HEADLINE: Pasal Larangan Prajurit TNI Berbisnis Bakal Dihapus, Apa Plus Minusnya?

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai sorotan. Salah satunya soal adanya penghapusan pasal dalam UU lama tersebut.

oleh Putu Merta Surya PutraDelvira HutabaratMuhammad Radityo PriyasmoroLizsa EgehamTira Santia diperbarui 18 Jul 2024, 01:31 WIB
Diterbitkan 18 Jul 2024, 00:05 WIB
Joko Widodo Pimpin Upacara HUT TNI ke-78 di Monas
Perayaan HUT TNI ini juga akan dimeriahkan dengan defile pasukan dan parade puluhan kendaraan tempur dan alutsista dari Monas menuju Bundara HI. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai sorotan. Salah satunya soal adanya penghapusan pasal dalam UU lama tersebut.

Disebut, dalam draft terbaru, Pasal 39 huruf c disebut akan dihapus. Di mana dalam UU lama berbunyi; “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis”.

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto tak membenarkan atau menyalahkan akan usulan tersebut. Menurut dia, pemerintah masih fokus pada pasal 47 mengenai jabatan sipil dan pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan.

“Ya ini kan masih dalam proses ya, kita utamanya untuk tni adalah pasal 47 dan 53. Namun terkait dengan kegiatan bisnis, ini masih terus dalam pembahasan,” kata Hadi usai acara Kompolnas di Jakarta Utara, Rabu (17/7/2024).

Karena sampai saat ini, lanjut dia, pihaknya masih menunggu usulan lain dari TNI dalam menambah dan melakukan revisi terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004.

"Kemudian TNI juga akan menambah pasal pasal dalam revisi," jelas Hadi.

Hadi mengklaim, dalam revisi UU TNI ini adalah menciptakan sebuah aturan yang menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.

"Diantara ancaman ancaman yang sekarang sudah nyata ancaman global, adalah ancaman siber crime, ancaman biologi, dan ketiga adalah ancaman kesenjangan. Dan ini akan dijabarkan dalam bentuk operasi militer selain perang," klaim dia.

Senada, Staf Khusus Presiden Grace Natalie mengatakan, bahwa revisi UU TNI tersebut berada di Kemenko Polhukam.

“Saat ini Kemenko Polhukam masih dalam tahap menyusun DIM (Daftar Investarisasi Masalah),” ungkap dia kepada Liputan6.com, Rabu (17/7/2024).

Grace pun tak mau berspekulasi pemerintah akan menerima usulan penghapusan pasal larangan berbisnis bagi prajurit TNI tersebut. “Kami masih pelajari dulu,” jelasnya.

Menurut Politikus PSI ini, masih ada proses dalam pembahasan revisi UU TNI ini. “Tenggang waktunya kan ada 60 hari sejak surat DPR diterima presiden, tetap karena DPR memasuki masa reses maka pembahasannya baru akan dimulai pada masa sidang berikutnya,” kata Grace.

Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak meyakini penghapusan pasal ini tidak akan jadi masalah.

“Kalau kita berbisnis, kata-kata bisnis itu bagaimana? Kalau misalnya kita buka warung apa berbisnis itu? Ya kan? Kalau misalnya jual beli motor atau apa, ya kalau dia belinya benar tidak menggunakan itu ya, jadi berbisnis ya bisnis. Yang enggak boleh itu saya tiba-tiba mengambil alih menggunakan kekuatan,” jelas dia.

Menurut Maruli, di era zaman sekarang semua orang akan diawasi. Sehingga tak perlu khawatir.

“Jadi enggak usalah terlalu berpikir ke mana-mana. Silahkan cek potensinya bagaimana, kualitas, background pendidikannya bagaimana kenapa bisa masuk, itu silahkan dicek. Jadi enggak ada masalah mau bisnis. Memang kalau saya mau jualan apa gitu, jadi agen yang legal, kenapa enggak boleh? Karena kan batasannya bisnisnya susah ini. Masa kalau sampingan kita jualan rokok karena memang kurang uang, kan halal. Kan di luar jam kerja,” kata Maruli.

Infografis Poin-Poin Krusial Revisi UU TNI. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Poin-Poin Krusial Revisi UU TNI. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Tak Masuk Dalam Draft

Anggota Komisi I DPR Dave Laksono menyatakan, usulan menghapus larangan anggota TNI berbisnis dalam Revisi UU TNI harus dikaji mendalam.

Dia berharap, jika itu ada, maka dibuat aturan rinci terlebih dahulu dan penjelasan mengenai sebab pencabutan larangan tersebut.

"Harus dijelaskan bila Kemhan dan Mabes mengizinkan prajurit bisnis, maka harus ada aturan jelas, jangan sampai prafesionalitas TNI terganggu dan mereka awalnya bertugas menjaga keamanan malah berbalik sibuk mengurusi usaha masing-masing," kata Dave saat dikonfirmasi, Rabu (17/7/2024).

Dia mengingatkan, tugas TNI adalah menjaga stabilitas negara oleh sebab itu tugas negara lah untuk menjamin kesejahteraan prajurit.

"TNI memiliki peran dan tanggung jawab sangat penting dan menjadi salah satu punggung utama menjaga stabilitas negara, salah satu tugas pemerintah adalah memastikan kesejahteraan dan kebutuhan dasar setiap prajurit itu terpenuhi baik kebutuhan sehari-hari lalu sandang, pangan, papan," jelasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Bobby Rizaldi menyatakan usulan pencabutan larangan bisnis itu tidak ada dalam draft Revisi UU TNI.

"Ini tidak ada di dalam draft," kata Bobby.

Dia menyebut prajurit hatus menjalankan tugas sesuai tupoksinya dan bukannya berbisnis.

"Bahwasanya seorang prajurit harus menjalankan tupoksi nya, tidak merendahkan martabat institusi, dan tidak menjadi pemegang saham dalam usaha yg berada dalam ruang lingkup kekuasaannya," jelasnya. 

"Ya kalau ada induk koperasi untuk kesejahteraan prajurit, simpan pinjam, harusnya tidak masalah," sambungnya.

Dipandang Ganggu Profesionalisme

Deretan Alutsista Dipamerkan di HUT ke-74 TNI
Prajurit TNI menaiki kendaraan tempur saat parade alutsista pada perayaan HUT ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (5/10/2019). HUT ke-74 TNI dihadiri oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. (Liputan6.com/JohanTallo)

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan, Usulan penghapusan larangan bagi prajurit TNI berbisnis ini sama sekali tidak berkontribusi terhadap penguatan profesionalitas prajurit maupun pemahaman mereka terhadap aspek-aspek pertahanan negara.

"Sehingga justru menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin usulan demikian akan memiliki sisi plusnya?" kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (17/7/2024).

Menurut Ikhsan, jika militer benar-benar berkomitmen dalam merawat, melanjutkan, dan memperkuat reformasi militer dan tugas serta fungsinya dalam pertahanan negara, semestinya tidak memberikan usulan-usulan yang regresif terhadap komitmen tersebut.

"Perkembangan dinamika ancaman, dinamika global semestinya menjadi acuan militer dalam memikirkan bagaimana penguatan terhadap pertahanan negara," jelas dia.

Kesejahteraan prajurit, lanjuut Ikhsan, semestinya adalah kewajiban negara untuk pemenuhannya.

"Sehingga jika justifikasi usulan pencabutan larangan tersebut adalah perihal kesejahteraan prajurit, pemerintah perlu memberi respons soal komitmen dalam menjamina atau meningkatkan kesejahteraan prajurit militer," pungkasnya.

Sementara, Pengamat Militer Anton Aliabbas memandang, jelas itu merupakan bentuk indikasi kemunduran dari reformasi TNI.

"Karena ide ini sebenarnya sudah muncul dari 20 tahun lalu ketika pembahasan UU TNI. Dalam pembahasan RUU TNI 2004 lalu jelas bahwa ketika negara membentuk Tentara Nasional Indonesia yang profesional maka salah satu indikasinya adalah negara mengambil alih semua bisnis militer yang langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain negara ingin menempatkan TNI sebagai alat pertahanan negara yang utama," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (17/7/2024).

Menurutnya, ada beberapa alasan TNI untuk berbisnis. Yang pertama adalah core utama TNI adalah menjaga kedaulatan. Sehingga kalau berbicara bisnis, sangat jauh dari keinginan itu.

Kemudian, untuk mencegah adanya konflik kepentingan. "Karena bagaimana pun juga ada anggapan, ada oknum-oknum masih berbisnis, menjaga instansi bisnis. Kita ingin menjaga itu," jelas Anton.

Selain itu, negara tak ingin TNI menjadikan tentara niaga. "Tentara cuma fokus dalam pertahanan negara, kemudian ikut memikirkan bisnis. Di sisi lain kontrol terhadap izin untuk membolehkan TNI untuk berbisnis juga berat. Kenapa? Karena bagaimanapun juga akan sulit membedakan kapan ini urusan pribadi, kapan ini urusan institusi. Kalau yang berbisnis adalah pimpinan, ini ada kemungkinan menyalahgunakan kewenangan dan mencampuradukan," bebernya.

Anton menegaskan, jika alasannya untuk kesejahteraan prajurit, maka biarkan negara yang bertanggungjawab. 

"Saya pikir saya punya presiden yang punya pengalaman dengan dunia kemiliteran, saya pikir sudah cukup paham bagaimana negara memikirkan alternatif pendanaan. Sebenarnya terkait pendanaan bukan mencari sumber lain, tapi bagaimana memaksimalkan anggaran yang dimiliki juga memperbaiki tata kelola," kata dia.

Tak Ada Urgensi

Jelang HUT ke-77, TNI AU Gelar Gladi Bersih di Lanud Halim Perdanakusuma
TNI Angkatan Udara akan memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-77 pada 9 April 2023. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Usulan penghapusan larangan prajurit berbisnis dalam revisi Undang-Undang (UU) TNI disorot. Sebab, dapat diartikan menghapus profesionalisme TNI.

"Kami memandang usulan Kababinkum TNI tersebut merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI," kata Ketua YLBHI M Isnur mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan yang dikutip Rabu (17/7/2024).

Usulan itu disampaikan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro, dalam keterangannya di forum “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri pada 11 Juli 2024. Laksa Kresno mengusulkan penghapusan larangan prajurit TNI terlibat dalam bisnis, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 huruf c Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Menurut Isnur, prajurit dididik, dilatih, dan disiapkan untuk perang, sesuai hakikat mereka. Sehingga, tak ada urgensi bagi TNI untuk terlibat dalam bisnis.

"Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit, yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara," kata Isnur.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut usulan penghapusan larangan TNI berbisnis, bukan hanya berdampak pada profesionalitas mereka. Jika dihapus, kata dia, akan berpengaruh pada lemahnya usaha militer menjaga pertahanan negara.

"Karena bertambahnya tugas yang jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan," kata dia.

Menurut Usman, urgensi revisi UU TNI bukan dengan mencabut larangan berbisnis prajurit. Namun, memastikan kesejahteraan mereka terjamin dengan anggaran negara.

"Bukan dengan memberikan ruang prajurit TNI untuk berbisnis. Praktik ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru," kata dia.

Selain itu, Usman menegaskan alokasi dana militer harus diperjelas melalui revisi. Sehingga, dapat disokong alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang memadai.

"Harus jelas alokasi anggaran pertahanannya untuk memastikan alutsista yang modern dan kesejahteraan prajurit," kata dia.

 

Tak Dibangun untuk Berbisnis dan Berpolitik

Sementara, KontraS memandang usulan Kababinkum TNI itu merupakan pandangan keliru dan mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI.

"Militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara manapun. Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan merupakan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit. Karena itu prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis," kata Andi Muhammad Rezaldy selaku Kepala Divisi Hukum KontraS mewakili masyarakat sipil, seperti dikutip Rabu (17/7/2024).

Andi menegaskan, militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik. Sebab hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.

“Rencana menghapuskan larangan bisnis dalam UU TNI bukan hanya akan berdampak pada lemahnya profesionalisme militer tetapi juga akan berpengaruh pada lemahnya usaha militer menjaga pertahanan negara dan kedaulatan negara karena bertambahnya tugas yang jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan,” wanti Andi.

Andi mencatat, militer diberikan anggaran yang besar triliunan rupiah untuk belanja alat utama sistem (Alutsista) seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, helikopter dan sebagainya yang sepenuhnya ditujukkan untuk menyiapkan kapabilitas mereka untuk berperang. Artinya, bukan kemudian dilakukan untuk tujuan berbisnis dan berpolitik. 

“Karena itu rencana revisi usulan mencabut larangan berbisnis dalam UU TNI adalah sesuatu yang berbahaya dalam pembangunan profesionalisme militer itu sendiri,” tegas dia.

Sementara, Pengamat Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda, menilai jika abdi negara sebagai pengguna anggaran bersinggungan dengan dunia bisnis yang terkait, maka timbul potensi kecurangan penggunaan anggaran yang menguntungkan segelintir pihak saja.

Huda menjelaskan, dana APBN merupakan dana dari pajak masyarakat, kemudian masuk ke dalam BUMN melalui Penanaman Modal Negara.

Di sisi lain, dunia usaha juga sering berkaitan dengan negara melalui penyediaan barang untuk pemerintah baik Kementerian, Lembaga, Polisi, hingga TNI, sehingga berpotensi korupsi meningkat.

"Berpotensi koruptif juga meningkat. Yang pada akhirnya yang memenangkan project pemerintah dari internal sendiri. Ekonomi semakin terhambat, terutama dari sisi dunia usaha non abdi negara. Maka saya tidak setuju dengan usulan tersebut," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Rabu (17/7/2024). 

Infografis Revisi UU TNI dan Usulan Hapus Larangan Prajurit Berbisnis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Revisi UU TNI dan Usulan Hapus Larangan Prajurit Berbisnis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya