Liputan6.com, Samarinda - Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengingatkan perlunya evaluasi Pemilu langsung untuk memperbaiki kinerja demokrasi.
"Yang perlu dievaluasi itu efektifitas dari pelaksanaan Pemilu, kedua efisiensi anggaran, ketiga konflik horizontal yang mungkin terjadi akibat ekses-ekses Pemilu langsung," ujar Mahyudin saat sosialisasi empat pilar di Samarinda, seperti dikutip dari Antara, Rabu (5/12/2018).
Menurutnya, evaluasi dapat dilakukan terhadap pemilihan langsung Pilkada provinisi, kabupaten dan kota,DPRD, DPR, bahkan Pemilihan Presiden.
Advertisement
"Evaluasi itu bukan mesti diubah, apakah sistem pemilihan langsung ini yang paling tepat, apakah musti diperbaiki?," ucap dia.
Mahyudin menilai, melalui evaluasi dapat diketahui kekurangannya sehingga dapat diperbaiki. Bila memang sistem tersebut belum tepat untuk masyarakat saat ini, maka bisa juga hal itu diganti menjadi sistem perwakilan.
Misalnya, kata dia, di tingkat provinsi tetap menggunakan Pemilu pemilihan langsung, sedangkan di kabupaten dan kota digelar pemilihan oleh DPRD.
"Selain itu misalnya pada pemilihan presiden perlunya evaluasi terkait dengan dana saksi. Dengan 800 ribu tempat pemungutan suara (TPS), maka dibutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai saksi," tutur Mahyudin.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Besarnya Dana
Kemudian Mahyudin mencontohkan, bila satu TPS membutuhkan Rp 200 ribu untuk dana saksi, maka dengan 800 ribu lebih TPS pada Pemilu 2019 yang berarti membutuhkan Rp 160 miliar. Hal ini tentu sangat memberatkan para calon kalau dibiayai sendiri.
"Akibatnya, para calon akan mengumpulkan dana dari berbagai sumber, dan hal ini rentan dengan barter terhadap kebijakan pemerintah kelak," terangnya.
Menurut dia, saat ini masyarakat belum siap 100 persen dengan pemilihan langsung. Hal ini terlihat dengan maraknya politik uang dalam pemilihan.
Mahyudin mengatakan, pimpinan korup biasanya terlahir dari masyarakat yang korup. Masyarakat yang membuka diri untuk mau disuap akan menghasilkan pemimpin yang mudah disuap pula.
"Akibat politik uang, maka banyak para pejabat negara yang dulu menyuap rakyat agar terpilih, mau menerima suap. Maka tidak heran bila kemudian pejabat negara dari tingkat daerah hingga tingkat pusat ditangkap oleh KPK," jelas Mahyudin.
Advertisement