Kisah dari Semarang, Anak dan Mantu Hilang 'Ditelan' Gafatar

Baik anak dan mantunya sama-sama lulusan universitas negeri dan memiliki pekerjaan lumayan stabil sebelum ditinggalkan begitu saja.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 27 Jan 2016, 12:03 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2016, 12:03 WIB
20160125-Pemulangan-Mantan-Anggota-Gafatar-Semarang-Gholib
Sejumlah petugas membantu membawa barang mantan anggota Gafatar di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang , Senin (25/1). Manifest yang diangkut kapal itu terdiri dari 128 kepala keluarga (KK) atau 359 jiwa. (Liputan6.com/Gholib)

Liputan6.com, Semarang - Seorang ibu dengan berlinang air mata mendatangi Mapolrestabes Semarang. Perempuan yang bernama Partini itu ternyata ingin melaporkan kehilangan putri keduanya, Inka Pratiwi, yang akrab disapa Tiwi.

Partini menuturkan putri keduanya itu tidak lagi memberi kabar sejak berada di Kalimantan 2 tahun lalu. Ia pergi ke Kalimantan menyusul suaminya, Adiv Nugroho, yang dikatakan bekerja di sana.

"Saat itu Tiwi masih hamil. Saya sendiri yang mengantar ke Bandara. Dia sendirian, suaminya sudah lebih dulu," kata Partini, Selasa, 26 Januari 2016.

Saat pergi ke Kalimantan, usia perkawinan Tiwi baru sekitar 3 bulan. Kepada orang tuanya, ia mengaku suaminya bekerja di bidang sosial.


Sepeninggal anak dan menantunya, Partini menata kamar yang ditinggalkannya. Saat itulah ia menemukan banyak buku-buku tentang Gafatar di rumahnya.

Adiv maupun Tiwi memang sempat bercerita tentang organisasi Gafatar, sebuah organisasi yang dikatakannya bergerak di bidang sosial. Keluarga pun percaya karena Tiwi merupakan alumni Universitas Diponegoro Jurusan Teknik Mesin yang cukup pintar.

"Dia itu pintar anaknya. Waktu itu bilangnya ke Banjarmasin bukan Mempawah," kata Partini, warga Lamper Lor Semarang itu.

Keanehan mulai terjadi setelah keluarga kecil itu pindah ke Kalimantan. Semua kontak diputus. Tidak ada kabar berita disampaikan anaknya. Bahkan, pekerjaan Tiwi sebagai manajer di sebuah dealer mobil ditinggalkannya begitu saja.



Menutup Diri

Hingga satu waktu, Partini berhasil menghubungi Tiwi. Anaknya itu bahkan mengirim gambar cucunya yang sudah lahir. Itulah terakhir kalinya ia berhubungan dengan Tiwi.

Setelah itu, ia hanya mendengar sayup-sayup informasi tentang Tiwi yang mengganti namanya menjadi Sofia Latifa. Ia juga baru tahu jika menantunya ternyata Ketua Gafatar Jawa Tengah.

"Baru tahu Gafatar seperti itu setelah ada ramai-ramai dokter Rica yang hilang," kata Partini.

Senada dengan Partini, Harsono yang merupakan ayah Adiv Nugroho menyebutkan awalnya anaknya sempat mengakui keterlibatannya di Gafatar. Namun Harsono dengan tegas melarang dan meminta agar tak terlibat dengan organisasi semacam itu.

Pelarangan Harsono ditanggapi Adiv dengan sikap memberontak. Kepada ayahnya, Adiv mengatakan sudah berpikir jauh ke depan. Belakangan, sikapnya melunak dan tak lagi terang-terangan terlibat dengan Gafatar.

Meski demikian, Harsono masih khawatir karena banyak teman-teman anaknya yang datang bertamu sampai malam. Ibadah salat serta puasa banyak ditinggalkan. Kalau pun salat, arahnya bukan menghadap kiblat.

"Katanya, Tuhan ada di mana-mana," ujar Harsono menirukan jawaban Adiv.

Harsono sangat menyayangkan kepergian anaknya. Apalagi, lulusan Teknik Kimia Undip angkatan 2008 itu sudah memiliki usaha makanan ringan yang cukup sukses di Semarang. Namun, semuanya ditinggalkan begitu saja.

"Aslinya dia wiraswasta, sudah lumayan sukses bikin kripik-kripik di stok ke supermarket. Dia sering beri penyuluhan ke pengusaha juga. Ya itu semua ditinggal sekarang," kata warga Rejosari Gumuk Gang, Rejosari, Semarang Timur itu.

Partini dan Harsono masih berharap anak mereka kembali. Keduanya sempat datang ke Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, pada Senin 25 Januari 2016 ketika 359 eks gafatar tiba diangkut KRI Teluk Gilimanuk. Namun, sosok yang dicari ternyata tidak ditemukan dalam data manifes.

Tak kapok, Partini dan Harsono kembali ke Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, pada Rabu ini (27/1/2016). Rencananya akan tiba pengungsi Gafatar gelombang kedua di pelabuhan itu.

Sikap Toleran



Psikolog Probowatie Tjondronegoro menyebut ketertutupan para pengikut Gafatar terhadap keluarga, sesungguhnya menunjukkan mereka masih memiliki sikap toleransi. Mereka tak ingin mengecewakan orang-orang terdekatnya.

"Jika usaha mereka gagal, mereka tak ingin keluarga ikut menanggung malu," kata Probowatie.

Menurut Probowatie, yang perlu diketahui publik untuk meningkatkan kewaspadaan adalah metode yang digunakan Gafatar sehingga orang-orang cerdas dan berprestasi justru rela meninggalkan zona nyaman mereka.

"Ketertutupan mereka sesungguhnya sebuah peluang untuk menderadikalisasi keyakinan. Karena itu menunjukkan bahwa mereka masih memiliki sikap hormat dan pakewuh dengan keluarga," kata Probowatie.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya