Liputan6.com, Surabaya - Sedan menjadi salah satu jenis kendaraan yang pertumbuhannya lamban di dalam negeri. Tingginya pajak yang dikenakan membuat banderol sedan kian melambung tinggi.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pun terus mendorong pemerintah untuk mengesahkan regulasi penurunan pajak sedan. Pasalnya, multi purpose vehicle (MPV) yang mendominasi di pasar nasional kontribusinya kecil dalam hal ekspor.
Baca Juga
"Kenapa itu (penurunan pajak sedan) diwacanakan? karena Indonesia itu jago kandang, yang laku itu MPV. (MPV) dulu sempet laku 60 persen, dan sekarang 40 persen. Ratio paling laku itu MPV. Sedangkan MPV itu hanya laku di lokal, di luar laku tapi tidak tinggi. Sehingga ekspor kita hanya 200 ribu per tahun," beber Sekretaris Jendral Gaikindo Kukuh Kumara saat dijumpai di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (19/9) malam.
Dengan jumlah penjualan yang minim membuat pabrikan enggan produksi sedan di dalam negeri. Padahal, kata Kukuh, kapasitas produksi Indonesia cukup tinggi dan belum dioptimimalkan.
Â
"Salah satu kendala pabrikan tidak memproduksi sedan di sini karena pasar domestiknya tidak mendukung. Orang bukan tidak mau, cuma kebijakan dari 70 atau 80-an masih sama, artinya memberikan kemudahan untuk kendaraan komersil yang dijadikan penumpang yaitu MPV," katanya.
Lebih lanjut Kukuh menyatakan jika zaman berubah. Kalau menginginkan pertumbuhan maka harus ada pergeseran. "Di perkotaan pun sudah jadi pergeseran, yaitu keluarga-keluarga muda perlu kendaraan hatchback, perlu sedan, tapi kalau di lihat dari pajaknya kan masih lebih tinggi 30 persen," sambungnya.
"Kalau itu bisa disamakan, bisa diturunkan, sehingga diharapkan pasar tumbuh. Kalau pasar tumbuh, orang (pabrikan) akan buat sedan di sini. Kalau buat sedan di sini, kita bisa kirim ke tempat lain (ekspor). Sehingga variasi atau produk yang di buat di Indonesia bisa lebih banyak," ujar Kukuh mengakhiri.
Advertisement
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Awal Cerita Sedan Menjadi Barang Mewah
Sedan adalah satu segmen yang kurang berkembang di Indonesia. Lembaga riset dan konsultan Frost & Sullivan merilis data bahwa tahun lalu penjualannya hanya 13.700 unit, atau turun 21,4 persen ketimbang tahun sebelumnya.
Satu penyebab kenapa sedan tidak berkembang adalah bahwa mobil ini dibebani pajak yang tinggi. Dengan berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN-BM) untuk sedan di bawah 1,5 liter adalah 30 persen, sementara di atas itu 40-75 persen. Sementara segmen-segmen lain hanya 10 persen saja.
I Gusti Putu Suryawirawan, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin), mengatakan bahwa pembebanan pajak yang lebih tinggi disebabkan anggapan mobil ini dianggap hanya dapat dibeli kalangan orang kaya saja.
Putu mengatakan, pola pikir ini tumbuh sejak zaman Orde Baru dan terus langgeng sampai sekarang.
"Zaman Pak Harto orang beli sedan sudah dianggap orang kaya. Karena kaya, akhirnya dikasih pajak tinggi," ujar Putu dalam acara "Seabad Industri Otomotif Indonesia" yang digelar Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) di Jakarta, Selasa (28/8/2017).
Pada masa Orde Baru, sedan memang banyak dipakai oleh pejabat. Bahkan, mobil dinas presiden kala itu tidak bisa jauh-jauh dari sedan, terutama keluaran Mercedes-Benz.
Selera mobil "Eropaan" Orde Baru terbentuk pada 1970-an. Sebab sebelum itu, selalu mobil asal Amerika Serikat (AS), seperti Chevrolet, yang dipakai.
Mercedes-Benz W116 Barong 1975, Mercedes-Benz W126 Eagle 500SEL 1987, Mercedes-Benz W140 S600 1994, adalah beberapa sedan yang pernah dipakai sebagai mobil kenegaraan sepanjang masa pemerintahan Soeharto. Tentu semua mobil ini punya keunggulan di atas rata-rata pada zamannya.
Mobil dinas para menteri kala itu juga sedan, sehingga mengesankan eksklusivitas. Beberapa model yang pernah dipakai para pembantu Suharto ini adalah Volvo 264 GL, Volvo 740 GL, Volvo 960, dan Volvo S90. Yang disebutkan terakhir adalah mobil dinas para menteri di masa-masa terakhir Orde Baru.
Mobil yang "merakyat" tidak identik dengan sedan. Salah satu mobil paling populer di masa itu adalah Toyota Kijang. Dan sebagaimana kita tahu, Kijang berada di segmen kendaraan penumpang, lalu kemudian bertransformasi jadi kendaraan serbaguna (MPV).
Putu menilai bahwa saat ini pola pikir itu harusnya diubah. Sebab sekarang ada MPV, SUV, atau segmen lain, yang jelas lebih mewah ketimbang sedan. Sementara sedan pun tidak selamanya mewah.
"Apalagi sedan itu segmen yang populer di luar negeri, bukan MPV seperti yang banyak sekarang. Jadi kalau memang mau menggalakkan ekspor, harus perhatikan itu," ujarnya.
Advertisement