hidrometeorologi.

Khususnya di wilayah Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian Selatan dan Sulawesi bagian Selatan. Daerah-daerah tersebut hendaknya bersiap untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terkait potensi peningkatan bencana hidrometeorologi.

Dwikorita menjelaskan, wilayah Indonesia ini kompleks, dan kondisi cuaca dipengaruhi interaksi benua Asia dan Australia sehingga perubahan cuaca di luar siklus bisa terjadi seketika dan mendadak.

"Artinya perkiraan itu bisa tiba-tiba berubah karena ada sesuatu yang tiba-tiba berubah di tempat lain," jelas Dwikorita dalam pelatihan kebencanaan berteman La Nina, Fenomena dan Dampaknya yang digelar DPP PDI Perjuangan, Rabu (27/10/2021).

Dwikorita mencontohkan kejadian banjir Jabodetabek pada Januari 2020, itu sebetulnya sudah terdeteksi seminggu sebelumnya. Namun kemudian intensitas hujan melampaui apa yang diperkirakan.

Mantan dekan di UGM ini pun menegaskan tentang anomali suhu air laut adalah fakta yang terjadi. Sebab BMKG telah melakukan monitoring satelit permukaan air laut di Pasifik saat ini lebih dingin dari normalnya.

Sebaliknya, suhu permukaan air laut di Kepulauan Indonesia lebih hangat dari biasanya. Ini menyebabkan tekanan udara di wilayah Pasifik lebih tinggi, dan Indonesia lebih rendah tekanan udaranya.

"Curah hujan yang harusnya turun dicicil dalam satu bulan, tapi karena pengaruh fenomena regional dan seruak udara, akhirnya volume curah hujan yang mestinya sebulan bisa turun dalam 24 jam," jelas Dwikorita.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya