Kejagung Dinilai Jadi Lembaga Paling Banyak Selamatkan Uang Negara dari Kasus Korupsi, Berapa Nilainya?

Kejagung dinilai menjadi lembaga penegak hukum yang menyetor PNBP terbesar yang bersumber dari pengembalian kerugian negara terkait pengungkapan kasus korupsi.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 13 Okt 2024, 17:43 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2024, 10:26 WIB
Ilustrasi Kejaksaan Agung RI (Kejagung).
Gedung Kejaksaan Agung RI (Kejagung). (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

 

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai menjadi lembaga penegak hukum yang menyetor Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) terbesar yang bersumber dari pengembalian kerugian negara terkait pengungkapan kasus korupsi.

Lembaga yang dipimpin Jaksa Agung ST Burhanuddin itu dinilai berhasil menyelamatkan triliunan uang negara dari para koruptor. Berdasarkan data yang dihimpun dari Pusat Penerangan Hukum Kejagung menyebutkan, mereka menyetorkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari pengembalian kerugian negara hasil pengungkapan kasus korupsi, di antaranya:

  1. Pendapatan uang sitaan hasil korupsi senilai Rp 48,3 miliar,
  2. Pendapatan uang pengganti tindak pidana korupsi: Rp 2,2 triliun,
  3. Pendapatan hasil lelang barang rampasan korupsi senilai Rp 1,42 triliun.
  4. Pendapatan denda hasil tindak pidana korupsi: Rp 28,4 miliar,
  5. Pendapatan hasil pengembalian uang negara: Rp 76,4 miliar.

Menanggapi hal ini, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil mengatakan, Kejagung selama masa kepemimpinan Jaksa Agung, ST Burhanuddin, banyak membuat kejutan.

Tak hanya dalam hal membongkar kasus besar, tetapi juga menyelamatkan kerugian negara dari para koruptor. Salah satu terobosannya adalah mengejar kerugian negara dari aspek perekonomian negara. Menurut Nasir, dalam dua-tiga tahun terakhir, Kejagung mengejar kerugian dari sisi perekonomian negara.

"Bahwa korupsi telah merugikan perekonomian negara. Oleh Kejaksaan coba dihitung," ungkap Nasir kepada wartawan Minggu (13/10/2024).

Menurut Nasir, persoalan mengejar koruptor dari aspek kerugian perekonomian negara, sebenarnya merupakan amanat dari Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, untuk memiskinkan koruptor.

Nasit menjelaskan, jika satu kegiatan pembangunan dijalankan tanpa korupsi maka akan memberi dampak ekonomi kepada masyarakat. Sehingga persoalan kerugian perekonomian ini penting untuk dikejar.

"Ini penting, karena korupsi telah menghilangkan hak-hak ekonomi masyarakat," ucap Nasir.

Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho mengatakan, pengembalian kerugian negara dari hasil pengungkapkan kasus korupsi belum bisa maksimal, baru sekitar 20 persen. Aparat penegak hukum harus mengupayakan agar kerugian negara ini bisa maksimal diambil dan dikembalikan ke masyarakat.

Saat ini, kata dia, Kejaksaan sudah membuat terobosan terkait pengembalian kerugian negara dengan memasukkan kerugian dari aspek perekonomian negara.

"Masalahnya konteks kerugian perekonomian negara belum diakui semua penegak hukum. Padahal ini yang merusak tatanan," kata Hibnu.

Sandra Dewi Ogah Cincin Kawin Disita, Kejagung: Tak Usah Berpolemik Seolah Kami Tak Profesional

Kejagung Tunjukkan Bukti Kejahatan Harvey Moeis dan Helena Lim
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Harli Siregar didampingi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Haryoko Ari Prabowo menyampaikan keterangan saat konferensi pers pelimpahan tahap dua di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (22/7/2024). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Kejaksaan Agung (Kejagung) menanggapi sikap Sandra Dewi yang akan menolak jika penyidik hendak melakukan penyitaan terhadap cincin kawin dan pertunangannya dengan terdakwa Harvey Moeis, yang disampaikan saat sidang kasus korupsi komoditas timah.

Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyampaikan, pihaknya bertugas dengan komitmen profesionalitas tinggi. Seluruh prosedur penegakan hukum diikuti sesuai undang-undang yang berlaku.

"Itu yang saya bilang (soal cincin). Ini kan kita sih nggak mau berpolemik. Tapi harus dipahami ada proses penyidikan. Ketika dilakukan penyidikan itu kan penyidikan wajar harus menanya semua. Ini dari mana? Ini dari mana? Ini dari mana? Ini dari mana? Karena ini menyangkut TPPU aliran," tutur Harli di Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (11/10/2024).

"Kan harus diverifikasi. Lalu kalau bilang ini cincin kawinnya beli dari mana? Wah ini uang saya, ya selesai. Apa masalahnya?," jelas dia.

Siapapun yang membeli barang tersebut, dalam penegakan hukum tetap melihat waktu dari terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, yang dalam hal ini Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Nah misalnya tempus delikti kejahatan ini kapan? Lalu perolehannya kapan? Itu yang dilihat penyidik. Makanya oh berarti misalnya dari tahun ini, ini bisa dilakukan penyitaan," jelas dia.

Harli menegaskan, penyitaan yang dilakukan penyidik telah melalui mekanisme aturan hukum. Termasuk soal kesimpulan perlu tidaknya penyitaan hingga ke cincin kawin.

"Jadi itu juga dikaji. Nggak akan sembarang. Jadi maksud saya ya nggak usah berpolemik lah. Seolah-olah penyidikan kami ini nggak profesional. Oh ndak boleh," ucap Harli.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya