HEADLINE: Urung Deklarasi Capres 11 April, Ada Apa dengan Prabowo?

Kader Gerindra harus bersabar, Prabowo Subianto urung berdeklarasi pada 11 April 2018. Pertanyaannya, mengapa?

oleh Putu Merta Surya PutraRita AyuningtyasIka Defianti diperbarui 07 Apr 2018, 00:01 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2018, 00:01 WIB
Salam Prabowo Subianto Saat Hadiri Rakernas Gerindra
Ketum Gerindra Prabowo Subianto menjawab pertanyaan wartawan sebelum Rakernas Bidang Hukum dan Advokasi di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (5/4). Pertemuan tersebut rencananya membahas strategi pencalonan Prabowo pada Pilpres 2019. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Kader Gerindra tak sabar untuk mengusung ketua umumnya, Prabowo Subianto, sebagai capres dalam Pilpres 2019. Harga mati, mantan Danjen Kopassus itu harus maju. 

Sebagian kader bahkan menetapkan tanggal 11 April 2018 sebagai momentum deklarasi Prabowo. 

Namun, semangat yang berkobar itu diredupkan paksa. Prabowo urung menyatakan diri sebagai capres pada hari itu. Sejumlah pengurus Gerindra pun menyebut, sejauh ini belum ada rencana deklarasi.

Alasannya, ada banyak pertimbangan untuk tidak buru-buru mendeklarasikan bekas mantu Soeharto itu sebagai capres. 

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Ferry Juliantono mengatakan, pihaknya masih harus berkonsolidasi, terutama dengan partai lain. Juga dengan masyarakat dan ulama.

"Ini menyangkut komunikasi yang lebih terbuka di luar Gerindra-nya. Supaya mantap semuanya," kata Ferry kepada Liputan6.com, Jumat (6/4/2018).

Menurut dia, hal tersebut akan dibahas dalam Rakornas Gerindra pada 11 April 2018. Rakornas itu akan dilakukan secara tertutup. "Kita membicarakan masalah pencapresan. Tapi itu juga menyangkut soal kesiapan internal," ujar Ferry.

Namun, dia memastikan Gerindra tetap bakal mengusung Prabowo Subianto sebagai capres dalam Pilpres 2019. Kapan?

Kader Gerindra mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo Subianto maju dalam Pilpres 2019. (Liputan6.cm/Huyogo Simbolon)

Sementara, Prabowo juga masih menimbang-nimbang sejumlah faktor untuk maju di Pilpres 2019. Ketua DPP Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, sang ketua umum masih mempertimbangkan faktor elektabilitas dan usianya yang kian sepuh.

"Rakernas memutuskan Pak Prabowo diusung oleh semua kader partai untuk jadi Presiden 2019 beliau menjawab sudah tua, elektabilitas, dan macem (kepantasan)," ucap Desmond di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Jumat 6 April 2017.

Namun, dia menampik jika Prabowo disebut galau untuk nyapres.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (dua kanan) bersama Presiden PKS Sohibul Iman (kedua kiri), Sekjen PAN Eddy Soeparno (kanan) dan Sekjen Partai Gerindra Fadli Zon saat melakukan pertemuan di Jakarta, Kamis (1/3). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Saat dihubungi, pengamat politik Universitas Paramadina, Toto Sugiarto menilai tidak ada keraguan Prabowo masih ingin mencalonkan diri sebagai presiden. Ini terlihat pada kritikan-kritikan kepada pemerintah yang dilontarkannya beberapa waktu lalu.

"Test the water kemarin, mengkritik pemerintah dan mengatakan Indonesia akan bubar di 2030. Tidak ada keraguan, Prabowo masih berkeinginan nyapres," ucap Toto kepada Liputan6.com.

Lalu, mengapa Prabowo membantah ada deklarasi pada 11 April ini? Menurut dia, Prabowo masih mencari waktu yang pas.

"Waktunya tentu disesuaikan dengan momen yang pas. Mengatakan di awal bahwa 11 April akan deklarasi tampaknya tidak disukai Prabowo, maka dia membantahnya. Dia mencari momen terbaik untuk mendeklarasikan diri sebagai capres," kata Toto.

Selain itu, dia menilai, Gerindra butuh kepastian teman koalisi. Apalagi, Gerindra tidak memenuhi presidential threshold untuk mengusung capres sendiri.

"Saya kira itu alasan kedua, teman koalisi. Ketiga, Prabowo masih mencari pasangan. Belum ada tokoh yang menyatakan diri ingin menjadi pasangan Prabowo di Pilpres 2019," ujar Toto.

Infografis Prabowo Menghitung Dukungan
Infografis Prabowo Menghitung Dukungan

Prabowo Subianto pun mengakui partainya masih butuh tiket untuk mencalonkan dirinya. Dia juga masih mempertimbangkan banyak hal.

Faktanya, Gerindra hanya memiliki 73 kursi di DPR. Padahal presidential threshold pada Pilpres 2019 sebesar 20 persen dari total kursi DPR atau 112 kursi.

Selama ini, mereka beroposisi bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Gerindra percaya diri, PKS akan loyal hingga kontestasi Pilpres 2019 -- tak bakal "serong" dengan merapat ke Istana.

Jika digabung dengan kursi PKS, yang jumlahnya 40, Prabowo bisa melenggang ke kancah Pilpres 2019 dengan 113 kursi. 

"Selama ini PKS tidak pernah menunjukkan keinginan bergabung dengan koalisi pemerintah. Mungkin merasa tidak sesuai secara ideologi. Pada sisi lain, selama ini PKS banyak bekerja sama dengan Gerindra. Yang paling nyata di Pilkada DKI," tutur Toto.

Kurang Dana?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersiap menggelar konferensi pers terkait Pilgub Jabar 2018 di Hambalang, Jawa Barat, Sabtu (9/12). Prabowo resmi mengumumkan bakal calon gubernur Jawa Barat pada Pilkada 2018. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ada kabar yang menyebut, batalnya deklarasi Prabowo Subianto sebagai capres pada Pilpres 2019 berkaitan dengan dana.

Prabowo disebut-sebut sudah kehabisan dana. Ia tak punya cukup logistik untuk bertarung melawan Jokowi.

Direktur Populi Center, Usep S Ahyar berpendapat, ada kemungkinan masalah dana menjadi pertimbangan Prabowo. Terlebih, dia sudah dua kali mengikuti pemilu. 

"Mungkin kan dua kali maju sebagai capres ataupun cawapres itu banyak pengeluaran. Itu salah satu pertimbangan juga," kata Usep kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (6/4/2018).

Namun, dia percaya kader Gerindra tidak akan membiarkan Prabowo kesulitan. Mereka pasti akan menyokong pembiayaan dalam pencalonan politikus berusia 66 tahun itu.

"Saya kira orang kuat Gerindra yang mungkin backing soal pembiayaan. Mungkin soal batal deklarasi, Pak Prabowo mencari pertimbangan lain," lanjut dia.

Menurut Usep, ada hal lain yang lebih krusial yang membuat mundurnya pencalonan Prabowo. Salah satunya, soal lobi-lobi dengan partai lain. 

Saat dikonfirmasi, Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Ferry Juliantono membantah soal isu kurang dana tersebut. Dia mengatakan Prabowo masih memiliki uang yang cukup dari kantong pribadinya. Kalaupun tidak, kata dia, kader rela membantu.

"Wah kalau duit sangat cukup buat beliau pribadi dan seluruh kader sangat ikhlas untuk membantu beliau, termasuk gotong royong soal pembiayaan. Jadi enggak ada masalah soal itu," ujar Ferry.

Dia menilai kabar tersebut sengaja diembuskan oleh lawan politik Prabowo. Tujuannya, untuk demoralisasi.

Hashim Djojohadikusumo saat jumpa pers, di Hotel Intercontinental, Jakarta, Senin (15/9/2014) (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo mengatakan kakaknya masih memiliki "logistik" yang cukup untuk nyapres. Hanya saja, lanjut dia, mungkin Prabowo berdeklarasi setelah memperoleh gizi cukup. 

"Gizi, gizi yang cukup," jawab Hashim menjawab pertanyaan kapan Prabowo deklarasi.

Namun, dia tidak menjelaskan gamblang gizi yang dimaksudnya. "Ya mungkin Pak Prabowo minum susu, makan telur, makan kacang hijau, makan ikan nanti dapat pencerahan, dapat wahyu bisa deklarasi," ujar Hashim di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 28 Maret 2018.

Jika bukan karena "logistik", apakah mungkin Prabowo ingin mengumumkan maju Pilpres 2019 ketika sudah mendapat calon wakil presiden-nya?

