Tim Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Kapolri di Sidang Sengketa Pilpres 2024

Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengungkapkan, pihaknya meminta kepada Ketua Majelis Hakim konstitusi unruk menghadirkan Kapolri di sidang sengketa Pilpres 2024.

oleh Putu Merta Surya PutraTim News diperbarui 02 Apr 2024, 14:45 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2024, 14:45 WIB
Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD tampak akrab dengan Tim Pembela Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di ruang sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD tampak akrab dengan Tim Pembela Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di ruang sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).(Merdeka.com/Alma Fikhasari)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengungkapkan, pihaknya meminta kepada Ketua Majelis Hakim konstitusi unruk menghadirkan Kapolri di sidang sengketa Pilpres 2024.

Dia menyebut, pihaknya sudah bersurat ke MK terkait hal ini.

"Gini kami sudah melayangkan surat ke MK ya bahwa di samping 4 menteri yg akan dihadirkan plus DKPP, kami juga akan meminta kepada Ketua Majelis untuk menghadirkan Kapolri pada sidang berikutnya," kata Todung di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024).

Todung menjelaskan, kehadiran Kapolri di sidang bisa menjelaskan banyak hal menyangkut intimidasi dan kriminalisasi hingga ketidaknetralan polisi saat masa kampanye pilpres 2024.

"Kami sudah menulis surat untuk itu. Kenapa Kapolri? Karena nanti akan diperlihatkan bahwa cukup banyak hal-hal yang menyangkut kepolisian, pihak polisi yang melakukan intimidasi, kriminalisasi, yang terlibat dengan ketidaknetralan dalam kampanye," katanya.

"Kami ingin meminta Kapolri untuk memberikan penjelasan dan akuntabel dalam kebijakadan perintah-perintah yang dia lakukan," ucap Todung.

Menurutnya, permasalahan pilpres 2024 tak cukup hanya persoalan bantuan sosial. Lebih dari itu, ada aspek-aspek pelanggaran yang dilakukan pihak kepolisian.

"Karena tidak cukup hanya melihat soal bansos. Kalau untuk Bu Sri Mulyani, Bu Risma, Airlangga Hartarto itu kan lebih banyak soal bansos. Tapi kita juga melihat aspek-aspek pelanggaran yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang mencederai demokrasi dan integritas pemilihan umum," pungkasnya.

 

Sejumlah Menteri Dipanggil

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memanggil sejumlah menteri untuk memberi keterangan dalam persidangan sengketa hasil pemilu 2024 di Gedung MK pada hari Jumat (5/1/2024). Pemanggilan ini berdasarkan hasil rapat hakim konstitusi pada pagi tadi.

"Perlu disampaikan, hari Jumat akan dicadangkan untuk pemanggilan pihak-pihak yang dipandang perlu oleh mahkamah konstitusi berdasarkan hasil rapat yang mulia para hakim tadi pagi," kata Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan di MK hari ini, Senin (1/4/2024).

Menteri yang dipanggil MK adalah Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Di hari Jumat nanti, MK juga memanggil DKPP.

"Jadi 5 yang dikategorikan penting didengar oleh mahkamah ini," ucap Suhartoyo.

Kubu Ganjar-Mahfud Sebut KPU Khilaf soal Aturan Pencalonan Presiden dan Wapres

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand) Sumatera Utara, Charles Simabura hadir di Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai salah satu ahli yang dihadirkan oleh Tim Hukum Ganjar-Mahfud dalam perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) sengketa Pilpres 2024.

Charles mengklaim, ada kekhilafan dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) soal Peraturan KPU atau PKPU Nomor 23 Tahun 2023, tentang syarat pencalonan peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden.

Khilaf dimaksud, adalah tidak adanya aturan turunan di tingkatan PKPU saat pendaftaran bakalan calon presiden dan wakil presiden yang tidak sesuai batas usia persyaratan.

"Kekhilafah PKPU 23 Tahun 2023, tidak mengatur secara komprehensif turunan putusan MK nomor 90 itu, kenapa dia hanya fokus kepala daerah yang sedang menjabat, tapi usianya belum 40 tahun yaitu saudara Gibran atau Pak Gibran sebagai calon wakil presiden (bisa diterima pencalonannya)," kata Charles di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (2/4/2024).

Charles menjelaskan, putusan MK nomor 90 untuk pencalonan memang bukan harus dibentuk beleid baru atau pun merevisi yang lama. Sebab putusan MK berlaku surut. Namun demikian, KPU seharusnya membutuhkan aturan yang lebih lanjut di tingkat teknis.

"Bukan harus dibentuk undang-undang, bukan harus direvisi undang-undang, putusan MK, erga omnes terhadap undang-undang, tapi dia butuh aturan lebih lanjut di tingkat teknis,” jelas Charles.

Penjelasan Charles disampaikan dalam kapasitasnya menjawab pertanyaan Badan Pengawas Pemilu sebagai pihak terkait apakah KPU perlu tindak lanjut seperti payung hukum baru seperti Undang-Undang menyikapi Keputusan MK nomor 90 tersebut.

 

Reporter: Genantan Saputra/Merdeka.com

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya