Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, kasus intoleransi antar umat beragama beberapa kali kerap terjadi di Indonesia.
Salah satu pemicunya adalah semakin memudarnya sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan agama dalam masyarakat, yang berpotensi merusak kerukunan serta mencederai demokrasi.
Baca Juga
Berdasarkan laporan lembaga Imparsial: The Indonesian Human Rights Monitor, sepanjang 2024 terdapat sedikitnya 23 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Advertisement
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh minimnya pendidikan serta kurangnya penanaman nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan sejak usia dini.
Menanggapi kondisi yang terjadi di masyarakat, Redea Institute yang menaungi jaringan Sekolah HighScope Indonesia berkomitmen untuk menanamkan serta menerapkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan kepada seluruh siswa sejak dini.
"Toleransi sering kali dianggap hal yang sepele, padahal ketidakhadirannya dapat berdampak negatif. Banyak permasalahan di era ini berakar dari kurangnya rasa saling menghargai—baik terhadap sesama, terhadap suatu hal, maupun terhadap perbedaan yang ada," ujar Pendiri Sekolah HighScope Antarina S Amir, melalui keterangan tertulis, Kamis (20/3/2025).
"Kurangnya pemahaman akan keberagaman dapat memicu konflik, perpecahan, serta menurunnya sikap toleran dalam kehidupan bermasyarakat," sambung dia.
Antarina menjelaskan, sebagai upaya menanamkan pemahaman tentang pentingnya menghargai perbedaan dan toleransi, jaringan Sekolah HighScope Indonesia kembali mengadakan kegiatan lintas agama bertajuk Peace, Tolerance, Respect (PTR).
"Kegiatan tahunan ini bertujuan untuk menumbuhkan sikap saling menghormati, baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup, guna menciptakan kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan," terang dia.
Hormati Sesama Manusia dan Makhluk Hidup
Antarina menjelaskan, pada tahun ini, PTR mengusung tema 'Membangun Sikap Menghormati Sesama Manusia dan Makhluk Hidup untuk Menciptakan Kehidupan yang Damai dan Berkelanjutan'.
"Tema ini dipilih untuk menginspirasi siswa agar menerapkan sikap saling menghormati dalam kehidupan sehari-hari, serta berkontribusi dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Dengan demikian, kegiatan ini diharapkan membawa dampak positif bagi seluruh umat beragama dalam masyarakat," ucap dia.
Kegiatan tersebut, lanjut Antarina, juga menjadi salah satu cara untuk mempromosikan kehidupan madani dengan menanamkan sikap toleransi antar pemeluk agama serta menghargai berbagai bentuk kontribusi yang dilakukan masing-masing agama bagi kemanusiaan.
"PTR diselenggarakan setiap tahun pada bulan Ramadhan sejak 2004. Meskipun berlangsung di bulan Ramadhan, kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh siswa beragama Islam, tetapi juga oleh siswa dari agama lain, seperti Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha," papar dia.
Dalam pelaksanaannya, lanjut dia, aktivitas siswa terbagi menjadi dua kategori: aktivitas yang sesuai dengan latar belakang agama masing-masing dan aktivitas gabungan yang melibatkan seluruh siswa tanpa memandang perbedaan keyakinan.
"Rangkaian kegiatan PTR ini berlangsung di seluruh Sekolah HighScope Indonesia (Alfa Indah, Bali, Bintaro, Bengkulu, Denpasar, Kelapa Gading, Medan, Palembang, Rancamaya, dan TB Simatupang) dimulai dari program Sekolah Dasar di kelas 4 sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)," terang Antarina.
Advertisement
Diwajibkan Sekolah
Menurut Antarina, sekolah mewajibkan siswa sekolah dasar dan menengah untuk mengikuti kegiatan ini selama 2 hari 1 malam di sekolah. Siswa SMA mengikuti PTR selama sehari penuh dari pagi hingga selesai salat tarawih.
"PTR terbagi atas dua sesi, yaitu lintas agama dan sesi agama masing-masing. Sesi lintas agama menghadirkan pembicara yang mengangkat nilai-nilai universal dimiliki semua agama, misalnya menunjukkan sikap taqwa kepada Tuhan YME dengan cara menghargai sesama makhluk hidup," ucap dia.
Kemudian, lanjut Antarina, siswa akan mengikuti sesi agama masing-masing. Sebagai ilustrasi, saat siswa beragama Islam menjalankan salat isya dan tarawih berjamaah, siswa beragama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha mengikuti sesi pendalaman iman di ruang terpisah.
"Dalam sesi ini, mereka mendapatkan bimbingan dari pemuka agama yang diundang sebagai pembicara tamu. Diskusi yang berlangsung berfokus pada bagaimana nilai-nilai keimanan tercermin dalam tindakan sehari-hari, khususnya dalam membangun semangat toleransi dan solidaritas di tengah era digital saat ini," kata dia.
