Liputan6.com, Jakarta - Kehadiran teknologi digital dengan teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kian masif. Kekinian, publik diramaikan atas kecanggihan teknologi AI dari ChatGPT besutan perusahaan startup Open AI, dari Elon Musk.
Lantas bagaimana dampak kehadiran dari ChatGPT, chatbot pintar berbasis kecerdasan buatan AI terhadap industri media?
Advertisement
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut memandang kehadiran ChatGPT, telah memberikan sebuah tantangan bagi industri media. Karena memiliki plus minus apabila media khususnya pekerjaan mengadopsi kecanggihan dari AI, seperti ChatGPT.
"Artinya bahwa dari sisi publisher jurnalis pasti ada isu apakah ChatGPT aman dari sisi etik, moralitas, dan yuridis dan sejenisnya pasti ada pertanyaannya seperti itu. Tapi dari sisi bisnis orang bisa bilang ini menghemat banyak, bisa menambah jumlah volume," ujar Wenseslaus usai diskusi IDA, di Jakarta Rabu (22/2/2023).
Baca Juga
Dengan dua gambaran garis besar plus minus dari kehadiran ChatGPT, Wenseslaus memandang industri media bisa secara bijak melakukan langkah hybrid. Dengan melimitasi beberapa sektor pekerjaan yang bisa dipakai memakai AI dan sektor lain tetap mempertahankan dikerjakan secara manual
"Nah saya kira industri publisher bisa memakai secara bijak dengan melimitasi hybrid tidak murni tapi di hybrid. Kedua, hybrid pun bisa delimitasi di konteks-konteks yang low risk regulasi, etik dan moralitas," terangnya.
Sehingga, Wenseslaus menganalogikan kemajuan teknologi AI ChatGPT ibaratkan pisau bermata dua bagi industri media. Karena, pekerjaan media, khususnya jurnalis harus tetap memiliki perasaan dari manusia.
"Ada plus dan minusnya, pisau bermata dua. (Journalist) tak akan pernah tergantikan karena unsur mendefinisikan unsur kepentingan publik meraba perasaan publik itukan membutuhkan manusia. Tidak bisa dikerjakan si mesin, menganalisis, lagi-lagi media itu membutuhkan independent," bebernya.
Berhak Tentukan Independensi
Karena kebutuhan sikap independent itulah, Wenseslaus menegaskan jurnalis harus bisa menjalankan tugas tersebut. Ketika sikap independent dipandang berbeda dengan netral yang masih bisa dijangkau AI.
"Karena kalau netral itu si A bilang hujan si B bilang kering, tapi si media menulis dua-duanya. Kata si A hujan dan si B kering. Nah independen itu dia keluar langsung mengecek memastikan hujan atau kering itulah independen, bukan netral," tegasnya.
"Jadi saya kira situasi tertentu media berhak menentukan sikapnya untuk bersikap independen. Termasuk sikapnya netral itulah yang bisa ditangkap oleh si mesin," sambung dia.
Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com
Advertisement