Komisi III DPR tiba-tiba menghentikan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung yang digelar pada 18 September lalu. Gara-garanya, tercium 'aroma busuk' suap oleh salah satu peserta seleksi kepada anggota Komisi III DPR.
Isu suap itu menyeret nama hakim yang bertugas di Pengadilan Tinggi Pontianak, Kalimantan Barat, Sudrajad Dimyati dan anggota Fraksi PKB Bachrudin Nasori. Transaksi suap itu diduga berlangsung di toilet yang letaknya di samping ruang Komisi III DPR.
'Ngeri-ngeri sedap' transaksi toilet itu. Ngeri, karena seorang hakim yang bertugas menegakkan keadilan malah memberikan suap. Sedap, sebab DPR yang oleh KPK disebut sebagai lembaga legislatif terkorup se-ASEAN kembali dilanda isu suap. Berdasar data dari tahun 2008 hingga Agustus 2013, ada 34 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR ditangani KPK.
Adalah MM yang memergoki Dimyati dan Bachrudin kala 'bertransaksi' di dalam toilet itu. Awalnya MM yang seorang wartawan itu mengaku tidak tahu jika ada keanehan dalam pertemuan di toilet tersebut. Sampai akhirnya MM mendengar keduanya sedang berbisik dan memergoki ada sesuatu yang diberikan Sudrajad ke Bachrudin.
Setelah benda yang mirip amplop itu berpindah tangan dari Sudrajad ke Bachrudin yang juga Bendahara Umum PKB itu. Kemudian Bachrudin itu langsung ke luar lebih dahulu dan selang beberapa menit, kemudian diikuti oleh Sudrajad.
Karena itulah fit dan proper test calon hakim agung ditunda. Komisi III ingin melakukan klarifikasi. "Kami merasa perlu mengetahui pemberitaan toilet. Sudah muncul pemberitaan seputar salah satu anggota kami yang bertemu di toilet," ujar Ketua Komisi III Gede Pasek Suardika.
Membantah
Tudingan itu terang saja dibantah oleh Bachrudin maupun Sudrajad. Keduanya sama-sama mengaku tak melakukan praktik suap di toilet yang dibangun dengan uang rakyat itu.
Di toilet itu, Bachrudin mengaku hanya buang air kecil saja. Pertemuannya dengan Sudrajad diklaim hanya sebuah kebetulan. Dan komunikasi dengan Sudrajad itu diklaim hanya berisi pertanyaan tentang sejumlah calon hakim agung yang ikut seleksi.
"Nggak. Saya cuma nanya ada berapa calon (hakim agung) yang perempuan, dan ada berapa calon yang nonkarier," tutur Bachrudin.
Setelah pertemuan dengan Sudrajad, Bachrudin tak terlihat di ruang rapat Komisi III. Bahkan sampai uji kelayakan direhat sekitar pukul 13.00 WIB, Bachrudin masih belum kembali ke ruang rapat tersebut.
Cerita juga terangkai dari mulut Sudrajad. Dalam versinya, Sudrajad mengaku, siang itu sudah kelar menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Dia kemudian ke toilet sebelum pulang dengan pertimbangan di tol pasti akan susah buang air kecil.
Di dalam toilet itu, Sudrajad meletakkan catatan pertanyaan anggota Dewan di atas tempatnya buang air kecil. Dan akhirnya bertemu dengan Bachrudin.
Saat selesai buang air kecil itulah Sudrajad mengaku ditanya oleh Bachrudin soal 2 calon hakim agung perempuan. Bachrudin tanya yang mana yang merupakan hakim karier. "Kertas itu saya punya, kertas panggilan, ada 2 lembar. Pertama dari pimpinan Sekretaris Jenderal yang ke-2 jadwal. Termasuk karier satu ibu," tutur Sudrajad.
Dia mengaku tidak melakukan lobi-lobi untuk proses seleksi yang dijalani. Dia juga membantah telah memberikan suap. "Saya bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar Sudrajad.
KY Bertindak
Isu itu menarik perhatian Komisi Yudisial. Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar mengatakan lembaganya akan menelusuri dugaan suap dalam uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung tersebut. "KY akan memetakan dulu (informasi)," ujarnya.
Asep menambahkan, tak hanya memetakan, KY juga akan melakukan validasi terhadap semua informasi 'transaksi toilet' tersebut. "KY juga akan melakukan validasi dulu atas semua informasi yang ada," ucap Asep.
Isu suap dalam proses seleksi calon hakim agung bukan kali ini saja terdengar. Komisioner KY Bidang Hubungan Antarlembara Imam Anshori Saleh bahkan mengaku punya pengalaman nyata pernah diiming-imingi duit oleh salah satu calon hakim agung.
"Dalam seleksi sebelumnya, saya pernah ditawari Rp 1,4 miliar oleh orang yang mengaku dari DPR untuk meloloskan calon tertentu. Uang itu untuk dibagi ke 7 komisioner KY," kata Imam saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (19/9/2013).
Imam mengaku langsung menolak tawaran tersebut. Calon yang dimaksud pun kebetulan tak lolos untuk menjalani ujian di DPR. "Tak mungkin saya terima, kalau calon Hakim Agung seperti itu bagaimana nanti rusak masa depan hukum kita," ujar Imam yang juga mantan Wakil Ketua KY itu.
Pengalaman serupa juga dilontarkan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Cerita mantan Ketua KY itu bahkan lebih miris, menggambarkan betapa proses seleksi hakim agung tidak mementingkan kualitas para calon.
Saat Busyro masih menjabat sebagai Ketua KY, ada seorang calon yang bagus gagal lolos gara-gara tidak mau membayar uang suap saat menjalani seleksi di DPR. "Era KY jilid I dulu ada calon hakim lulus KY dengan nilai tinggi dan integritas bagus, kandas di DPR karena tak menuruti permintaan Rp 2 miliar," ujar Busyro. (Eks)
Isu suap itu menyeret nama hakim yang bertugas di Pengadilan Tinggi Pontianak, Kalimantan Barat, Sudrajad Dimyati dan anggota Fraksi PKB Bachrudin Nasori. Transaksi suap itu diduga berlangsung di toilet yang letaknya di samping ruang Komisi III DPR.
'Ngeri-ngeri sedap' transaksi toilet itu. Ngeri, karena seorang hakim yang bertugas menegakkan keadilan malah memberikan suap. Sedap, sebab DPR yang oleh KPK disebut sebagai lembaga legislatif terkorup se-ASEAN kembali dilanda isu suap. Berdasar data dari tahun 2008 hingga Agustus 2013, ada 34 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR ditangani KPK.
Adalah MM yang memergoki Dimyati dan Bachrudin kala 'bertransaksi' di dalam toilet itu. Awalnya MM yang seorang wartawan itu mengaku tidak tahu jika ada keanehan dalam pertemuan di toilet tersebut. Sampai akhirnya MM mendengar keduanya sedang berbisik dan memergoki ada sesuatu yang diberikan Sudrajad ke Bachrudin.
Setelah benda yang mirip amplop itu berpindah tangan dari Sudrajad ke Bachrudin yang juga Bendahara Umum PKB itu. Kemudian Bachrudin itu langsung ke luar lebih dahulu dan selang beberapa menit, kemudian diikuti oleh Sudrajad.
Karena itulah fit dan proper test calon hakim agung ditunda. Komisi III ingin melakukan klarifikasi. "Kami merasa perlu mengetahui pemberitaan toilet. Sudah muncul pemberitaan seputar salah satu anggota kami yang bertemu di toilet," ujar Ketua Komisi III Gede Pasek Suardika.
Membantah
Tudingan itu terang saja dibantah oleh Bachrudin maupun Sudrajad. Keduanya sama-sama mengaku tak melakukan praktik suap di toilet yang dibangun dengan uang rakyat itu.
Di toilet itu, Bachrudin mengaku hanya buang air kecil saja. Pertemuannya dengan Sudrajad diklaim hanya sebuah kebetulan. Dan komunikasi dengan Sudrajad itu diklaim hanya berisi pertanyaan tentang sejumlah calon hakim agung yang ikut seleksi.
"Nggak. Saya cuma nanya ada berapa calon (hakim agung) yang perempuan, dan ada berapa calon yang nonkarier," tutur Bachrudin.
Setelah pertemuan dengan Sudrajad, Bachrudin tak terlihat di ruang rapat Komisi III. Bahkan sampai uji kelayakan direhat sekitar pukul 13.00 WIB, Bachrudin masih belum kembali ke ruang rapat tersebut.
Cerita juga terangkai dari mulut Sudrajad. Dalam versinya, Sudrajad mengaku, siang itu sudah kelar menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Dia kemudian ke toilet sebelum pulang dengan pertimbangan di tol pasti akan susah buang air kecil.
Di dalam toilet itu, Sudrajad meletakkan catatan pertanyaan anggota Dewan di atas tempatnya buang air kecil. Dan akhirnya bertemu dengan Bachrudin.
Saat selesai buang air kecil itulah Sudrajad mengaku ditanya oleh Bachrudin soal 2 calon hakim agung perempuan. Bachrudin tanya yang mana yang merupakan hakim karier. "Kertas itu saya punya, kertas panggilan, ada 2 lembar. Pertama dari pimpinan Sekretaris Jenderal yang ke-2 jadwal. Termasuk karier satu ibu," tutur Sudrajad.
Dia mengaku tidak melakukan lobi-lobi untuk proses seleksi yang dijalani. Dia juga membantah telah memberikan suap. "Saya bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar Sudrajad.
KY Bertindak
Isu itu menarik perhatian Komisi Yudisial. Juru Bicara KY Asep Rahmat Fajar mengatakan lembaganya akan menelusuri dugaan suap dalam uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung tersebut. "KY akan memetakan dulu (informasi)," ujarnya.
Asep menambahkan, tak hanya memetakan, KY juga akan melakukan validasi terhadap semua informasi 'transaksi toilet' tersebut. "KY juga akan melakukan validasi dulu atas semua informasi yang ada," ucap Asep.
Isu suap dalam proses seleksi calon hakim agung bukan kali ini saja terdengar. Komisioner KY Bidang Hubungan Antarlembara Imam Anshori Saleh bahkan mengaku punya pengalaman nyata pernah diiming-imingi duit oleh salah satu calon hakim agung.
"Dalam seleksi sebelumnya, saya pernah ditawari Rp 1,4 miliar oleh orang yang mengaku dari DPR untuk meloloskan calon tertentu. Uang itu untuk dibagi ke 7 komisioner KY," kata Imam saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (19/9/2013).
Imam mengaku langsung menolak tawaran tersebut. Calon yang dimaksud pun kebetulan tak lolos untuk menjalani ujian di DPR. "Tak mungkin saya terima, kalau calon Hakim Agung seperti itu bagaimana nanti rusak masa depan hukum kita," ujar Imam yang juga mantan Wakil Ketua KY itu.
Pengalaman serupa juga dilontarkan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Cerita mantan Ketua KY itu bahkan lebih miris, menggambarkan betapa proses seleksi hakim agung tidak mementingkan kualitas para calon.
Saat Busyro masih menjabat sebagai Ketua KY, ada seorang calon yang bagus gagal lolos gara-gara tidak mau membayar uang suap saat menjalani seleksi di DPR. "Era KY jilid I dulu ada calon hakim lulus KY dengan nilai tinggi dan integritas bagus, kandas di DPR karena tak menuruti permintaan Rp 2 miliar," ujar Busyro. (Eks)