Liputan6.com, Jakarta - MK diminta menjalankan ketentuan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015‎ tentang Pilkada. Pasal itu mengatur syarat pengajuan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPKada) ke Mahkamah Konstitusi (MK), yakni selisih suara masing-masing calon tidak lebih dari 2 persen.
‎Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun memperkirakan, tak banyak yang bisa dilanjutkan perkaranya dengan keberadaan Pasal 158 UU Pilkada itu.
Baca Juga
"Hanya sedikit yang memenuhi, paling ada 20-30 perkara saja," ujar Refly di Gedung MK, Jakarta, Kamis (7/1/2016).
Advertisement
Ada sejumlah pilkada yang memiliki selisih suara lebih dari 2 persen. Misalnya Pilkada Provinsi Kalimantan Utara yang berselisih 6 persen antara pasangan calon Gubernur‎ dan calon Wakil Gubernur Jusuf SK-Marthin Billa dan Irianto Lambrie-Udin Hianggio.
Baca Juga
Pasangan Jusuf-Marthin memperoleh 127.184 suara atau 45,86 persen. Sementara pasangan Irianto-Udin mendapatkan 143.592 suara atau 53,67 persen. Dengan begitu, pasangan Irianto-Udin unggul dengan selisih suara 6 persen.
Dari 5 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Kaltara, pasangan Irianto-Udin memenangi 4 kabupaten/kota. Keempat kabupaten/kota itu adalah Bulukan, Tarakan, Nunukan, dan Tanah Tidung. Sementara pasangan Jusuf SK-Marthin Billa menang hanya di Kabupaten Malinau.
‎Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis menambahkan, perkara-perkara yang punya selisih suara lebih dari 2 persen harus tidak bisa dilanjutkan oleh MK. Sebab pengajuan perkara PHPKada yang selisih suaranya di atas 2 persen itu bertentangan dengan Pasal 158 UU Pilkada.
"Jadi kalau mau bicara hukum positif, MK tidak punya pilihan lain, menerima atau menolak perkara. Kalau melihat ini, maka perkara-perkara yang selisih suara melebihi 2 persen atau bertentangan (dengan UU Pilkada) mesti ditolak," ucap Margartio.
Margarito mengatakan, meski Pasal 158 UU Pilkada sebetulnya tidak masuk akal, tapi itu sudah menjadi hukum yang berlaku sekarang ini. Dia tidak melihat ada kemungkinkan MK mengesampingkan pasal itu
"Itu sudah terang-benderang. Lain halnya kalau tidak ada tafsirnya," ucap dia.
Bagi sebagian orang, kata Margarito, aturan itu memang menyakitkan. Namun tidak ada pilihan lain lagi bagi MK selain melaksanakan ketentuan Pasal 158 itu.
Satu hal yang digarisbawahi Margarito, yakni tidak ada pihak yang menguji uji materi pasal itu jauh sebelum pilkada serentak berlangsung. Karenanya, yang terbaik saat ini adalah menerima apapun putusan MK pada 18 Januari nanti dengan besar hati berdasarkan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada itu.