Mogok produksi para perajin tahu di Banyuwangi, Jawa Timur, berlanjut di hari kedua. Para perajin mengaku memilih mogok produksi lantaran tidak ingin menanggung rugi setiap kali berproduksi akibat harga kedelai yang kian hari kian melambung.
Seperti ditayangkan Liputan 6 SCTV, Minggu (1/9/2013) siang, mereka menegaskan tetap akan mogok sembari menunggu harga kedelai stabil di kisaran Rp 7.000 per kilogram. Jika belum ada kepastian turunya harga kedelai, mereka akan kembali produksi dengan menaikkan harga jual di pasaran.
Dampak mogok produksi para perajin tahu ini memang sangat terasa. Di pasar tradisional Banyuwangi, misalnya, sejak 2 hari lalu tahu sulit didapat. Hilangnya tahu di pasaran dikeluhkan konsumen yang setiap hari mengonsumsi tahu.
Untuk pengganti tahu, konsumen membeli tempe, meski ukurannya lebih kecil dari biasanya. "Tempe harga tetap, tapi ukurannya lebih tipis. Kalau tahu sekarang tak ada, pembeli pada bingung," ujar Yuli Astuti, salah seorang pedagang di pasar tradisional Banyuwnagi.
Sementara itu, para perajin tahu dan tempe mengeluhkan pemerintah yang dinilai lamban mengatasi persoalan naiknya harga kedelai impor. Saat ini harga kedelai impor mencapai Rp 9.200 sampai Rp 9.300 per kilogram. Sedangkan harga kedelai lokal Rp 7.500 sampai Rp 8.000 per kilogram. Sayangnya, stok kedelai lokal kosong di pasaran.
Sedangkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yang melakukan sidak di Pasar Cikurubuk, Tasikmalaya, menerima keluh kesah para pedagang dan konsumen. Ke depan Pemprov Jabar berencana akan memperluas lahan pertanian khusus kedelai untuk menekan laju kenaikan harga kedelai impor.
Sementara para perajin tahu dan tempe di Tasikmalaya menyikapi kondisi ini dengan mengurangi jumlah produksi. Bagi mereka hal ini lebih masuk akal dibandingkan mengurangi ukuran tahu dan tempe. Karena menaikkan atau mengurangi ukuran produksi akan mempengaruhi produk mereka. (Ado/Ism)
Seperti ditayangkan Liputan 6 SCTV, Minggu (1/9/2013) siang, mereka menegaskan tetap akan mogok sembari menunggu harga kedelai stabil di kisaran Rp 7.000 per kilogram. Jika belum ada kepastian turunya harga kedelai, mereka akan kembali produksi dengan menaikkan harga jual di pasaran.
Dampak mogok produksi para perajin tahu ini memang sangat terasa. Di pasar tradisional Banyuwangi, misalnya, sejak 2 hari lalu tahu sulit didapat. Hilangnya tahu di pasaran dikeluhkan konsumen yang setiap hari mengonsumsi tahu.
Untuk pengganti tahu, konsumen membeli tempe, meski ukurannya lebih kecil dari biasanya. "Tempe harga tetap, tapi ukurannya lebih tipis. Kalau tahu sekarang tak ada, pembeli pada bingung," ujar Yuli Astuti, salah seorang pedagang di pasar tradisional Banyuwnagi.
Sementara itu, para perajin tahu dan tempe mengeluhkan pemerintah yang dinilai lamban mengatasi persoalan naiknya harga kedelai impor. Saat ini harga kedelai impor mencapai Rp 9.200 sampai Rp 9.300 per kilogram. Sedangkan harga kedelai lokal Rp 7.500 sampai Rp 8.000 per kilogram. Sayangnya, stok kedelai lokal kosong di pasaran.
Sedangkan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yang melakukan sidak di Pasar Cikurubuk, Tasikmalaya, menerima keluh kesah para pedagang dan konsumen. Ke depan Pemprov Jabar berencana akan memperluas lahan pertanian khusus kedelai untuk menekan laju kenaikan harga kedelai impor.
Sementara para perajin tahu dan tempe di Tasikmalaya menyikapi kondisi ini dengan mengurangi jumlah produksi. Bagi mereka hal ini lebih masuk akal dibandingkan mengurangi ukuran tahu dan tempe. Karena menaikkan atau mengurangi ukuran produksi akan mempengaruhi produk mereka. (Ado/Ism)