Sejumlah nama disebut-sebut berpotensi mendampingi Prabowo dalam pesta demokrasi tersebut. Salah satunya Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo. 

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan pihaknya membuka diri kepada siapapun untuk mendampingi sang ketum, termasuk Gatot.

"Kalau cawapres kita nanti akan diskusikan dengan calon mitra partai koalisi jadi siapa pun yang kita putuskan ya kita terima pasti mempertimbangkan segala faktor termasuk elektabilitas, kapabilitas, kapasitas dan lain-lain," ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 2 April 2018.

Pertemuan Rahasia Prabowo-Luhut

Sementara, pada Jumat (6/4/2018) lepas siang, Prabowo diam-diam bertemu empat mata dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat. Wasekjen Gerindra Andre Rosiade membenarkan hal tersebut.

Ada spekulasi, keduanya berbicara soal Pilpres 2019. Namun, Andre membantahnya.

"Katanya pertemuan itu di Grand Hyatt, saya enggak tahu, tapi ada teman-teman (media) yang menyaksikan. Kalaupun ada, pertemuan itu pertemuan biasa saja sahabat lama antara Pak Prabowo dan Pak Luhut, karena pernah sama-sama di tentara bareng-bareng, di Kopassus, dulu juga pernah punya bisnis bersama. Jadi ini pertemuan sahabat lama biasa saja," ucap Andre saat dihubungi Merdeka.com.

Menurut dia, pertemuan eksklusif tersebut dilakukan usai salat Jumat. 

Andre juga menampik, Luhut diutus melobi Prabowo untuk bergabung ke poros Jokowi. Sebab, Prabowo belum menyatakan sikapnya.

"Kan ada orang bilang ini dilobi gitu Prabowo karena ragu, meskipun saya engga tahu pertemuan itu tapi saya tegaskan bahwa pertemuan itu tidak akan mengubah konstelasi apapun," ujar Andre.

"Dan kami meyakinkan partai Gerindra pertemuan itu tidak akan mengubah rencana pencalonan Pak Prabowo menajdi Calon Presiden 2019," tandas Andre.

Lawan Sepadan untuk Jokowi?

Jokowi dan Prabowo
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/1/2015). Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua DPP Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, Prabowo Subianto masih menimbang soal elektabilitasnya untuk maju dalam Pilpres 2019.

Namun, Direktur Populi Center Usep S Ahyar mengungkap, tidak ada lawan sepadan untuk Joko Widodo atau Jokowi jika Prabowo tidak maju.

Oleh karena itu, partai oposisi ingin Prabowo berkontestasi kembali.

"Nah, itu kenapa juga partai-partai yang lain, lalu pihak di luar koalisi juga menginginkan Pak Prabowo. Karena enggak ada lawan yang sepadan dengan Pak Jokowi sebenarnya," kata Usep.

Presiden Jokowi bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (foto: biro pers kepresidenan)

Sebelumnya, peneliti Populi Center Hartanto Rosojati mengatakan, Jokowi masih menduduki peringkat pertama sebagai calon Presiden dengan elektabilitas tertinggi, yaitu sebesar 52,8 persen.

Hartanto menyebut, elektabilitas Jokowi jauh melampaui rival terdekatnya, Prabowo Subianto diperingkat kedua dengan elektabilitas hanya 15,4 persen. 

"Persentase (elektabilitas Jokowi) mengalami penurunan, namun tidak signifikan (Desember 2017) masih dalam ambang margin of error," kata Hartanto di Kantor Populi Center, Slipi, Jakarta Pusat, Rabu 28 Februari 2018.

Populi Center melakukan survei mulai dari 7-16 Februari 2018 dengan respoden 1200 dan margin of error 2,89 persen. Survei itu dipilih secara acak bertingkat atau multistage random sampling.

Secara terpisah, Pengamat politik dari Universitas Sam Ratulangi, Michael Mamentu mengatakan, bisa jadi Prabowo menunggu deklarasi Jokowi. Namun, ini bukan berarti ia ragu maju dalam Pilpres 2019.

"Bisa saja itu soal menunggu (Jokowi), tapi bukan berarti dia ragu untuk maju. Itu tidak. Bisa aja dalam konteks, kita lihat siapa dukung siapa. Intinya menunggu siapa yang ada di belakang Jokowi, kelompok politik mana, siapa yang ada di belakang dia. Itu soal pembentukan strategi saja," kata Mamentu kepada Liputan6.com.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya