RCCC-UI: Polusi Udara Bisa Menyusup Sampai ke Dalam Ruangan

Pencemar yang terbawa masuk ke dalam ruangan tersebut dampaknya dapat mempengaruhi kesehatan, bahkan kinerja orang-orang di dalamnya.

oleh Tim News diperbarui 10 Jul 2024, 12:53 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2024, 11:07 WIB
Bebas Polusi dan Ramah Lingkungan Jadi Konsep Gedung Sekolah di Jakarta
Siswa mengikuti kegiatan belajar di salah satu ruang kelas SDN Ragunan 08 yang termasuk sekolah berkonsep net zero carbon di Jakarta, Kamis (29/9/2022). Atap bangunan dibuat datar agar bisa lebih fleksibel untuk digunakan sebagai tempat bermain, olah raga, urban farming, atau untuk lokasi panel surya. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Paparan polusi udara tidak hanya berpengaruh di luar ruangan atau bangunan, tetapi juga bisa di dalam ruangan. Pencemar yang terbawa masuk ke dalam ruangan tersebut dampaknya dapat mempengaruhi kesehatan, bahkan kinerja orang-orang di dalamnya.

Kepala Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Budi Haryanto mengatakan, polusi udara yang terbawa ke dalam ruangan berasal dari pergerakan pekerja dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Dalam perjalanan, pencemar dari emisi kendaraan dan kondisi sekitar dapat menempel di pakaian pekerja dan menyebar di dalam ruangan tertutup.

"Pekerja keluar-masuk dari rumah, naik sepeda motor, kemudian di jalan tertempel pencemar kimia dari kendaraan lain atau virus dan bakteri dari jalan, sehingga saat di kantor pencemar yang menempel di sepatu atau pakaiannya bisa menyebar," kata Budi saat berbincang dengan Katadata Green di Lab Multidisiplin UI beberapa waktu lalu.

Pencemar biologis maupun kimiawi dapat menempel pada pekerja maupun orang yang ada di dalam ruangan tertutup. Ada juga pencemar dari kegiatan perkantoran, seperti penggunaan mesin cetak dan fotokopi, membuat polusi udara di dalam ruangan menjadi lebih parah.

Fenomena gedung perkantoran yang memiliki tingkat konsentrasi polusi udara yang tinggi disebut sick building syndrome. Kondisi ini dapat diperparah oleh ketiadaan ventilasi yang baik.

Melansir situs Nafas Indonesia, sistem pendingin terpusat di perkantoran memompa udara dari luar ke dalam bangunan. Polusi udara dalam bangunan terjadi ketika sistem penyaringan kurang baik dan diperparah oleh kualitas udara perkotaan yang buruk.

Polusi udara dalam ruangan dapat mempengaruhi produktivitas pekerja dan mengakibatkan kerugian ekonomi. Menurut Budi, sick building syndrome dapat mengganggu pekerja secara langsung dalam bentuk penyakit, seperti batuk dan pusing kepala. Pekerja yang menderita penyakit ini harus beristirahat satu-dua hari setiap bulannya.

Budi mengatakan, bila ada beberapa pegawai yang mengalami sakit seperti ini akan menyebabkan kerugian perusahaan.

"Pekerja yang mengalami gangguan di organnya bisa dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan. Kondisi ini jelas akan merugikan produktivitas pekerja," ujar Budi.

Budi mengungkapkan, sebanyak 60 persen penyakit yang diidap seseorang pada umumnya berasal dari paparan polusi udara.

"Bandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh konsumsi lewat mulut. Itu hanya sekitar 15 persen," ujarnya.

Menurut Budi, dampak polusi udara terhadap kesehatan fisik maupun mental dapat dibagi menjadi dua: jangka pendek dan panjang. Dalam jangka pendek, penyakit pada orang yang terpapar polusi udara berupa batuk, flu, dan radang tenggorokan.

Penyakit jangka panjang berpotensi lebih kronis. Budi menjabarkan, pencemar kimia dapat tersimpan di dalam paru-paru dan organ lain, seperti otak, ginjal, dan jantung melalui saluran peredaran darah. Timbunan pencemar dapat menyebabkan gangguan jantung, ginjal, kanker paru-paru, bahkan stroke.

Selain penyakit fisik, polusi udara juga salah satu pemicu penyakit mental. Timbunan pencemar di otak dapat memicu gangguan kecemasan, demensia, dan depresi.

"Ini disebabkan senyawa kimia seperti merkuri, timbel, dan kadmium, serta logam-logam berat berbahaya lainnya yang terkandung, terbawa dalam udara," ungkapnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Berkurangnya Tingkat Kebahagiaan

Polusi Udara Jakarta
Secara terperinci, kualitas udara Jakarta di sejumlah titik pemantauan makin mengkhawatirkan. Misalnya, Jeruk Purut, Kemang V, Kemang Dalam IX menjadi top tiga kawasan dengan kualitas dengan indeks masing-masing 251 AQI US, 225 AQI US, dan 198 AQI US. (merdeka.com/Arie Basuki)

Sebelumnya, publikasi jurnal ilmiah PubMed Central melaporkan polusi udara berkaitan dengan berkurangnya tingkat kebahagiaan dan meningkatkan tingkat gejala depresi. Sementara, jurnal Environmental Pollution mencatat kaitan antara paparan jangka panjang pada particulate matter (PM) 2,5 terhadap peningkatan risiko depresi.

Adapun, PM 2,5 adalah ukuran partikel pencemar terkecil yang tidak tersaring tubuh. Mitra Psikolog Halodoc Patricia Elfira Vinny mengatakan, paparan polusi udara yang berkepanjangan bisa mengancam perkembangan mental anak-anak dan remaja.

"Kemacetan yang dialami setiap hari di tengah kualitas udara buruk, hingga masalah finansial dan tekanan pekerjaan, menjadi faktor pendukung yang membuat masyarakat metropolitan lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental," ujarnya dalam keterangan tertulis, belum lama ini.

Guna menekan dampak buruk polusi udara, pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Rachmat Kaimuddin mengatakan, sektor transportasi menjadi salah satu penyebab polusi udara di Jabodetabek.

"Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan telah menyampaikan beberapa inisiatif, seperti perluasan rute baru armada transportasi publik sesuai Rencana Induk Transportasi Jabodetabek," ujarnya dalam pernyataan tertulis.

Rachmat juga menyampaikan adanya rencana penyelesaian revisi Perpres 191 Tahun 2014 agar penerima BBM bersubsidi lebih tepat sasaran, sembari mendorong penggunaan lebih banyak lagi truk, bus, mobil, serta motor listrik.

Dia menambahkan, Menkomarves juga meminta percepatan perizinan dan pengadaan fasilitas pembakaran atau incinerator berkapasitas kecil untuk menanggulangi polusi dari pembakaran sampah.

Dalam rapat terbatas perihal perbaikan kualitas Udara, awal Juni lalu, Menkomarves menginstruksikan agar industri segera menerapkan teknologi pengurang emisi. Misalnya, memasang scrubber pada PLTU di sektor industri.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya