Liputan6.com, Jakarta - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak datang ke sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Senin pagi, 26 Februari 2018. Namun, ratusan orang yang bersiap menyambutnya tak lantas beranjak pergi.Â
Massa memenuhi halaman depan bekas gedung PN Jakarta Pusat, luber hingga ke aspal Jalan Gajah Mada. Mereka terbagi dalam dua kubu berlawanan. Pro dan kontra. Adu orasi dan teriakan, perang kata-kata baik lewat pengeras suara maupun poster, berlangsung panjang, lebih lama dari durasi sidang yang singkat, hanya sekitar 15 menit.
Sejumlah orang menilai, demo yang berlangsung di tengah sidang pemeriksaan berkas pengajuan Peninjauan Kembali (PK) itu salah alamat.Â
Advertisement
Sebab, PN Jakarta Utara tidak berwenang memutus PK Ahok. "Yang menentukan dapat diterima, dikabulkan atau tidak adalah Mahkamah Agung (MA), bukan pengadilan negeri. PN hanya melihat atau memeriksa secara formil syarat-syarat permohonan, bukan memeriksa kebenaran dari alasan hukum yang dijadikan dasar permohonan PK. Jadi, demo itu tidak pada tempatnya," jelas advokat Teguh Samudera kepada Liputan6.com, Senin malam.
Namun, mantan kuasa hukum Ahok ini yakin, unjuk rasa dalam bentuk apa pun tidak akan bisa mempengaruhi majelis hakim di MA yang akan menyidangkan permohonan PK Ahok.
"MA sebagai lembaga tertinggi pemberi keadilan tentu akan obyektif dan mempertingkan rasa keadilan masyarakat dan harus mengandung kepastian hukum dalam putusannya. Itulah hakikat MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan," ujar Teguh.
Â
Hal senada disampaikan advokat lainnya, I Wayan Sudirta, yang menyayangkan unjuk rasa terkait permohonan PK Ahok.
"Sebaiknya tidak ada pihak mana pun yang memengaruhi keputusan hakim dengan gerakan atau tekanan massa. Biarkan majelis hakim memutuskan secara bebas berdasarkan fakta, bukti dan keyakinannya," ujar Wayan Sudirta kepada Liputan6.com, Senin petang.
Dia juga berharap majelis hakim agung yang akan menyidangkan permohonan PK Ahok tidak gentar dengan tuntutan massa.Â
"Sebaiknya pengadilan tidak terpengaruh pada apa pun, jangan mau terpengaruh. Berpegangan kepada alat bukti dan keyakinan saja," ucap Wayan Sudirta.
Advokat ini mencontohkan, juri dalam sebuah persidangan kasus pidana di Amerika Serikat sangat dijaga dari pengaruh pihak luar. Semua itu untuk memastikan bahwa putusan yang diambil terbebas dari pengaruh luar.
"Mengajukan PK itu hak, tapi di sisi lain, demo juga hak. Cuma demo itu jangan sampai melanggar hukum, jangan sampai mempengaruhi pikiran hakim. Jangan sampai menekan hakim, karena dulu saya yakin sekali ketika Ahok dihukum itu karena menggunakan tekanan massa. Itu yang tidak boleh terjadi," pungkas Wayan Sudirta.
Isu Ahok dan Pilpres 2019
Tak sekadar menjadi polemik di ranah hukum, pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok juga diseret ke wilayah politik. Sebab, ada pihak yang mengaku khawatir kalau mantan Gubernur DKI Jakarta itu melenggang mulus di dunia politik nasional setelah bebas dari hukuman.
Salah satunya adalah Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Gatot Santono yang juga dikenal dengan nama Muhammad Al Khaththath. Dia mencurigai, langkah mengajukan PK tak lain untuk melapangkan jalan Ahok menuju Pilpres 2019, menuju Istana.
"Yang saya dengar dari ahli hukum, kalau Ahok ini dikabulkan PK-nya, berarti dia akan dibebaskan dengan status bukan tahanan dan bukan narapidana," ungkap Al-Khaththath di Museum Joeang '45, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 24 Februari 2018.
Â
Terpisah, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP UI, Hurriyah berpendapat, sah-sah saja jika ada pihak yang mengaitkan pengajuan PK Ahok dengan politik.
"Bahwa ada kelompok yang khawatir jika PK Ahok dikabulkan dan dia bisa bebas itu wajar, mengingat popularitas dan elektabilitas Ahok masih tinggi. Kemungkinan digaetnya Ahok sebagai cawapres potensial juga akan terbuka lebar. Kemungkinan inilah yang boleh jadi sangat dikhawatirkan kelompok yang tidak suka dengan Ahok," jelas Hurriyah kepada Liputan6.com, Senin malam.
Namun, dilihat dari sisi hukum, Hurriyah tak setuju jika proses hukum yang ada harus menghadapi tekanan massa yang di dalamnya punya muatan politik.
"Apalagi kalau cara-cara yang ditempuh menggunakan tekanan massa, seperti kasus Aksi Bela Islam beberapa waktu lalu. Ini bisa menjadi preseden buruk yang baru dalam demokrasi kita, ketika proses hukum begitu mudah dipengaruhi faktor-faktor politik," ujar Hurriyah.
Kendati demikian, pernyataan sejumlah pihak yang ingin menggagalkan upaya PK Ahok menurutnya masih sebatas wacana. Karena bentuk perlawanan ini tidak ada legitimasinya dalam UU, maka tidak akan bisa diterima.
"Akan beda jika upaya perlawanannya dilakukan secara politik dan menggunakan kekuatan massa, misalnya. Jika itu sampai terjadi dan proses hukum bisa dipengaruhi, ini akan menambah tantangan serius bagi penegakan hukum di Indonesia," tegas Hurriyah.
Yang jelas, lanjut dia, peluang Ahok untuk kembali ke dunia politik atau bergiat di partai politik sangat dimungkinkan jika PK yang diajukan diterima majelis hakim PK.
"Bagaimanapun popularitasnya masih tinggi. Saya yakin masih ada parpol yang berminat mengajak Ahok untuk bergabung. Tetapi ini kembali ke Ahok lagi, apakah dia masih berminat terjun di dunia politik," jelas Hurriyah.
Tetap ada kekhawatiran munculnya politik kebencian berbungkus agama dalam Pilpres 2019. Kendati sangat mungkin terjadi, Hurriyah berharap itu tak jadi kenyataan.
"Tren global sekarang memang memperlihatkan menguatnya politik identitas yang dibungkus dengan populisme. Indonesia bukan kasus baru ataupun unik. Ini yang jadi salah satu tantangan dalam demokrasi kita saat ini," pungkas dia.
Masih tingginya popularitas Ahok sejalan dengan hasil survei terbaru Indo Barometer. Berdasarkan survei Dinamika Pilpres 2019, Jokowi unggul dengan angka 48,8 persen sebagai calon presiden. Sedangkan Prabowo berada di angka 22,3 persen.
Yang menarik, nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berada di posisi ketiga (2,9 persen), di atas nama Gatot Nurmantyo (2,7 persen), Anies Baswedan (2,5 persen), dan Agus Harimurti Yudhoyono (2,5 persen). Nama-nama itu muncul berdasarkan pertanyaan terbuka seandainya pilpres diselenggarakan saat ini.
Survei dilaksanakan pada 23-30 Januari 2018 di 34 provinsi. Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden dengan margin of error sebesar 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Metode penarikan sampel adalah multistage random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka responden menggunakan kuesioner.
Â
Advertisement
Alasan Perlawanan Ahok
Banyak yang mempertanyakan alasan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Dan mengapa ia baru menunjukkan perlawanan saat ini?
Pengacara Ahok, Josefina Agatha Syukur, mengatakan ada dua alasan yang diajukan dalam permohonan PK.
Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tiga dasar pengajuan PK, yakni adanya keadaan baru, adanya putusan yang saling bertentangan, dan adanya putusan yang memperlihatkan adanya suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.
"Yang kami gunakan adalah salah satunya, kekhilafan hakim, kemudian juga ada alasan mengenai putusan terkait Buni Yani," kata Josefina usai sidang PK Ahok di bekas PN Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Senin siang.
Menurut Josefina, pada vonis Ahok ada beberapa hal yang kontradiktif dengan putusan perkara ITE Buni Yani. Terlebih, dalam pertimbangan putusannya.
"Bukan soal vonis lebih ringan, tetapi materi pertimbangannya. Kalau di putusan ini kan jelas dikatakan bahwa kasus Ahok tidak ada hubungan dengan kasus Buni Yani. Namun kalau kami melihat dalam putusan itu sendiri sebenarnya dasar Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka kemudian dipidana karena mengedit apa yang sudah ada dalam video Pak Ahok," Josefina menjelaskan.
Pengacara sekaligus adik Ahok, Fifi Lety Indra, menuturkan pidato Ahok baru menjadi masalah setelah Buni Yani mengunggah video yang disertai dengan caption yang tidak sesuai dengan perkataan mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Sebelumnya, tidak ada yang marah atau tersinggung, termasuk warga Kepulauan Seribu.
"Mungkin kita bisa refresh memori kita balik pada waktu sidang tahun lalu. Pada waktu sidang banyak sekali saksi pelapor yang isinya sama. Jangan lupa, tidak ada satu pun penduduk Kepulauan Seribu yang melapor. Tidak ada yang merasa tersinggung ataupun marah. Harusnya ini jadi pertimbangan juga," kata Fifi di tempat yang sama.
Soal kekhilafan hakim, Fifi menambahkan, salah satunya adalah putusan penahanan langsung Ahok. Padahal, selama sidang selalu hadir walaupun tidak ditahan. Selama sidang, Ahok tak pernah terlambat dan selalu kooperatif.
Hal itu, tidak dijadikan pertimbangan majelis hakim yang memeriksa perkara Ahok.
"Salah satu dasar penahanan kan takut mengulangi perbuatannya. Itu tidak diuraikan mengapa Pak Ahok harus ditahan seketika padahal pada saat itu Pak Ahok langsung menyatakan banding. Teman wartawan bisa bandingkan dengan kasus yang satunya (Buni Yani) pasti," ujar Fifi.
Selain itu, dia menilai ada kejanggalan dari para pelapor. Keterangan para pelapor saat membuat surat laporan di kepolisian, sama. Mereka pun mengatasnamakan seluruh umat Islam di Indonesia. Padahal, kata dia, kakak angkat Ahok yang muslim Nana Riwayatie tidak pernah merasa tersinggung.
"Wartawan semua ikut pada waktu Pak Ahok ada di Kepulauan Seribu. Logikanya kita, orang marah dan tersinggung seketika itu juga kalau kita menyinggung agama orang lain, orang yang ada di sana langsung bereaksi. Apalagi yang hadir di Kepulauan Seribu banyak sekali orang-orang pandai, tokoh masyarakat, tidak ada protes, tidak ada marah-marah, tidak ada yang peduli," kata Fifi.
Ia menambahkan, ada alasan mengapa Ahok baru mengajukan perlawanan setelah sembilan bulan ditahan sejak 9 Mei 2017. Mantan Bupati Kabupaten Belitung Timur itu sebelumnya sempat menarik upaya bandingnya.
"Kenapa Pak Ahok menarik banding? Pak Ahok ini seorang negarawan, dia enggak tega kalau pendukung dan pembenci dia saling berbenturan," ujar Fifi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Gajah Mada, Jakarta Pusat Senin, (26/2/2016).
Advokat perempuan itu menilai, jika kakaknya itu tetap ngotot banding, ketenteraman Indonesia bisa terganggu.
"Padahal kita mau merajut Bhinneka Tunggal Ika dan berbangsa. Kita satu anak bangsa walaupun kita berbeda beda, kita satu, kita Indonesia. Kalau saat itu pak Ahok melakukan banding, saya rasa kita tak akan seperti ini," ucap dia.
Kini, Ahok berharap bisa bebas dan nama baiknya direhabilitasi.Â
Sikap Jaksa
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sapto Subroto menjelaskan, kasus penistaan agama yang menjerat mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok, tidak terkait dengan kasus Buni Yani. Karena itu, menurut dia, putusan kedua kasus itu merupakan dua hal yang terpisah.
"Jadi antara perkara Buni Yani dan perkara terpidana ini adalah dua delik yang berbeda," jelas Sapto di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Senin (26/2/2018).
Jaksa Ardito Muwardi menambahkan, perkara Buni Yani adalah soal pidana UU ITE. Sementara, perkara Ahok adalah soal penodaan agama.
"Jadi Buni Yani terbukti melakukan tindak pidana mengunggah data elektronik yang bukan miliknya ini tidak ada sangkut pautnya, dengan penodaan agama," kata Ardito.
Â
Kilas Balik Kasus Ahok
Kasus ini bermula ketika Ahok menyebut Surat Al Maidah Ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 30 September 2016. Ahok dituduh menistakan agama. Pembicaraan Ahok itu kemudian tersebar luas di media sosial.
Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Ahok kepada kepolisian pada 7 Oktober 2016. Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim itu berisi laporan penghinaan agama. Ahok diduga telah melakukan tindak pidana penghinaan agama melalui media elektronik di YouTube.
Di tengah proses laporan itu, demonstrasi dan desakan dari masyarakat bermunculan di berbagai wilayah. Puncaknya terjadi di Jakarta pada 4 November 2016. Aksi besar-besaran itu membuat Ahok ditolak saat kampanye Pilkada DKI 2017 di sejumlah wilayah Jakarta.
Sebagian masyarakat menuntut polisi agar segera memproses perkara Ahok dengan tuduhan penistaan agama. Ahok pun berkali-kali bersedia menjalani pemeriksaan di kepolisian. Dia juga berusaha meminta maaf kepada masyarakat secara terbuka.
Akan tetapi, gerakan massa kian masif sehingga kepolisian menganggap hal itu sebagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Presiden Joko Widodo pun turun tangan. Ia menginstruksikan kepada Kapolri untuk segera memproses kasus Ahok dengan cara terbuka dan transparan.
Sebelas hari setelah aksi besar pada November 2016, polisi melakukan gelar perkara di Mabes Polri secara terbuka tetapi terbatas. Awalnya, gelar perkara itu terbuka untuk umum, tapi pada pukul 09.00 WIB tertutup hingga pukul 18.00 WIB.
Pada gelar perkara itu, kedua belah pihak, baik pihak yang melapor ataupun pihak terlapor diundang. Dari pelapor, hadir sejumlah ahli, termasuk di antaranya pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang lantang dan terus -menerus memimpin aksi massa besar-besaran.
Kompolnas dan Ombudsman juga hadir dalam gelar perkara itu. Namun, Ahok tak hadir dan diwakili penasihat hukumnya, Sirra Prayuna, serta sejumlah pengacara dan ahli. Ahli dari pihak Ahok bahkan datang dari luar kota.
Persidangan perdana Ahok berlangsung pada 13 Desember 2016 yang digelar di bekas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Pengamanan superketat pun dilakukan demi menjaga keamanan sidang.
Sidang perdana itu beragendakan pembacaan dakwaan Ahok. Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP karena diduga menodakan agama. Dakwaan itu ditanggapi kubu Ahok dengan nota keberatan atau eksepsi.
Pada sidang ke-19, Kamis, 20 April 2017, JPU menuntut Ahok bersalah. Atas nama hukum, jaksa meminta majelis hakim menghukum Ahok 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun.
Majelis kemudian menghukum Ahok 2 tahun penjara. Ahok dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama karena pernyataan soal Surat Al Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
"Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama," kata hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto, Selasa, 9 Mei 2017.
Advertisement