Air tak pernah salah. Ia hanya menagih kembali ruang yang dulu kita ambil darinya.
Liputan6.com, Jakarta - Bayangkan sejenak, Anda terbangun di tengah malam oleh suara gemuruh air yang deras. Dalam hitungan menit, rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung berubah menjadi genangan air yang menenggelamkan harapan. Barang-barang berharga hanyut, dan Anda serta keluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sayangnya, ini bukan sekadar skenario. Ini nyata, dan terjadi berulang kali.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia terus dilanda banjir besar di berbagai wilayah. Pada April 2021, banjir bandang di Nusa Tenggara Timur menewaskan lebih dari 174 jiwa. Februari 2023, banjir besar melanda Makassar dan memaksa ribuan warga mengungs).
Baca Juga
Januari 2024, tiga kabupaten di Kalimantan Barat mengalami banjir besar. Februari 2025, Kabupaten Demak kembali dilanda banjir hebat hingga memaksa ratusan warga bertahan di pengungsian. Di waktu yang sama, Bima, NTB, juga dilanda banjir dan longsor yang menyebabkan kerusakan cukup parah.
Advertisement
Tak ketinggalan, wilayah Jabodetabek juga mengalami banjir besar pada awal tahun 2025. Hujan deras yang turun terus-menerus menyebabkan genangan di sejumlah titik. Ribuan warga terdampak, transportasi umum terganggu, dan sekolah-sekolah terpaksa diliburkan.
Data BNPB menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 terjadi 5.593 kejadian bencana di Indonesia, dengan banjir dan tanah longsor mendominasi. Ini bukan lagi peristiwa acak, melainkan gejala sistemik yang perlu kita cermati bersama.
Banjir Tak Sekadar Soal Hujan
Seringkali, hujan deras menjadi kambing hitam. Namun, penyebab banjir jauh lebih kompleks.
Pembangunan permukiman, industri, dan infrastruktur seringkali mengorbankan ruang terbuka hijau dan daerah tangkapan air. Akibatnya, air kehilangan tempat untuk meresap dan mengalir bebas ke permukaan, memicu genangan dan banjir.
Indonesia sebenarnya telah memiliki regulasi penataan ruang yang kuat, seperti Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2017. Dalam pasal 99 ayat (3) dari PP tersebut ditegaskan prinsip Zero Delta Q, yaitu pembangunan tidak boleh meningkatkan debit limpasan air hujan. Namun dalam praktik, banyak proyek pembangunan masih mengabaikan prinsip ini.
Selain itu, sistem drainase yang tersumbat akibat penumpukan sampah dan kurangnya pemeliharaan juga memperparah kondisi. Perubahan iklim global pun turut memicu intensitas hujan yang lebih ekstrem dan sulit diprediksi, membuat kawasan sangat rentan terhadap banjir.
Advertisement
Air Jangan Dibuang, Tapi Ditampung dan Diresapkan
Mengatasi banjir bukan semata meninggikan tanggul atau memperbesar saluran air. Kita perlu mengubah cara pandang: air hujan bukan musuh, melainkan anugrah yang perlu dikelola.
Air hujan seharusnya tidak dibuang. Kolam retensi, embung, dan bendungan adalah cara efektif menampung air hujan. Selain itu, Rain Water Harvesting (RWH) juga bisa menjadi solusi, di mana air hujan yang ditampung dari atap dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga. RWH dapat mengurangi ketergantungan terhadap air tanah dan mengurangi banjir.
Metoda selanjutnya adalah meresapkan air ke dalam tanah dengan sumur resapan (SR), lubang resapan biopori (LRB), atau pipa resapan horisontal (PRH). SR dan LRB sudah banyak dikenal masyarakat dan dipasang di berbagai daerah. PRH efektif untuk meresapkan air ke dalam tanah. PRH dibuat dari pipa PVC dipasang pada kedalaman maksimal 150cm.
Peresapan oleh PRH bisa lebih dari 20 kali peresapan SR. PRH dapat direncanakan untuk menihilkan tambahan limpasan air akibat pembangunan (zero delta Q). Kelebihan PRH harga lebih murah, pemasangan dan pemeliharaan mudah. Pemasangannya di dalam/luar saluran atau disambungkan dengan talang. PRH yang ditemukan oleh Edy Susilo tahun 2020 telah dipasang di Semarang untuk mengurangi banjir dan mengatasi kekurangan air tanah.
Agar solusi ini berjalan optimal, dukungan kebijakan menjadi kunci. Pemerintah perlu mendorong pemanfaatan teknologi resapan melalui regulasi dan insentif. Masyarakat pun diharapkan mulai mengubah kebiasaan, dari membuang air hujan menjadi menyimpan atau meresapkannya ke dalam tanah.
Saatnya Kita Menyatu dengan Alam
Air tak pernah salah. Ia hanya menagih kembali ruang yang dulu kita ambil darinya. Kini saatnya kita mulai mengelola air dengan bijak. Kita perlu membangun kota dan desa yang ramah air, dengan tata ruang yang memperhatikan lingkungan.
Banjir adalah konsekuensi dari pilihan kita dalam mengelola lingkungan. Namun, masa depan yang bebas banjir bukanlah mimpi, jika kita bersedia mengambil tindakan nyata, mulai dari diri kita sendiri.
Oleh: Edy Susilo, Dosen Universitas Semarang dan Praktisi Hidrologi
Advertisement
