Tanggapan Parlemen dan Pemerintah Terkait Isu Perubahan Iklim

Belakangan ini, adanya perubahan iklim di bumi menjadi salah satu isu terkini yang dibahas oleh masyarakat.

oleh Devira PrastiwiLiputan6.com diperbarui 09 Nov 2021, 19:26 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2021, 19:26 WIB
Perubahan iklim
Ilustrasi: akibat perubahan iklim dan pemanasan global (sumber: wisdominnature.org)

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, adanya perubahan iklim di bumi menjadi salah satu isu terkini yang dibahas oleh masyarakat.

Oleh karena itu, sejumlah pihak pun angkat bicara soal isu perubahan iklim yang belakangan banyak diperbincangkan masyarakat.

Salah satunya Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon. Dia mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak perubahan iklim yang cukup ekstrem.

Melihat hal itu, Fadli menekankan urgensi peran parlemen dalam menyelesaikan isu-isu lingkungan hidup.

Dirinya mengungkapkan memang tidak mudah menyelesaikan isu lingkungan hidup tanpa adanya kesinambungan antara hukum sekaligus implementasi. Namun, ia tidak ingin menyerah untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan tersebut.

Selain itu, Wakil Ketua DPR RI bidang Korkesra Abdul Muhaimin Iskandar atau Gus Muhaimin menilai, perubahan iklim adalah ancaman katastropik atau mematikan.

Berikut sederet para tokoh tentang isu perubahan iklim yang belakangan ramai diperbicangkan masyarakat dihimpun Liputan6.com:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


1. Ketua BKSAP DPR RI

Ilustrasi perubahan iklim
Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Perubahan iklim menjadi isu terkini yang dibahas oleh masyarakat. Pasalnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak perubahan iklim yang cukup ekstrem. Melihat hal itu, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon menekankan urgensi peran parlemen dalam menyelesaikan isu-isu lingkungan hidup.

Hal itu disampaikan pada saat menjadi pemimpin dalam perhelatan besar COP26 di Glasgow, Inggris pada Jumat lalu 5 November 2021.

Dirinya mengungkapkan memang tidak mudah menyelesaikan isu lingkungan hidup tanpa adanya kesinambungan antara hukum sekaligus implementasi. Namun, ia tidak ingin menyerah untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan tersebut.

"Saya melihat Indonesia sudah memiliki berbagai perangkat hukum dan legislasi sebagai payung penerapan analisa dampak lingkungan dalam satu pembahasan RUU maupun anggaran tetapi masih ada gap dalam implementasi," tutur Fadli dalam keterangan persnya kepada Parlementaria, Senin 8 November 2021.

Lebih lanjut Fadli memaparkan, timbulnya kesenjangan antara hukum dan implementasi kebijakan penyelesaian isu lingkungan hidup diakibatkan oleh silo approach.

Tidak hanya silo approach, ia pun mengakui saat ini Undang-Undang Cipta Kerja masih belum sempurna karena belum berpijak pada prinsip perlindungan kelestarian alam dan lingkungan hidup.

"Seharusnya di setiap tahapan mulai dari naskah akademis maupun pembahasan-pembahasan selanjutnya. Demikian juga dengan inisiatif-inisiatif dan program pemerintah yang cenderung masih kurang dalam hal pengawasan atas implementasinya di daerah. Ini tentunya menjadi concern kita bersama," kata Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI itu.

Ke depannya, Fadli berharap DPR RI bisa lebih erat menjalankan tiga fungsi parlemen secara lintas komisi untuk kebaikan hayati Indonesia yang lebih lestari.

"Aspek-aspek seperti kajian dampak lingkungan dan penganggaran berbasis lingkungan harus menjadi satu rutinitas yang tidak dapat dikesampingkan. Terutama jika Indonesia ingin benar-benar menepati komitmen yang telah disepakati di bawah Paris Agreement," pungkasnya.

 


2. Wakil Ketua DPR RI Bidang Korkesra

Ilustrasi Perubahan Iklim
Ilustrasi perubahan iklim. (dok. Unsplash.com/Lucas Marcomini/@lucasmarcomini)

Seluruh dunia merasakan dampak perubahan iklim. Bahkan muncul bukti sains dan kualitatif yang tak terbantahkan bahwa bumi semakin panas, alhasil muncul cuaca ekstrem, permukaan air laut naik, dan banjir dalam skala yang terbilang ekstrem.

Demikian dikatakan Wakil Ketua DPR RI bidang Korkesra, Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Muhaimin). Menurutnya, perubahan iklim adalah ancaman katastropik atau mematikan.

"Perubahan iklim adalah ancaman katastropik (mematikan) bagi keberlanjutan dan kemakmuran semua negara dan semua penduduk dunia," tutur Gus Muhaimin saat menghadiri Talkshow bersama Pelaku Usaha di Paviliun Indonesia COP26 UNFCCC Glasgow.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menambahkan, Indonesia memiliki kedudukan khusus dan dapat memainkan peran penting dalam mendinginkan suhu bumi. Dia menyebut Indonesia sebagai paru-paru dunia, karena hutan alam dan mangrove akan dan telah menyerap karbon dalam skala raksasa.

Meski demikian, Gus Muhaimin mengakui bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kerentanan ekstrem akibat perubahan iklim, naiknya permukaan laut, curah hujan ekstrem dan kegagalan panen. Karena itu, Gus Muhaimin menyatakan perlu solusi-solusi perubahan iklim yang urgen dan mendesak untuk kepentingan Indonesia dan kebutuhan dunia.

"Kita perlu menggunakan pendekatan a whole government dan a whole society untuk mencapai target peak emission nasional dan carbon net sink FOLU (Forestry and Other Land Use) pada tahun 2030 dan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat," tegas Gus Muhaimin.

Di sisi lain, Gus Muhaimin mengutarakan dua solusi mengatasi perubahan iklim. Pertama, perubahan kebijakan, dan kedua adalah perubahan perilaku. Dua solusi ini disebutnya harus dilaksanakan berbarengan. Perubahan di sisi negara menurut Gus Muhaimin tidak cukup tanpa diimbangi perubahan perilaku masyarakat.

"Jadi perubahannya itu dari sisi supply dan sisi demand sekaligus. Dengan cara ini, pada tahun 2030, kita akan menambah sumber energi kita yang bersumber dari matahari, angin dan sumber-sumber energi renewable lainnya. Pada tahun 2030, kita akan berhasil menghentikan dan mengurangi deforestasi. Dan dengan cara itu pula, pada tahun 2060 atau lebih cepat, kita sudah dapat meraih target Net Zero kita," tutur Gus Muhaimin.

 


3. Menteri Pertanian

Hadapi Global Warming, Mesin Penghisap Emisi Karbon Kini Dibangun
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Beberapa waktu lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMkG) memprediksi tentang adanya badai La Nina. Berkaitan tentang prediksi tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) pun mendorong agar sektor pertanian beradaptasi, untuk meminimalisasi dampak yang ditimbulkan.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) menjelaskan, sektor pertanian memang amat rentan terhadap perubahan iklim. Namun, dalam situasi apapun pertanian harus terus berjalan.

"Sebab kita harus memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia. Pertanian tak bolehbterganggu oleh apapun, karena ini berkaitan dengan hajat hidup rakyat Indonesia," kata Mentan SYL.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil menambahkan, adaptasi ini penting dilakukan karena kita tak bisa melawan kehendak alam. Apalagi, setiap kali badai La Nina menerjang, sektor pertanian yang paling terdampak parah.

"Setiap La Nina menyerang, luas lahan sawah yang terkena banjir meningkat, berkisar antara 200-300 ribu hektar, dibanding kondisi normal sekitar 50-100 ribu hektar," kata Ali.

Di sisi lain, Ali menyebut serangan WBC juga berkisar antara 90-250 ribu hektar. Sedangkan pada kondisi normal berkisar antara 10-85 ribu hektar.

"Pada saat La Nina penurunan kualitas dan produksi mencapai 80 persen. La Nina juga meningkatkan serangan hama dan penyakit akibat jamur," ujar Ali.

Untuk mengantisipasinya, Ali menyebut Kementan membentuk gerakan brigade yang terdiri dari brigade La Nina (Satgas OPT-DPI), brigade alsintan dan tanam serta brigade panen dan serap gabah kostraling.

"Pompanisasi in-out dari sawah, rehabilitasi jaringan irigasi tersier atau kwarter terutama di wilayah rawan banjir," papar dia.

Berikutnya adalah penyiapan bibit varietas padi tahan rendaman (Inpara 1-10, Inpara 29, Inpara 30, Ciherang Sub 1, Inpari 42 Agritan), toleran salinitas dan varietas unggul lokal yang sudah teruji, varietas tahan OPT pada daerah endemik, (Inpari 2, 3, 4, 6), Blast, Hawar Daun Bakteri.

"Juga memperbaiki cara pascapanen dan menyiapkan bantuan untuk kegiatan panen dan pascapanen dengan menggunakan pengering (dryer) dan RMU (Rice Milling Unit)," papar dia.

Dilanjutkan Ali, berikutnya adalah mengoptimalkan penampungan air dengan pemanfaatan biopori, Bangunan Penampung Air (BPA), normalisasi saluran drainase.

"Lalu dilakukan penerapan bedengan tinggi dan penggunaan sungkup plastik pada tanaman hortikultura. Dilakukan juga pembuatan rorak, parit diskontinu, tanaman penutup tanah pada lahan perkebunan untuk menangkap air dan mencegah erosi," imbuhnya.

Terakhir, optimalisasi luas tanam pada lahan kering seperti tanaman hortikultura cabai dan bawang merah dengan penerapan PHT secara efektif, penggunaan varietas unggul toleran OPT dan teknologi inovasi budidaya lainnya.

 

(Muhammad Fikram Hakim Suladi)

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya