Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pekan terakhir, polusi udara di Jakarta menjadi topik hangat masyarakat. Kualitas udara Jakarta tergolong dalam kategori tidak sehat. Bahkan, langit biru pun jarang terlihat.
Beberapa kali Jakarta juga menduduki sebagai kota paling berpolusi di dunia berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir. Terdapat sejumlah sektor yang menjadi penyumbang polutan di Jakarta.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 44 persen polusi udara di Jakarta disumbang dari emisi kendaraan bermotor. Kemudian disusul industri 31 persen, manufaktur sebesar 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.
Advertisement
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan menyebut polutan yang terjadi di berbagai wilayah urban dunia termasuk Jakarta, berkontribusi terhadap perubahan iklim. Kata dia, dampaknya pun dirasakan langsung masyarakat Indonesia.
"Kita merasakan efeknya secara lokal dari polusi ini adalah cuaca di Jakarta terasa lebih panas, karena efek atau feedback-nya terasa lebih kuat," kata Ardhasena kepada Liputan6.com.
Ardhasena menjelaskan, perubahan iklim disebabkan oleh emisi gas rumah kaca, khususnya CO2 yang berlebihan oleh aktivitas manusia. BMKG juga mencatat adanya kenaikan konsentrasi CO2 tersebut. Bahkan, pada tahun 2023 kondisi gas rumah kaca sudah masuk kategori tinggi sekitar 412 ppm.
Karena hal tersebut kata dia, sejumlah dampak dari krisis iklim sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Misalnya anomali iklim hingga kejadian esktrem di belahan dunia pada 2023.
"Khususnya rekor temperatur terpanas itu, di banyak belahan dunia khususnya di belahan bumi utara. Jadi banyak terjadi kejadian-kejadian gelombang panas misalkan, sudah terjadi awal bulan April hingga sekarang. Itu masih terjadi gelombang panas," ujar dia.
Bahkan, beberapa negara mencatat temperatur secara konstan di atas 40-an selama belasan hingga puluhan hari. Rekor suhu terpanas tersebut tercatat sebagai sejarah. Selain itu pemecahan rekor lainnya juga terkait suhu atau temperatur muka air laut yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Jadi saat ini situasinya memang sudah cukup genting. Dampak yang terasa di Indonesia dari krisis iklim memang dampak kenaikan temperatur secara ekstrim belum terjadi, jadi kita tidak mengalami kejadian gelombang panas, seperti di belahan bumi lain khususnya di belahan bumi utara," ucapnya.
Namun, kata Ardhasena, di Indonesia mereka mencatat kenaikan temperatur secara gradual dari beberapa puluh tahun yang lalu hingga sekarang.
Pergeseran Musim
Tanda-tanda perubahan iklim lainnya di Indonesia adalah perubahan pola curah hujan atau terjadinya pergeseran musim. Indikator lainnya juga mencatat banyaknya lokasi yang mengalami kejadian kenaikan frekuensi dari ekstremitas curah hujan.
"Jadi banyak lokasi yang curah hujan ekstremnya naik dari dekade ke dekade. Namun di saat yang bersamaan mereka juga mengalami musim kemarau yang panjang. Jadi dua ekstremitas kering dan basah kita alami bersama di Indonesia," papar dia.
Sementara itu, untuk kekeringan yang terjadi pada tahun 2023 merupakan dampak dari beberapa peristiwa. Salah satunya akibat adanya pergeseran pola musim. Yakni kemarau di Indonesia yang telah panjang.
"Namun yang teristimewa, tahun ini kita juga mengalami El Nino. Sehingga musim kemarau kita itu rata-rata jadi lebih panjang sekitar 4 hingga 5 minggu dibanding kondisi normalnya," lanjut Ardhasena.
Selanjutnya, ada juga dampak turunan seperti beberapa kejadian kebakaran hutan di beberapa lokasi. Contohnya di pulau Sumatera dan Kalimantan. "Walaupun karhutla tahun 2023 masih jauh di bawah kejadian karhutla tahun 2019 dan 2015," ujarnya.
Karena itu, Ardhasena menyebut terdapat sejumlah hal yang dapat dilakukan sebagai upaya menekan laju kenaikan suhu akibat perubahan iklim. Yaitu mitigasi dan adaptasi.
Langkah mitigasi dengan mengurangi aktivitas-aktivitas manusia yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Misalnya aktivitas transportasi hingga pembangkitan energi.
"Itu perlu segera kita lakukan dan kita konversi kepada upaya-upaya yang lebih ramah lingkungan, yang tidak meng-emisikan banyak atau tidak meng-emisikan sama sekali gas-gas rumah kaca seperti CO2, dan juga memperkuat upaya-upaya untuk menangkap kembali karbon dari atmosfer dikembalikan lagi ke bumi. Upaya-upaya seperti penghijauan kembali," dia menjelaskan.
Greenpeace: Ada Kaitannya Krisis Iklim dan Parahnya Polusi Udara
Juru Kampanye dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menyebut, krisis iklim yang tengah melanda dunia berdampak pada memburuknya polusi udara. Salah satu dampak dari krisis iklim adalah terjadinya gelombang panas di berbagai belahan dunia.
Menurut dia, terdapat lingkaran sehat antara polusi dan krisis iklim. Sebab penyebab bumi yang semakin panas yaitu adanya polutan yang membentuk layer di bumi.
"Korelasinya dengan krisis iklim pasti ada. Karena polusi udara adalah salah satu kontributor dari perubahan iklim. Karena polusi udara banyak polutannya. Polutan berupa gas, SOx, NOx, kemudian ozon, dan ada juga berupa partikel. Nah yang bisa menyebabkan pemanasan global, krisis iklim, global boiling adalah berupa gas yaitu emisi CO2, emisi dari ozon," kata Bondan kepada Liputan6.com.
Kata dia, ozon tersebut menyebabkan terjaringnya lapisan khusus di lapisan bumi. Hal tersebut yang biasanya disebut sebagai efek pemanasan global. Bumi akan semakin panas dan terdapat partikel-partikel yang berupa aerosol tersebut dapat menempel sampai ke kutub utara dan selatan karena adanya polusi udara lintas batas.
"Dengan partikelnya menempel di es itu, akan mempercepat pencairan es. Nah ini menyebabkan tadi bumi menjadi panas, hingga si es mencair. Akibatnya apa, es mencair berarti kan kenaikan muka air laut," ucap dia.
Bondan menyebut, akibat krisis iklim banyak terjadinya kenaikan muka air laut, misalnya di Pulau Jawa. Beberapa kali terjadi banjir rob di utara Jawa secara signifikan. Kemudian terdapat sejumlah wilayah di Indonesia yang mengalami musim kemarau berkepanjangan.
Hal tersebut nantinya berdampak pada berbagai sektor. Mulai dari pertanian, hasil panen, perikanan, hingga faktor kebakaran hutan.
Lanjut Bondan, ketika musim panas atau kemarau terjadi di berbagai wilayah di Indonesia misalnya, Jakarta akan meningkatkan konsentrasi PM2.5 (polutan yang berbentuk debu, jelaga, dan asap berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron). Perias tersebut juga tak hanya terjadi di Jakarta dan Indonesia saja, namun di belahan dunia.
"Jadinya ini suatu lingkaran setan yang memang ketika kita membicarakan soal perubahan iklim, harusnya kita juga spesifik bicara soal polusi udara," ujarnya.
Bondan menambahkan, "Karena polusi udara berasal dari pembakaran-pembakaran, salah satunya dari bahan bakar fosil, yang dunia global juga sudah diingatkan bahwa Indonesia menjadi sumber emisi CO2 terbesar, cukup besar memiliki emisi CO2 yang besar dari pembakaran pembangkit listrik."
Berdasarkan data terbaru dari World Statistics, Indonesia masuk dalam 10 negara yang bergabung dalam peta kontribusi emisi karbon dioksida (CO2) dunia. Meskipun tidak memiliki persentase sebesar China, Amerika Serikat, dan India, Indonesia menempati posisi ke-9 CO2 terbesar dunia. Indonesia berkontribusi 1,7 persen dari karbon dioksida global.
"Kita juga punya hitungan dari 31 Giga Watt PLTU yang kita punya emisinya itu setara dengan 40 juta mobil. Itu selalu bisa dilihat bahwa dunia global tahu ini menjadi salah satu concernnya. Sumbernya apa salah satunya pembangunan pembangkit listrik batubara," sambung dia.
Untuk menguranginya, Bondan menyebut pemerintah dapat melakukan pengontrolan dan pergantian sumber pembakaran fosil. Bahkan beberapa negara telah menggeser penggunaan PLTU batubara menjadi energi terbarukan.
Belum Ada Strategi Nyata
Kendati begitu, dia menilai pemerintah pusat belum memiliki strategi nyata untuk menekan dan mengendalikan polusi di Indonesia. Padahal menurut Bondan, Indonesia memiliki kontribusi besar penyumbang polusi udara.
"Kalau saat ini dilihat tahun 2030, dengan kebijakan yang saat ini diambil, bumi bisa meningkat 4 derajat celcius. Jadi selain dari energi, juga dari land use change, kebakaran hutan. Itu jadi concern dunia kalau Indonesia tidak punya langkah nyata untuk mengontrol itu, ketika musim kemarau kan dua ancamannya, polusi udara dan kebakaran hutan dan itu yang masih disorot dunia," sambung dia.
Terkait ancaman kebakaran hutan saat musim kemarau, Bondan menilai pemerintah juga belum memiliki langkah mitigasi yang nyata setiap tahunnya.
"Jadi karena kebakaran itu kan justru, satu menghasilkan emisi, kedua yang harusnya bisa menyerap emisi malah jadi menghilang. Jadi kita kehilangan apa yang bisa memfilter si emisi itu sendiri, tapi kita justru mengeluarkan emisi," ujarnya.
Dia menambahkan, "Makanya harusnya kita lihat ini sebagai bentuk upaya mitigasi harusnya jadi lebih nyata, karena kita tau tiap tahun ini terjadi, dan terjadi di musim kemarau, tapi tidak ada upaya pencegahan."
Advertisement
Langkah Antisipasi Kebakaran Hutan Dipertanyakan
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian menyatakan, terdapat sejumlah dampak nyata dari krisis iklim yang terjadi saat ini. Misalnya musim kemarau di Indonesia yang diprediksi berlangsung lebih lama, kekeringan di berbagai wilayah, hingga banyak wilayah pesisir yang mulai tenggelam.
Menurut Uli, krisis iklim merupakan dampak dari akumulasi proses-proses eksploitasi terhadap alam. Misalnya aktivitas pertambangan batu bara, mineral, hingga nikel. Sebab, ketika tambang itu beroperasi maka akan membongkar fosil di bawah tanah.
Dalam proses pembongkaran fosil bawah tanah itu akan melepaskan emisi. Lalu ketika material batu bara dibakar di PLTU juga akan melepaskan emisi. Kemudian saat penggunaan listrik dari pembangkit PLTU tersebut. Selanjutnya yaitu dampak dari penggunaan transportasi dengan bahan bakar fosil.
"Dampaknya sekarang iklim udah enggak bisa dibaca lagi. Banyak kemudian pesisir-pesisir itu mulai tenggelam, permukaan air laut naik, permukaan tanah turun. Terus banjir, longsor makin masif terjadi dan sekarang cerita kekeringan makin banyak," kata Uli kepada Liputan6.com.
Terkait kebakaran hutan yang juga penyumbang emisi di Indonesia, Uli menilai itu merupakan dampak dari mudahnya perizinan ekstraksi. Seperti halnya untuk pertambangan, hutan tanam industri, ataupun monokultur sawit di kawasan hidrologis gambut dan kawasan hutan.
Dia menyebut, terdapat sekitar 900 perusahaan yang beroperasi di kawasan gambut dan kawasan hutan. Sedangkan berdasarkan jenisnya saat kering gambut akan sangat mudah terbakar.
Lanjut Uli, saat monokultur sawit dilakukan korporasi akan melakukan tahap land clearing dengan cara membakar. Selain karena biaya murah langkah tersebut akan mengkanal gambut.
"Ketika kanalisasi gambut itu berlaku, dan gambutnya sangat kering maka ia akan sangat mudah terbakar. Itu penyebab kebakaran hutan dan lahan yang masif sekali terjadi dan setiap tahun berulang. Ketika kebakaran hutan dan lahan terjadi, dia akan tetap melepas emisi dari proses pembakarannya," ucap dia.
Saat kebakaran hutan pada tahun 2015 dan 2019, Uli menyebut peristiwa tersebut merupakan penyumbang emisi terbesar selain dari sektor energi. Jika tak dilakukan langkah antisipasi kebakaran hutan akan kembali menjadi sektor penyumbang emisi dan menyebabkan perubahan hingga krisis iklim.
"Ketika ini enggak diubah dan dicari akar persoalannya dia akan seperti lingkaran setan. Perubahan iklim menyebabkan panas makin panjang, kering maka dia akan terus memperluas kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan akan terus melepas emisi. Maka kemudian akan menyebabkan emisi gas rumah kaca meningkat. Pemanasan global terjadi lagi makin krisis. Dan dia akan terjadi seperti itu terus," papar Uli.
Karena itu, dia mendorong pemerintah agar melindungi hutan-hutan tersisa untuk dapat dipertahankan fungsinya sebagai penyerap karbon. Langkah selanjutnya yaitu mulai berhenti membongkar fosil dari tanah. Artinya harus mulai berhenti mengekstraksi batu bara atau membuka lagi konsensi-konsensi nikel yang baru.
"Menurut kami, penting untuk kemudian pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh perizinan. Karena banyak sekali praktik-praktik atau izin-izin yang ada sekarang, itu dia melakukan banyak pelanggaran," ujar Uli.
Selain itu, Uli juga menyoroti belum adanya kebijakan pembatasan pembelian transportasi pribadi di Indonesia. Mengingat transportasi dengan bahan bakar fosil menjadi salah satu sektor penyumbang polusi udara.
"Mungkin Pulau Jawa lebih maju dalam moda transportasi umum, tapi Sumatera, Sulawesi, dan pulau-pulau yang lain belum sampai ke sana. Sehingga memang kebijakan ini yang penting untuk terus menerus diperbaiki dan dikuatkan oleh negara," jelas Uli.
Bagaimana Langkah Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Ekstrem?
Penyumbang emisi gas rumah kaca secara global dihasilkan dari berbagai sektor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2020, sektor energi memberikan kontribusi penyumbang terbesar.
Kemudian disusul dari sektor IPPU (proses dan produksi industri), pertanian, FOLU (kehutanan dan penggunaan lahan), kebakaran hutan, dan limbah.
Peneliti ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin mengaku kaget dengan percepatan perubahan iklim yang semakin menggila dalam waktu singkat. Padahal prediksi perubahan iklim dengan kenaikan 1,5 Celcius akan terjadi pada tahun 2050. Namun, sejumlah dampaknya sudah terlihat sejak 2023, misalnya dengan adanya gelombang panas.
Erma menyebut, perubahan iklim ekstrem nantinya dapat mengganggu berbagai sektor yang ada. Mulai dari tatanan sosial hingga perekonomian.
Karena hal itu, dia mendorong semua pihak untuk melakukan perubahan agar tidak semakin tinggi pemanasan bumi secara global. Atau untuk menekan sedemikian mungkin laju karbondioksida (CO2). Salah satunya yaitu dengan gerakan penanaman pohon di berbagai wilayah agar dapat mengganti CO2 menjadi oksigen (O2).
Erma menyebut pohon merupakan solusi yang paling murah dan memiliki peran untuk peredaman di lingkungan masing-masing. "Karena memang faktanya si pemanasan itu adalah hasil dari proses terperangkap-nya radiasi matahari itu karena banyaknya CO2 yang ada di atmosfer, si rumah kaca itu. Itu kan harus kita redam, kita kurangi. Itu upaya-upaya kecil," ucapnya.
Selain itu dia juga mendorong pemerintah agar segera memetakan daerah-daerah kering, terancam banjir, hingga wilayah yang mudah tenggelam. Erma juga meminta agar ada pembaharuan terkait kebijakan atau regulasi yang jelas dan keseriusan pemerintah terkait perubahan iklim dan menjadikan sebagai isu bersama.
Sebab selama ini, Erma menilai perubahan iklim hanya dipandang sebagai gangguan untuk perekonomian yang ada di Indonesia. Padahal perubahan iklim harus diatasi bersama layaknya negara maju yang fokus melakukan berbagai perubahan.
"Upaya kita untuk membangun infrastruktur, membangun perekonomian, kan akan musnah begitu saja kalau terjadi banjir yang luar biasa besar. Itu berapa kerugian yang bisa dihasilkan, ketika dia sudah tidak bisa diatasi," papar dia.
Selain itu dia menilai sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia masih tertinggal jauh dibanding berbagai negara lainnya. Untuk sektor energi belum ada eksplorasi yang bisa diperbarui. Misalnya terkait konversi secara serius terhadap energi dari alam.
Dia mencontohkan, berbagai negara yang sudah mulai beralih menggunakan panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal tersebut menurut Erma karena kurangnya dukungan pemerintah karena anggaran yang tidak sedikit.
"Jadi konversi energi ke energi alam gitu ya, dan itu masih menjadi PR juga. Sehingga saya tidak tahu sampai kapan kita akan bertahan dengan minyak bumi ini, batu bara. Itu kan dua sumber energi yang menghasilkan CO2 terbesar itu," Erma menandaskan.
Komponen Kendaraan Listrik Dipertanyakan
Hal sama juga disampaikan oleh ahli cuaca dari Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Deni Septiadi.
Dia mendorong semua pihak harus dapat menurunkan berbagai sektor yang dapat menyumbangkan emisi gas rumah kaca. Namun, kata dia di zaman modern banyak pembangunan yang seringkali lupa untuk memperhatikan karakteristik ataupun kondisi lingkungan wilayah tersebut.
"Jadi lingkungan rusak itu indikasi dari potensi dari perubahan iklim. Tidak ada lahan terbuka hijau karena memang lahan sudah tertutupi aspal dan bangunan dan sebagainya. Ini indikasi ruangan yang ada itu sudah sulit untuk menghasilkan, yang mampu meredam gas rumah kaca tadi," kata Deni kepada Liputan6.com.
Selain itu, Deni juga menyoroti terkait kebijakan penggunaan kendaraan listrik yang dapat mencegah potensi peningkatan gas rumah kaca. Yaitu terkait berbagai komponen yang digunakan.
"Tapi memang komponen-komponennya jadi pertanyaan para peneliti karena industri baterai. Memang salah satunya, perlu juga untuk dipertimbangkan dalam menjaga kondisi lingkungan yang benar bebas emisi karbon tadi," ujar Deni.
Advertisement