Turun ke Jalan, Massa Buruh KSPI Desak Pembatalan UU Cipta Kerja

Massa buruh dari KSPI turun ke jalan mengawal sidang putusan uji materi UU Cipta Kerja di MK.

oleh Yopi Makdori diperbarui 25 Nov 2021, 15:00 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2021, 14:59 WIB
FOTO: Aksi Buruh Demo Tolak Omnibuslaw dan Kenaikan Upah 2022
Massa buruh gabungan saat menggelar aksi di kawasan Patung Arjuna Wijaya, Jakarta, Kamis (25/11/2021). Dalam aksinya, ratusan buruh tersebut menuntut pembatalan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dan kenaikan upah 2022. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memadati kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (25/11/2021). Mereka menuntut pembatalan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Hal itu menyusul sidang putusan judicial review (JR) UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari yang sama.

Ketua Departemen Media dan Komunikasi KSPI, Kahar S Cahyono mengatakan, pihaknya mengerahkan seribuan massa untuk menuntut MK membatalkan UU tersebut.

"Iya [terjunkan massa] seribu. Batalkan UU Cipta Kerja," kata Kahar kepada Liputan6.com, Kamis (25/11/2021).

Kahar menyampaikan, massa buruh berkumpul di sekitaran Patung Kuda untuk kemudian menuju Gedung MK. Massa aksi kemudian bergeser ke Balai Kota DKI Jakarta.

"Di Patung Kuda - MK kemudian ke Balai Kota," ujarnya.

Aksi tersebut menimbulkan kemacetan di sejumlah titik. Menurut akun Instagram @jktinfo, ruas jalan di depan Stasiun Gambir menuju ke arah Masjid Istiqlal macet total imbas demo tersebut.

Aksi itu juga membuat pengalihan rute Transjakarta Koridor 2: Pulogadung Harmoni. Untuk sementara arah Harmoni tidak melayani Halte Juanda dan Pecenongan.

MK Putuskan Pembentukan UU Cipta Kerja Inkonstitusional

Jelang Sidang Pembacaan Putusan, Penjagaan Gedung MK Diperketat
Personel Brimob berjaga di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (25/6/2019). Jelang sidang pembacaan putusan akan digelar pada Kamis (27/6), sekitar 47.000 personel keamanan gabungan akan disiagakan di Ibu Kota DKI Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Mahkam Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Meski demikian, MK menilai pembentukan UU tersebut tak berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Karena itu, MK memerintahkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun.

"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam putusannya, Kamis (25/11/2021).

Dalam putusannya, Anwar menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku hingga dilakukan perbaikan dengan tenggat waktu dua tahun. Anwar meminta pemerintah maupun DPR melakukan perbaikan UU Cipta Kerja.

Apabila dalam jangka waktu dua tahun sesuai dengan ketetapan Majelis Hakim MK UU tersebut tidak diperbaiki, maka menjadi inkonstitusional atau tak berdasar secara permanen.

"Menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali," tegas Anwar.

Selain itu, MK juga memerintahkan menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas berkaitan dengan UU Ciptaker.

"Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," kata dia.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak besar yang ditimbulkan MK menyatakan UU 11/2020 inkonstitusional.

"Pilihan Mahkamah untuk menentukan UU 11 Tahun 2020 dinyatakan secara inkonstitusional tersebut, dikarenakan mahkamah harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil, guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum," kata Suhartoyo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya