Liputan6.com, Jakarta - Pilkada Serentak yang digelar pada gelombang pertama 9 Desember 2015 lalu masih harus dievaluasi. Pelaksanaan pesta rakyat tersebut dinilai masih bermasalah.
Seperti diungkapkan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yuswandi A Tumenggung.
"Ya memang masih ada perlu evaluasi oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu," kata Yuswandi di kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (22/12/2015).
Yuswandi mengatakan, evaluasi itu perlu dilakukan mengingat pada Maret 2016 mendatang sudah memasuki masa persiapan tahapan Pilkada Serentak 2017. Evaluasi itu ada yang menjadi ranahnya pemerintah melalui Kemendagri, ada pula yang menjadi ranahnya penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Ada yang menjadi domain pemerintah (Kemendagri) dan penyelenggara pilkada," kata Yuswandi.
Baca Juga
Dia menambahkan, hal yang menjadi agenda evaluasi pemerintah, misalnya soal data kependudukan, penyiapan anggaran, fasilitas administrasi, seperti pemberhentian pejabat yang mencalonkan diri. Terakhir masalah keamanan dan ketertiban pelaksanaan pilkada.
"Satu lagi yang bisa menyisakan pekerjaan pemerintah, kaitannya dengan netralitas ASN (aparatur sipil negara)," ujar dia.
Yuswandi mengatakan, terkait netralitas ASN memang menjadi problem tersendiri. Sebab, masih banyak aparatur di daerah yang bersikap tidak netral dalam penyelenggaraan pilkada.
Lalu ada pula masalah tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam‎ pilkada kali ini. Misalnya di Provinsi Bali, tingkat partisipasi masyarakat di sana jauh dari target. Yakni di bawah 70 persen.
Di sejumlah kabupaten di Bali, seperti Badung dan Karangasem‎ bahkan masyarakat banyak yang tidak tahu jika pada 9 Desember itu dilaksanakan pilkada.
Selain itu, sambung dia, problem yang yang kerap menjadi 'penyakit' dalam setiap pilkada‎ adalah soal money politics. Di Batam, Provinsi Riau, bahkan ada dugaan politik uang kepada masyarakat untuk memilih salah satu pasangan calon.
Tak tanggung-tanggung, berdasarkan informasi, setiap orang diberi uang Rp 500 ribu-1 juta oleh tim sukses salah satu pasangan calon.
Belum lagi termasuk persoalan kerusuhan yang terjadi di beberapa daerah karena ketidakpuasan atas perolehan suara di daerahnya masing-masing.
Advertisement